BAGIAN 8

633 30 0
                                    

Rangga mengalihkan perhatian pada Mintarsih yang saat itu sudah selesai bersemadi. Mintarsih terkejut setengah mati begitu melihat Nenek Jamping sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Bergegas diburunya perempuan tua itu. Dan begitu tangannya menyentuh tubuh tua renta itu, mendadak tangannya kembali ditarik kembali.
“Ah...!” Mintarsih terpekik kecil.
Tubuh Nenek Jamping langsung hancur begitu tersentuh tangan Mintarsih. Wanita cantik berbaju biru muda itu hampir tidak percaya pada penglihatannya sendiri. Tubuh Nenek Jamping seketika hancur jadi debu!
“Nek..., oh...! Keparat..!” desis Mintarsih menggeram.
Wanita itu cepat bangkit berdiri dan memutar tubuhnya, menghadap Pendekar Rajawali Sakti. Sepasang bola matanya merah berapi-api. Gerahamnya terdengar bergelemetuk menahan amarah yang hampir tidak tertampung lagi. Perlahan kakinya melangkah mendekati Rangga. Tangan kanannya meraba pinggang, lalu menarik sabuk yang melilit pinggangnya.
Cring!
Ctar...!”
Begitu sabuk berwarna kuning keemasan itu dikebutkan, seketika langsung menegang kaku menjadi sebatang pedang. Cahaya kuning keemasan tampak berkilatan tertimpa sinar rembulan. Mintarsih mendesis bagai seekor ular. Kedua bola matanya menyorot tajam dan merah. Jika orang lain yang melihatnya, pasti akan bergidik ngeri. Tapi Rangga malah membalas tatapan wanita itu tidak kalah tajamnya.
“Kau harus mampus, Pendekar Rajawali Sakti...!” desis Mintarsih dingin.
Mintarsih menggeser kakinya ke kanan beberapa langkah. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Dendam yang sudah lama terpendam, ditambah lagi kemarahan akibat tewasnya Nenek Jamping di tangan pemuda berbaju rompi putih itu, membuat Mintarsih tak dapat lagi menahan kemarahannya.
“Mampus kau! Hiyaaat...!” teriak Mintarsih melengking tinggi.
Bagaikan kilat, wanita berwajah cantik dan berbaju biru itu melompat menerjang Rangga. Serangan yang dilakukan Mintarsih begitu cepat dan dahsyat luar biasa. Namun Rangga yang sudah bersiap sejak tadi, segera dapat menghindari serangan itu dengan memiringankan tubuh ke kiri hingga doyong, seolah-olah akan jatuh. Pukulan yang dilepaskan Mintarsih hanya lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Namun Rangga terkejut bukan main. Ternyata angin pukulan itu mengandung hawa yang sangat panas menyengat. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke samping, menjauhi wanita itu. Dua kali Rangga melakukan putaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya di tanah sejauh dua batang tombak dari wanita cantik berbaju biru itu.
Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja Mintarsih mengebutkan sabuk yang telah menjadi pedang. Senjata kuning keemasan itu telah berubah warnanya menjadi merah membara. Bahkan kini telah mengeluarkan api yang berkobar-kobar.
“Hiyaaat..!”
Bagaikan kilat, Mintarsih melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Sabuk yang sudah berubah menjadi pedang api, berkelebat mengurung pendekar berbaju rompi putih itu. Sungguh dahsyat ilmu yang dikerahkan Mintarsih. Seluruh tubuh Rangga bagai terkurung api. Hanya kelebatan bayangan putih saja yang terlihat di antara pijaran api yang memancar dari sabuk di tangan Mintarsih.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Tak berapa lama kemudian, Mintarsih tampak terpental ke belakang sambil memekik tinggi. Tampak Rangga merentangkan tangannya lurus ke depan dengan jari-jari tangan terbuka lebar.
Mintarsih jatuh bergulingan beberapa kali. Dia mencoba bangkit berdiri, namun darah kental meluncur keluar dari mulutnya. Tangannya memegangi dada yang terasa begitu sesak. Pandangannya jadi nanar, namun masih terlihat tajam menatap Rangga yang berdiri tegak sambil terus menatapnya.
“Kau memang tangguh, Rangga. Tapi kau harus mati di tanganku...!” desis Mintarsih seraya bangkit berdiri. “Aku bersumpah! Demi arwah leluhurku, kau dan keturunanmu harus mati di tanganku, Pendekar Rajawali Sakti!”
Cras...!
Glarrr...!
Begitu Mintarsih mengucapkan sumpah, kilat seketika menyambar di angkasa. Akibatnya semua orang yang berada di tempat itu tersentak kaget. Begitu keras suara kilat itu, seakan-akan telinga terasa pekak mendengung.
“Hiyaaat..!”
Mintarsih bergegas lari meninggalkan tempat itu. Melihat wanita itu kabur, Pandan Wangi hendak mengejar. Tapi, Rangga keburu mencegah.
“Jangan dikejar, Pandan!”
Pandan Wangi mengurungkan niatnya hendak mengejar.
“Kau membiarkannya pergi begitu saja, Kakang?” tanya Pandan Wangi, seakan-akan tidak percaya.
Rangga hanya tersenyum saja, lalu melangkah menghampiri Pandan Wangi yang kini sudah didampingi Cempaka kembali. Pendekar Rajawali Sakti memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Suasana malam yang hiruk pikuk dan cahaya api yang semula berkobar bagai hendak menghanguskan seluruh Kotaraja Karang Setra ini, sekarang mulai mereda. Namun malam terus merambat semakin larut. Sebentar lagi pagi akan datang menjelang.
“Tidak ada gunanya mengejar, Pandan. Dia sudah terluka cukup parah. Kupikir dia tidak akan berani mengganggu kita lagi,” kata Rangga dengan suara lembut.
“Tapi dia bisa menjadi ancaman besar, Kakang,” sergah Pandan Wangi, tak mau kalah.
Rangga ingin berkata lagi, tapi tidak jadi. Sebab, Pendekar Rajawali Sakti melihat Danupaksi datang menghampiri membawa Sangkala. Pemuda murid Pendeta Pohaji itu dalam keadaan tak berdaya, dengan tangan terikat ke belakang. Danupaksi mendorong pemuda itu dengan kasar, sehingga jatuh tersuruk di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak darah menetes keluar dari sudut bibir dan hidungnya. Seluruh wajahnya juga biru lebam dan pakaiannya robek di sana-sini. Sepertinya Sangkala baru saja melakukan pertarungan hebat.
“Aku menemukannya sedang menyelusup di belakang istana, Kakang. Tepatnya di bawah jendela kamarmu,” jelas Danupaksi memberi tahu.
Rangga menatap tajam Sangkala. Dia tahu betul, siapa pemuda ini. Apalagi sekarang ini Sangkala sedang menjadi buah bibir dalam lingkungan istana, karena sikapnya yang aneh sejak Pendeta Pohaji ditemukan tewas terbunuh dengan kepala hilang. Agak lama juga Rangga terdiam menatap tajam Sangkala. Sementara yang ditatap hanya menunduk, seakan-akan tak sanggup membalas tatapan tajam pemuda berbaju rompi putih ini.
“Kau yang bernama Sangkala?” tanya Rangga dengan suara berwibawa.
“Benar! Hamba Sangkala,” sahut Sangkala pelan tanpa mengangkat kepalanya.
“Hm.... Kenapa kau berada di dekat kamarku malam-malam begini?” tanya Rangga lagi.
“Hamba ingin membunuhmu,” sahut Sangkala, agak bergetar suaranya.
Baru Sangkala mengangkat kepalanya, dan langsung menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya Rangga yang terkejut mendengar jawaban Sangkala. Bahkan juga Ki Lintuk, Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi, dan semua orang yang berada di tempat ini. Mereka seakan-akan tidak percaya kalau Sangkala punya maksud ingin membunuh Pendekar Rajawali Sakti yang juga penguasa tunggal di kerajaan ini.
“Benar kau ingin membunuhku, Sangkala? Kenapa...?” tanya Rangga setelah bisa menenangkan kembali.
“Karena kau yang membunuh kedua orang tuaku!” sahut Sangkala tajam.
Rangga tersenyum. Kini baru jelas, kenapa Sangkala ingin membunuhnya. Rupanya kepergian Sangkala ke Selatan juga bermaksud mencari dan membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu mendengar kalau Pendekar Rajawali Sakti sudah berada di Karang Setra, dia cepat kembali. Dan malam ini, Sangkala merasa punya kesempatan. Apa lagi dalam keadaan yang kacau seperti ini.
Namun belum juga maksudnya terlaksana, sudah keburu dipergoki Danupaksi. Sangkala mencoba melawan, tapi kepandaian yang dimilikinya masih di bawah Danupaksi. Dan kini pemuda itu dapat diringkus, bahkan tak berdaya terikat di depan Pendekar Rajawali Sakti.
“Kakang, aku menyuruh seorang patih untuk mengikutinya ke selatan. Tapi...,” bisik Cempaka.
“Manusia tolol itu sudah mampus!” selak Sangkala mendengus.
“Heh...?! Kau telah membunuhnya...?!” Cempaka terkejut.
Sangkala hanya mencibir saja.
“Keparat...!”
Hampir saja Cempaka melayangkan pukulan kalau tidak cepat ditangkap Rangga. Padahal, tangan gadis itu sudah melayang ke atas. Cempaka menatap Pendekar Rajawali Sakti sebentar, kemudian menurunkan tangannya kembali. Dia mendengus kesal melihat Sangkala menyeringai penuh ejekan.
“Kesalahanmu sudah cukup berat, Sangkala. Kenapa kau lakukan semua itu?” tanya Rangga masih dengan nada suara lembut.
“Karena aku ingin membunuhmu. Dan siapa saja yang mencoba menghalangiku, harus mati!” sahut Sangkala dingin.
“Ketahuilah, Sangkala. Ayahmu mendapat hukuman mati karena mencoba melakukan makar. Dan itu sudah menjadi keputusan pengadilan. Jadi bukan aku yang membunuhnya,” Rangga mencoba menjelaskan.
“Aku tahu! Tapi kalau kau tidak memutuskan hukuman itu, ayahku tidak akan mati di tiang gantungan!”
“Bukan aku yang memutuskan, tapi sidang pengadilan. Dan itu cukup adil, Sangkala. Seseorang atau sekelompok orang yang mencoba melakukan makar, harus dihukum mati. Itu sudah menjadi keputusan yang tidak bisa dirubah lagi. Dengan tindakanmu seperti ini saja, kau sudah digolongkan hendak melakukan makar. Dan hukumannya sangat berat, Sangkala. Kecuali bila kau sudi bekerja sama memberi tahu orang yang menghasutmu,” kata Rangga lagi. Masih dengan suara lembut.
“Mintarsih. Dan masih banyak lagi orang yang ingin membalas dendam padamu!” sahut Sangkala ketus.
“Mintarsih...,” desis Cempaka.
“Perempuan keparat itu harus dibunuh, Kakang!” sambung Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja, seakan-akan tidak mendengarkan celotehan kedua gadis itu. Kembali ditatapnya Sangkala penuh wibawa. Sedangkan Sangkala membalasnya dengan tajam, dan masih penuh dendam.
“Dia juga yang membunuh gurumu, Sangkala?” tanya Rangga.
“Aku tidak peduli!” dengus Sangkala.
“Keparat..! Kubunuh kau, Sangkala,” desis Cempaka menggeram.
Sret!
“Cempaka...!”
Pedang Cempaka sudah keluar dari warangka, tapi Rangga cepat bertindak mencegahnya agar tidak main hakim sendiri. Sambil menggerutu kesal, Cempaka kembali memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Rangga mengerdipkan matanya pada Danupaksi. Tanpa diperintah, Danupaksi sudah bisa menangkap isyarat itu. Cepat dibawanya Cempaka meninggalkan tempat itu.
“Sangkala! Kau tahu, siapa Mintarsih itu sesungguhnya?”tanya Rangga.
“Dia adalah seorang gadis cantik berotak cerdas!” sahut Sangkala seenaknya. Pemuda ini memang tidak tahu tentang diri Mintarsih sebenarnya.
“Gadis? Kau katakan dia gadis? Ketahuilah, Sangkala. Mintarsih yang kau sangka gadis itu, usianya hampir sama dengan gurumu. Pendeta Pohaji!”
“Jangan dikira aku percaya bualanmu, Pendekar Rajawali Sakti!”
“Kalau kau tak percaya, baiklah.”
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah, memutari Sangkala. Dia berhenti di belakang pemuda itu. Sementara Danupaksi, Cempaka, Pandan Wangi dan beberapa prajurit hanya memandang tak mengerti atas sikap Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memejamkan mata, seperti tengah memusatkan pikirannya. Kemudian, kakinya dipentang lebar-lebar. Kedua tangannya diangkat ke atas, dengan telapak tangan terbuka lebar. Ketika kedua mata Rangga terbuka, kedua tangannya cepat bergerak ke bawah. Langsung dicengkeramnya kepala Sangkala.
“Aaa...!” Sangkala berteriak kesakitan. Tampak dari kepalanya keluar asap tipis berbau busuk. Sedangkan Ki Lintuk, Danupaksi, Cempaka dan Pandan Wangi hanya menahan napas, sambil memandang takjub.
Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cengkeramannya di kepala Sangkala. Baru saja dilepaskan, tubuh Sangkala langsung terkulai. Asap tipis yang keluar dari kepalanya telah hilang sama sekali. Tubuh pemuda itu seperti pingsan, namun sebentar kemudian mulai bergerak-gerak.
“Oooh...!” Sangkala merintih lirih.
“Nah, Sangkala. Bangunlah,” ujar Rangga lembut.
“Gusti Prabu, ada apa dengan hamba?”
“Kekuatan batin seseorang telah menguasai jiwamu, Sangkala. Tanpa disadari, kau telah dikendalikan seseorang. Dan seseorang yang kau anggap muda itu, ternyata berusia sebaya dengan gurumu. Kau telah terjerat oleh jaring-jaring hitam yang dilemparkan Mintarsih. Dendam yang ada dalam dirinya, telah dijalin menjadi sebuah jaring. Kemudian dengan kekuatan batin dia telah menguasai dirimu,” jelas Rangga.
“Oh! Ampunkan hamba, Gusti Prabu. Hamba akui, hamba memang dendam pada Gusti Prabu. Tapi, entah kenapa hamba seperti lupa diri. Hamba seperti lupa, dengan siapa hamba berhadapan. Keparat Mintarsih itu! Sekali lagi, ampunkan hamba, Gusti Prabu.”
Rangga hanya tersenyum. Sedangkan Pandan Wangi segera menghampirinya.
“Kakang, dari mana kau tahu kalau Sangkala telah dikuasai oleh kekuatan batin?” tanya Pandan Wangi.
“Pandan, orang yang memiliki ilmu awet muda, sudah pasti memiliki kekuatan batin yang tinggi. Dan dia mampu menguasai orang yang ilmunya lebih rendah. Apalagi, orang yang dikuasai mempunyai dendam. Jika orang memiliki dendam, nalarnya akan tertutup. Dengan demikian kekuatan batin seseorang akan mudah menguasainya,” jelas Rangga.
“Lalu, mengapa kau mampu memusnahkannya?” tanya Pandan Wangi lagi, kurang puas.
“Untung-untungan,” jawab Rangga seenaknya.
“Untung-untungan?” Pandan Wangi tidak mengerti.
“Aku hanya menyalurkan hawa murni. Yaaah, mungkin saja usahaku berhasil. Dan ternyata, seperti apa yang kau lihat tadi,” jawab Rangga lagi.
Kemudian Pandan Wangi menatap Sangkala. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepalanya saja.
“Hukumlah hamba yang seberat-beratnya, Gusti Prabu,” ujar Sangkala.
“Pengadilan yang akan menentukan, Sangkala,” kata Rangga. “Danupaksi, bawa Sangkala ke istana.”
Danupaksi segera membungkuk, memberi hormat. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu segera membawa Sangkala seperti yang diperintah Rangga.
“Kita langsung ke istana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
Rangga mengangguk. Dan mereka terus berjalan menuju Istana Karang Setra, mengikuti Danupaksi yang telah berjalan lebih dulu. Sementara di belakang mereka api masih terus berkobar, meskipun tidak lagi besar seperti tadi.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan Hitam 🎉
53. Pendekar Rajawali Sakti : Jaringan HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang