BAGIAN 7

567 24 0
                                    

Panglima Durangga mengangkat kepalanya ketika pintu penjara yang mengurungnya terbuka, memperdengarkan suara berderit yang menggiris hati. Tubuhnya tidak bergeming, meskipun Rangga tampak melangkah masuk. Di depan pintu, terlihat dua orang prajurit penjaga berdiri membelakangi pintu penjara yang terbuka cukup lebar. Rangga melangkah masuk, dan berhenti sekitar empat langkah lagi di depan Panglima Durangga.
“Bagaimana keadaanmu Panglima Durangga?” sapa Rangga ramah.
“Baik,” sahut Panglima Durangga tak bersemangat.
Rangga tersenyum. Bagaimanapun, hidup di dalam penjara tidak sebaik jika berada di alam bebas. Dan memang, penjara ini bukanlah tempat untuk orang seperti Panglima Durangga yang sudah berjasa cukup besar bagi Karang Setra. Tapi bagaimanapun juga, Panglima Durangga sudah melakukan kesalahan besar. Dia mencoba meruntuhkan Kerajaan Karang Setra, dengan mencoba merebut tahta dari Pendekar Rajawali Sakti yang menjadi raja di Karang Setra.
“Sebenarnya aku tidak suka melihatmu berada di tempat seperti ini, Panglima Durangga. Tapi terpaksa kau kutempatkan di sini, sampai pengadilan nanti memutuskan,” kata Rangga sambil menghembuskan napas cukup panjang.
Panglima Durangga hanya diam saja, dan tetap duduk memeluk lutut, dengan punggung bersandar ke dinding. Sedangkan Rangga duduk di kursi yang disediakan seorang prajurit untuknya. Pintu ruangan ini masih tetap terbuka. Dan dua orang prajurit terlihat berjaga di depan pintu.
“Aku yakin, kau tetap mencintai Karang Setra. Seperti juga aku mencintai negeri ini. Bagaimanapun juga, aku tidak akan melupakan jasa-jasamu demi kejayaan Karang Setra, hingga seperti sekarang ini,” tutur Rangga lagi.
Panglima Durangga masih tetap diam membisu. Bahkan sedikit pun tidak melirik Pendekar Rajawali Sakti. Pandangannya tertuju ke lantai, di ujung jari kakinya.
“Aku ingin berbuat yang terbaik untuk semuanya. Untukku, untukmu, dan juga untuk Karang Setra yang sama-sama kita cintai ini, Panglima Durangga. Aku ingin bicara padamu, bukan karena aku raja di sini. Tapi, sebagai diriku pribadi. Sebagai seorang pendekar yang berjalan di jalur kebenaran. Aku berjanji akan membelamu, jika tujuanmu memang benar,” tegas Rangga lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu sungguh-sungguh.
“Kau tidak akan bisa melakukannya, Pendekar Rajawali Sakti,” tukas Panglima Durangga.
Rangga tersenyum, lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu. Panglima Durangga hanya melirik sedikit saja saat Rangga duduk di sampingnya. Sama-sama duduk di lantai bersama seorang tahanan. Terlebih lagi di lantai penjara yang lembab dan kotor begini.
“Kau menyebutku Pendekar Rajawali Sakti. Aku senang! Itu berarti kita bisa bicara tanpa kau memandang kedudukanku sebagai raja di sini,” pancing Rangga disertai senyum tersungging di bibir.
Panglima Durangga menatap dua prajurit yang berjaga di pintu. Rangga langsung bisa menangkap maksud laki-laki setengah baya ini. Kemudian, diperintahkannya dua prajurit itu untuk pergi. Tanpa membantah sedikit pun, kedua prajurit itu meninggalkan tugasnya setelah memberi hormat.
“Nah! Sekarang, kita bisa bicara tanpa seorang pun yang mendengar,” kata Rangga lagi
“Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Panglima Durangga, masih sukar dipahami nada suaranya.
“Aku hanya ingin meluruskan persoalan ini, tanpa harus merugikan siapa pun juga. Kurasa, kau bisa mengerti maksudku, Panglima Durangga,” sahut Rangga.
“Kau seorang raja di sini. Tentu kau akan mempertahankan kedudukanmu,” agak sinis nada suara Panglima Durangga.
“Sebagai seorang raja, hal itu memang sudah menjadi kepastian, Panglima Durangga. Tapi keberadaanku di sini bukan sebagai raja. Dan aku akan meluruskan persoalan ini juga bukan sebagai raja. Jika memang ada yang lebih berhak atas tahta Karang Setra, tentu akan kuserahkan pada yang berhak. Dan memang aku sebenarnya tidak pantas menduduki tahta itu. Aku seorang pendekar, yang tidak selamanya bisa berada di atas tahta,” panjang lebar Rangga menjelaskan tentang dirinya dan kedudukannya di Karang Setra.
“Aku dulu juga pendekar. Aku akan memegang kata-katamu sebagai seorang pendekar,” ujar Panglima Durangga.
“Bagus! Kita bicara sebagai dua orang pendekar yang menghadapi satu persoalan,” sahut Rangga.
“Apa yang ingin kau ketahui dariku?” tanya Panglima Durangga, setelah yakin akan kata-kata Rangga yang berbicara bukan sebagai raja, melainkan sebagai seorang pendekar yang berada di jalan kebenaran.
“Tujuanmu melakukan pemberontakan,” sahut Rangga.
“Aku melakukannya demi putra Gusti Arya Permadi,” jelas Panglima Durangga.
“Boleh aku tahu, siapa orangnya?” tanya Rangga, meminta.
“Gusti Korapati. Beliau adik Kandung Gusti Wira Permadi yang merupakan keturunan langsung Gusti Arya Permadi. Gusti Korapati-lah yang lebih berhak atas tahta Karang Setra ini,” tegas Panglima Durangga.
“Danupaksi dan Cempaka juga putra Gusti Arya Permadi. Tapi mengapa kau tidak menuntut agar salah satu dari mereka yang menduduki tahta? Dan mengapa orang yang selama ini tidak pernah mempertaruhkan jabatanmu, Panglima Durangga?” tanya Rangga ingin tahu.
“Mereka tidak berhak, karena terlahir dari selir yang belum disahkan pendeta istana,” sahut Panglima Durangga.
“Lalu, bagaimana dengan putra Gusti Arya Permadi sendiri?” tanya Rangga lagi
“Gusti Rangga Pati Permadi telah hilang, lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Namanya sama denganmu. Tapi aku tidak yakin kalau kaulah orangnya.”
“Kau tahu persis kejadiannya?”
“Tidak. Tapi semua orang tahu kalau tak ada seorang pun yang bisa hidup jika sudah berhadapan dengan gerombolan Iblis Lembah Tengkorak. Terlebih lagi jika sudah tercebur ke dalam Lembah Bangkai. Dan semua orang berkeyakinan kalau Gusti Rangga Pari Permadi sudah tercebur ke Lembah Bangkai. Jadi tak ada harapan untuk bisa hidup kembali.”
Rangga tersenyum saja mendengar penuturan polos Panglima Durangga barusan. Memang benar apa yang dikatakan Panglima Durangga tadi. Dan hal itu diakui Rangga kebenarannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti menyadari kalau tidak mungkin memaksakan keyakinan panglima ini untuk mengakui kalau yang ada di sampingnya adalah Rangga Pari Permadi. Putra tunggal mendiang Arya Permadi.
“Kau tahu, di mana sekarang Korapati berada?” tanya Rangga.
“Untuk apa hal itu kau tanyakan? Kau ingin membunuhnya?” nada suara Panglima Durangga terdengar mengandung kecurigaan.
“Aku hanya ingin kenal. Dan kalau mungkin, mengajaknya ke istana,” sahut Rangga.
“Kau tidak akan bisa membawanya ke istana, kecuali dia ingin datang sendiri. Dan itu pun untuk mengambil tahta yang menjadi haknya.”
“Baiklah,” Rangga menyerah. “Tapi kau bisa tunjukkan di mana Sangkala, bukan...?”
Panglima Durangga tidak menjawab.
“Dalam persoalan ini, rasanya Sangkala tidak perlu dilibatkan. Dia masih menjalankan masa hukumannya. Dan aku tidak ingin orang yang tidak tahu apa-apa terlibat dalam persoalan ini,” bujuk Rangga.
“Dia sudah bebas, dan hidup damai bersama kekasihnya,” jelas Panglima Durangga.
“Kekasihnya...?” kening Rangga jadi berkerut.
“Maaf, aku tidak bisa bicara lebih banyak lagi. Di antara kami punya perjanjian. Dan kau tidak bisa mendesakku untuk mengatakan lebih banyak,” tegas Panglima Durangga buru-buru, agar Rangga tidak lebih banyak bertanya lagi.
“Baiklah. Kau telah berbuat banyak, Panglima Durangga. Akan kuusahakan agar hukumanmu tidak terlalu berat,” ujar Rangga seraya bangkit berdiri.
“Tidak ada yang dapat menghukumku, kecuali Gusti Korapati,” dengus Panglima Durangga.
Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melangkah keluar dari ruangan pengap dan kotor ini. Dua orang prajurit menghampiri dan mengunci pintu setelah Rangga ke luar.

54. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan MintarsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang