“Auuung...!”
Lolong anjing menggema, menyusup ke setiap telinga terbawa angin malam. Suara itu terdengar begitu dekat, seakan-akan tidak jauh di belakang dua orang prajurit yang bertugas jaga malam di depan rumah tahanan, di belakang Istana Kerajaan Karang Setra. Kedua prajurit berusia muda itu saling berpandangan, lalu sama-sama bergerak saling mendekat
“Auuung...!”
“Tidak biasanya malam-malam begini ada lolongan anjing,” bisik salah seorang prajurit, perlahan.
“Iya. Aku jadi merinding,” sambut temannya.
“Kata orang, kalau anjing melolong begini, ada setan lewat,” jelas prajurit itu lagi, sok tahu.
“Jangan ngaco, ah!” dengus temannya seraya bergidik.
Mereka tidak bicara lagi. Dan suara itu semakin sering terdengar, membuat wajah kedua prajurit itu terlihat bertambah pucat. Beberapa kali mereka saling melemparkan pandang, lalu menghembuskan napas panjang. Seakan-akan mereka ingin mengusir rasa takut yang tiba-tiba saja menyelinap ke dalam hati.
“Aku ingin ke belakang dulu,” kata seorang prajurit lagi.
“Heh...?! Mau ke mana..?” prajurit satunya lagi tersentak.
“Buang air. Sebentar....”
“Aku ikut”
“Yang jaga di sini nanti siapa? Pasti Gusti Prabu marah.”
"Masa bodo, ah!”
Mereka hendak melangkah. Namun belum juga kaki kedua prajurit itu terayun, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Dan tahu-tahu, di depan kedua prajurit itu sudah berdiri seseorang berbaju merah menyala. Wajahnya hampir tertutup rambut yang terurai panjang dan acak-acakan.
“Heh...?!”
“Ah...?!”
Kedua prajurit itu tersentak kaget. Mata mereka terbeliak lebar, dengan mulut ternganga. Dan sebelum keterkejutan mereka bisa hilang, mendadak saja orang berbaju serba merah itu cepat menggerakkan kedua tangannya.
Bet! Des!
Kedua prajurit itu terpaku tak dapat bersuara lagi, kemudian ambruk ke lantai batu yang dingin dan keras di depan pintu penjara. Kedua mata mereka terbuka lebar, dan mulut menganga. Dari kening di antara kedua mata mengucurkan darah. Sebuah lubang sebesar jari terlihat di kening kedua prajurit itu. Seketika mereka tewas, tanpa bersuara sedikit pun. Orang berbaju merah menyala itu mengambil seikat kunci dari pinggang salah seorang prajurit, lalu bergegas menghampiri pintu. Dengan kunci itu dia membuka pintu penjara.
“Hep!”
Cepat orang berbaju merah itu melompat masuk begitu pintu terbuka. Ayunan kakinya ringan dan tak bersuara sedikit pun. Disusurinya lorong yang hanya diterangi beberapa obor di dinding. Di kiri kanan lorong batu ini terdapat pintu-pintu besi yang terdapat sedikit lubang di tengahnya.
Orang berbaju merah itu mengintip di setiap lubang pintu. Dia terus bergerak cepat dan ringan sambil memeriksa setiap pintu besi di sepanjang kiri kanan lorong ini. Hingga pada sebuah pintu, kakinya berhenti melangkah. Sebentar matanya mengintip melalui lubang di pintu. Kemudian bergegas dibukanya pintu itu dengan kunci yang diambil dari pinggang salah seorang prajurit di luar tadi.
Kriiiet!
Suara derit pintu terdengar saat didorong membuka. Orang berbaju merah itu cepat melangkah masuk. Tatapan matanya begitu tajam, lurus ke seorang pemuda berbaju putih kotor dan berdebu. Pemuda itu tengah duduk memeluk lutut di sudut ruangan berukuran kecil ini.
“Eh...?!”
Pemuda berwajah cukup tampan itu terkejut, lalu cepat bangkit berdiri. Namun sebelum sempat melakukan sesuatu, mendadak saja tangan orang berbaju serba merah itu bergerak ke dadanya. Dan begitu jari tangannya menotok, seketika pemuda itu langsung ambruk ke lantai disertai keluhan kecil.
Tanpa berkata apa pun, orang berbaju merah itu mengangkat tubuh pemuda ini. Lalu, dia cepat melompat ke luar. Orang berbaju merah itu terus cepat menyusuri lorong menuju ke luar kembali. Dan begitu berada di luar penjara, cepat melesat ke atas. Sebentar kakinya dijejakkan di atas atap penjara, lalu kembali melesat cepat. Tubuhnya kemudian menghilang di belakang tembok bangunan penjara yang terbuat dari batu.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Kesunyian begitu terasa. Tak ada seorang pun yang mengetahui peristiwa di penjara Karang Setra malam ini. Semua terjadi begitu cepat, tanpa menimbulkan keributan sedikit pun juga. Tinggal dua prajurit penjaga yang malang tergeletak tak bernyawa dengan kening berlubang sebesar jari.***
Dari jendela yang terbuka lebar, Rangga mengawasi para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Empat orang prajurit tengah menggotong dua prajurit yang tewas dengan kening berlubang. Darah sudah membeku, tak lagi mengucur. Di samping Pendekar Rajawali Sakti, berdiri Pandan Wangi. Dan di belakang mereka terlihat Cempaka dan Danupaksi.
Perlahan Rangga memutar tubuhnya membelakangi jendela. Ditatapnya Danupaksi dan Cempaka dengan sinar mata redup. Sedangkan yang ditatap hanya menundukkan kepala saja. Pandan Wangi ikut memutar tubuhnya, lalu duduk di kursi yang ada di samping jendela itu.
“Peristiwa ini merupakan pukulan besar bagi kita semua,” kata Rangga perlahan.
“Aku yang salah, Kakang. Di sana hanya kutempatkan dua penjaga saja,” ujar Danupaksi seraya mengangkat kepala.
“Tidak. Kau tidak perlu merasa bersalah, Danupaksi. Kesalahan ada pada kita semua, yang tidak mau belajar pada pengalaman. Ini suatu pelajaran. Dalam keadaan apa pun, kewaspadaan tidak bisa diabaikan begitu saja,” jelas Rangga bijaksana.
“Kalau saja kutempatkan satu regu penjaga, peristiwa semalam tidak perlu terjadi, Kakang,” kata Danupaksi, masih merasa bersalah.
“Semua yang terjadi tidak bisa diduga sebelumnya, Danupaksi. Meskipun kau menempatkan satu pasukan, kalau memang akan terjadi, maka tetap terjadi. Bahkan bukannya tidak mungkin akan lebih banyak jatuh korban lagi.”
Danupaksi terdiam. Kata-kata Rangga barusan memang tidak bisa dibantah lagi. Tapi, dia tetap merasa bertanggung jawab atas peristiwa semalam yang teiah meminta korban dua orang prajurit
“Kakang, apa mungkin Sangkala melarikan diri dan membunuh kedua prajurit itu?” duga Cempaka yang sejak tadi diam saja.
“Sangkala sudah menyadari kesalahannya. Bahkan telah berjanji akan selalu setia pada Karang Setra setelah masa hukumannya berakhir,” dengan halus Rangga membantah jalan pikiran adik tirinya ini.
“Tapi, kenyataannya dia kabur dari penjara, Kakang,” Cempaka berusaha menguatkan dugaannya.
“Hm..., kau lihat luka di kening kedua prajurit itu?” Rangga kini malah bertanya.
Cempaka hanya mengangguk saja.
“Aku seperti pernah melihat luka seperti itu, Kakang,” selak Pandan Wangi.
“Kurasa, kau masih ingat peristiwa di Desa Malimping, Pandan,” ujar Rangga.
“Benar, Kakang...!” sentak Pandan Wangi seraya bangkit dari duduknya.
“Kau tahu, siapa yang membawa kabur Sangkala, Kak Pandan?” tanya Danupaksi
“Luka seperti itu tidak ada lagi di dunia ini. Jelas, itu akibat dari jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Aku tahu, siapa yang memiliki jurus itu,” tandas Pandan Wangi.
“Siapa?” tanya Cempaka.
“Si Jari Maut,” sahut Pandan Wangi.
“Jari Maut..?!” Danupaksi mendesis, seakan-akan tidak percaya.
Mereka semua jadi terdiam dan saling melemparkan pandangan. Semua yang ada di situ tahu, siapa si Jari Maut itu. Dia adalah seorang tokoh persilatan beraliran hitam yang sukar dicari tandingannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti pernah bentrok dengannya di Desa Malimping. Waktu itu, Rangga memberi kesempatan padanya untuk memperbaiki jalan hidupnya yang salah. Memang, hanya Pendekar Rajawali Sakti yang mampu mengalahkan si Jari Maut.
Tentu saja mereka tidak bisa mempercayai, karena semua tahu kalau si Jari Maut sudah berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Dan dia akan selalu membantu Karang Setra jika dibutuhkan. Tapi, kelihatannya Cempaka tidak seperti yang lain.
“Aku sudah menduga, si Jari Maut pasti akan mencari kesempatan untuk membalas dendam padamu, Kakang,” ujar Cempaka, agak mendesis suaranya.
“Jangan cepat berprasangka buruk, Cempaka,” sergah Rangga.
“Sudah terbukti, Kakang. Kedua prajurit penjaga itu tewas oleh jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Siapa lagi orangnya kalau bukan si Jari Maut..?” dengus Cempaka.
“Aku akan menanyakan hal ini padanya,” ujar Danupaksi agak mendesis.
“Kalau kau menemui si Jari Maut, urusannya akan bertambah panjang, Danupaksi,” kata Rangga.
“Tapi, Kakang...”
Rangga cepat mengangkat tangannya. Maka Danupaksi tidak meneruskan ucapannya. Pendekar Rajawali Sakti kembali memutar tubuh, menghadap ke jendela lagi. Sementara para prajurit masih terlihat sibuk di sekitar bangunan penjara.
“Danupaksi, siapkan kudaku dan kuda Pandan Wangi. Dan kau, Cempaka. Bawakan pakaianku serta Pedang Rajawali Sakti ke sini,” perintah Rangga tegas.
“Kakang akan pergi?” tanya Cempaka.
“Benar,” sahut Rangga singkat
Tanpa membantah lagi, kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti bergegas meninggalkan ruangan ini. Pandan Wangi sendiri segera ke luar. Gadis itu juga harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan bersama Pendekar Rajawali Sakti. Memang dia sudah bisa menangkap arti perintah itu.
Sementara Rangga masih berdiri terpaku di depan jendela, memperhatikan para prajurit yang sibuk di sekitar bangunan penjara. Tak berapa lama, Cempaka masuk kembali ke dalam ruangan itu. Setelah meletakkan pakaian dan pedang pusaka kepunyaan Pendekar Rajawali Sakti di atas meja, gadis itu cepat melangkah ke luar dan menutup pintunya kembali.
“Jari Maut... Hm, mungkinkah dia melarikan Sangkala? Untuk apa hal itu dilakukannya...?” gumam Rangga bertanya pada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
54. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Mintarsih
ActionSerial ke 54. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.