Lima orang berbaju merah yang tadi menyerang Rangga, secara bersamaan berlompatan menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Mereka berdiri berjajar sambil melipat tangan di depan dada. Rangga jadi tercenung, karena tak ada seorang pun yang bergerak lagi memberi serangan. Bahkan malah memperhatikan pertarungan antara Pandan Wangi dan lima orang lain yang juga mengenakan baju merah dan bersenjatakan tongkat kayu.
Tampaknya Pandan Wangi juga menguasai pertarungan. Satu persatu lawan-lawannya dibuat jatuh bangun. Seketika tongkat-tongkat mereka berpentalan, saat gadis itu bergerak cepat sambil mengebutkan cepat kipas baja putihnya. Begitu senjatanya terlepas dari tangan, cepat sekali kelima orang berbaju merah itu berlompatan mundur. Lalu mereka bergabung bersama lima orang lainnya. Sepuluh orang berbaju merah menyala itu kini berdiri berjajar dengan tangan terlipat di depan dada. Pandan Wangi bergegas menghampiri Rangga.
Plok, plok, plok...!
Rangga dan Pandan Wangi bersamaan berpaling saat terdengar tepukan tangan. Di ambang pintu pondok yang kini terbuka lebar, tahu-tahu sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju merah ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot.
“Jari Maut..,” desis Pandan Wangi langsung mengenali laki-laki setengah baya berbaju merah itu.
Slap!
Ringan sekali si Jari Maut melompat. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat sekitar dua langkah di depan Rangga. Tubuhnya membungkuk sedikit, sambil merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada. Penghormatan itu dibalas Rangga dengan membungkukkan tubuhnya juga.
“Maaf. Penyambutanku mungkin kurang berkenan di hatimu, Pendekar Rajawali Sakti,” ucap si Jari Maut ramah.
“Sambutan yang mengesankan,” sahut Rangga seraya melirik sepuluh orang berbaju merah.
“Kalian cepat beri hormat pada tamuku!” perintah si Jari Maut
Sepuluh orang berbaju merah itu cepat merapatkan telapak tangan di depan dada, lalu membungkuk memberi hormat pada kedua pendekar muda itu. Rangga dan Pandan Wangi membalas dengan membungkukkan tubuh juga.
Setelah kembali tegak, sepuluh orang berbaju merah itu melepaskan penutup kepala. Maka kini tampaklah wajah-wajah yang muda dan belia. Mereka ternyata gadis-gadis berusia sekitar delapan belas tahun. Tak satu pun di antara mereka yang laki-laki.
“Mereka murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” si Jari Maut memberi tahu.
“Hebat! Satu pasukan prajurit terlatih pun tidak akan mampu menghadapi mereka,” puji Rangga.
“Ah! Kau terlalu memuji, Pendekar Rajawali Sakti. Mereka masih perlu bimbingan lebih lama lagi. Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Kau bisa lihat sendiri. Hanya beberapa gebrakan saja, mereka sudah kau buat tidak berdaya,” Jari Maut merendahkan diri.
“Tapi aku kagum. Mereka benar-benar tangkas dan sangat berbakat,” lagi-lagi Rangga memuji.
“Terima kasih,” ucap si Jari Maut seraya menjura. Rangga membalas dengan membungkukkan tubuh sedikit
“Kau datang ke sini, tentu ada maksud tertentu,” tebak si Jari Maut tidak ingin Rangga meneruskan pujian pada murid-muridnya.
“Benar. Sesuatu yang sangat penting,” sahut Rangga.
“Kalau begitu, sebaiknya bicara di dalam saja. Mari...,” ajak si Jari Maut
Rangga melangkah mengikuti laki-laki setengah baya yang sudah berjalan lebih dulu. Sementara Pandan Wangi mengikuti di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan sepuluh orang murid si Jari Maut, bergegas meninggalkan tempat itu. Mereka menuju bagian belakang pondok kecil ini.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi, serta si Jari Maut sudah berada di dalam pondok. Mereka duduk di lantai yang beralaskan selembar permadani bercorak bunga-bunga.
“Bisa dijelaskan sekarang, keperluan apa yang kau bawa, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya si Jari Maut
“Kuharap kau tidak tersinggung setelah aku menyampaikannya. Masalahnya ini menyangkut nama baikmu selama ini, yang telah kau jaga dengan baik,” kata Rangga memulai.
“Nama baikku...? Apakah persoalan yang kau bawa ada sangkut pautnya dengan diriku?” tanya si Jari Maut, tidak mengerti.
“Aku sendiri tidak yakin. Tapi tampaknya memang demikian,” sahut Rangga.
Si Jari Maut memandangi Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi bergantian. Sedangkan yang dipandangi juga balas memandang. Untuk beberapa saat, mereka hanya terdiam tanpa berkata-kata. Di benak si Jari Maut, timbul berbagai macam dugaan dan pertanyaan yang belum tentu kebenarannya. Sedangkan Rangga sendiri tampaknya sulit untuk mengemukakan. Pendekar Rajawali Sakti harus mengatakannya, tapi tidak ingin menyinggung perasaan laki-laki setengah baya berbaju merah ini.
“Sebenarnya aku sendiri tidak yakin. Tapi, aku harus mencari kebenarannya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Aku merasa hubungan baik kita selama ini bisa terancam,” kata Rangga setelah cukup lama terdiam.
“Hm.... Katakan saja, apa masalahnya, Pendekar Rajawali Sakti...?” pinta si Jari Maut tidak sabaran.
“Semalam, sesuatu telah terjadi di Istana Karang Setra. Dua orang prajurit yang bertugas di rumah tahanan, ditemukan tewas. Dan satu orang tahanan yang sedang menjalani masa hukuman telah hilang...,” Rangga berhenti sebentar, lalu menarik napas panjang.
“Teruskan,” pinta si Jari Maut.
“Aku tidak akan ke sini jika kematian dua orang prajurit itu tidak memberi petunjuk untukku yang menyangkut dirimu, Jari Maut,” sambung Rangga.
“Petunjuk...? Apa maksudmu dengan petunjuk, Pendekar Rajawali Sakti?” Jari Maut meminta penjelasan.
“Kedua prajurit itu tewas dengan lubang di kening, antara kedua matanya. Lubang sebesar jari....”
Brak!
Jari Maut menggebrak meja di depannya hingga bergetar. Seketika saja wajahnya memerah seperti besi terbakar di dalam tungku perapian pandai besi. Gerahamnya bergemeletuk, dan bola matanya memerah berapi-api. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Mereka memang sudah menduga, si Jari Maut pasti marah jika mendengar hal itu.
“Aku sudah berusaha untuk tidak berurusan lagi denganmu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi aku juga tidak sudi dituduh menculik tahanan Karang Setra!” agak tertahan nada suara si Jari Maut
“Jangan salah mengerti, Jari Maut. Aku hanya memberi tahu dan bukan bermaksud menuduh. Luka yang membuat kedua prajurit itu tewas memang sangat mirip dengan luka akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Tapi aku tidak langsung menuduhmu,” Rangga mencoba meredakan amarah laki-laki setengah baya ini.
“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya si Jari Maut.
“Mencari kebenaran,” sahut Rangga.
“Phuah...! Itu sama saja mencurigaiku, Pendekar Rajawali Sakti!” sentak si Jari Maut semakin menggeram marah.
“Kebenaran bukan berarti mencurigai atau menuduh. Aku percaya, bukan kau pelakunya,” Rangga masih mencoba tenang.
Sementara Pandan Wangi sudah mulai waspada. Meskipun gadis itu masih duduk di tempatnya, namun sudah meraba kipas baja putih yang terselip di sabuk pinggangnya. Sedangkan Rangga masih kelihatan tenang, walaupun orang yang dihadapinya seperti sudah tidak lagi bisa menahan amarah.
“Dengar, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sudah bersumpah untuk tidak lagi terjun dalam dunia persilatan. Bahkan sudah berjanji untuk membantu Karang Setra jika mendapat kesulitan. Mana mungkin aku bisa membunuh dua orang prajurit dan melarikan seorang tahanan...? Siapa tahanan itu?” masih terdengar sengit nada suara si Jari Maut Meskipun dari tekanannya, kemarahannya sudah dicoba untuk diredakan.
Si Jari Maut menyadari, siapa yang ada di depannya ini. Seorang pendekar muda dan digdaya yang pernah menaklukkannya di Desa Malimping. Di samping itu, dia juga seorang raja yang menguasai seluruh wilayah Karang Setra. Dan Lembah Kunir ini juga termasuk kekuasaan Karang Setra.
“Tahanan itu bernama Sangkala. Dia murid mendiang Pendeta Pohaji. Kau pasti sudah mendengar peristiwanya, kenapa dia sampai mendapat hukuman,” sahut Rangga.
Si Jari Maut terdiam. Dia memang tahu, siapa Sangkala itu. Dan kenapa dia bisa berada di dalam tahanan Karang Setra. Seluruh peristiwanya memang sudah diketahuinya meskipun dia tidak terlibat langsung di dalamnya. (Baca serial Pendekar Rajawali Sakti dalam kisah Jaringan Hitam)
“Hhuhhh...!” Jari Maut menghembuskan napas kuat-kuat.
Wajah yang semula memerah, kini perlahan memudar. Beberapa kali si Jari Maut menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu dirayapinya wajah Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
“Maaf, aku...,” ucap Jari Maut terputus.
“Sudahlah.... Aku bisa mengerti, Jari Maut,” desah Rangga seraya tersenyum.
“Sudah hampir malam. Sebaiknya kalian menginap saja di sini. Besok, baru kalian bisa melanjutkan perjalanan,” kata Jari Maut
“Terima kasih,” ucap Rangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
54. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan Mintarsih
ActionSerial ke 54. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.