BAGIAN 3

690 26 0
                                    

“Mustahil...!” desis Rangga tidak percaya.
Mana mungkin Pendekar Rajawali Sakti bisa percaya kalau Nenek Jamping bisa melakukan semua ini. Sedangkan semua orang tahu, perempuan tua itu sudah tewas. Tapi Rangga tidak menyangkal kalau kemungkinan memang Mintarsih yang melakukan semua ini. Hal ini juga pernah dilontarkan Danupaksi padanya.
Terlebih lagi, tahanan yang hilang hanya Sangkala. Seorang pemuda yang mempunyai hubungan dengan Mintarsih, sehingga mengakibatkan Pendeta Pohaji tewas di tangan wanita itu. Sedangkan Sangkala sendiri mencoba membunuh Rangga, karena termakan hasutan Mintarsih. Katanya orang tua Sangkala tewas di tangan Rangga.
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apa mungkin Mintarsih kini menjalin hubungan dengan si Jari Maut? Pertanyaan seperti ini tiba-tiba saja muncul di benak Rangga. Memang sukar untuk bisa memastikan, karena semuanya masih terselimut kegelapan.
“Sebelum aku bertemu denganmu, aku pernah bentrok melawan Nenek Jamping. Waktu itu aku tidak mengenal Mintarsih. Dalam pertarungan itu, Nenek Jamping sangat pandai menggunakan senjata rahasia. Aku berhasil lolos karena ditolong seorang laki-laki tua yang kusebut kakek. Kau pasti kenal dengannya, Kakang,” jelas Pandan Wangi mengingat masa lalunya.
“Kau tidak pernah cerita tentang hal itu, Pandan,” sergah Rangga.
Tentu saja Rangga kenal laki-laki tua yang dimaksudkan Pandan Wangi. Mereka memang bertemu ketika terjadi peristiwa di Bukit Setan. Tapi, dia tidak pernah tahu kalau Pandan Wangi pernah bentrok dengan perempuan tua yang bernama Nenek Jamping, sekaligus orang terdekat dengan Mintarsih. Ketika membatu Mintarsih pun, Rangga tidak melihat kalau Nenek Jamping menggunakan senjata rahasia. Atau, memang pada waktu itu tidak sempat menggunakannya? Waktu itu, pertarungan antara Rangga dan Nenek Jamping memang berlangsung dalam jarak yang begitu dekat. Jadi, rasanya terlalu sulit untuk melepaskan senjata rahasia.
“Bagaimana bentuk senjatanya, Pandan?” tanya Rangga ingin tahu.
“Terlalu banyak bentuknya. Dan aku tidak bisa memastikan satu persatu, Kakang. Dia bisa menggunakan apa saja untuk dijadikan senjata rahasia. Bahkan sehelai rumput pun bisa dijadikan senjata rahasia yang mematikan,” sahut Pandan Wangi
“Apa mungkin Mintarsih bisa menggunakan senjata rahasia?” Rangga seperti bertanya pada diri sendiri
“Kemungkinan itu selalu ada, Kakang,” sahut Pandan Wangi.
Rangga kembali terdiam. Rasanya memang semakin sulit mencari hubungan antara peristiwa yang satu dengan lainya. Memang, ada kemungkinan Mintarsih juga mahir menggunakan senjata rahasia. Tapi apa mungkin juga menguasai jurus 'Sepuluh Jari Maut'? Sedangkan dua prajurit penjaga tewas dengan kening berlubang sebesar jari. Dan luka itu sudah jelas akibat jurus 'Sepuluh Jari Maut'. Sementara, yang memiliki jurus itu hanyalah si Jari Maut
“Pandan, apa mungkin si Jari Maut dan Mintarsih memiliki hubungan?” tanya Rangga, agak ragu-ragu nada suaranya.
“Terlalu dini untuk bisa memastikannya, Kakang,” sahut Pandan Wangi.
Lagi-lagi Rangga terdiam.
“Kakang, apa tidak sebaiknya kita pergi ke tempat tinggal Nenek Jamping...?” saran Pandan Wangi.
“Ke puncak Gunung Batur Gamping?”
“Bukan ke sana, Kakang. Nenek itu mempunyai tempat tinggal yang baru setelah turun dari pertapaannya,” jelas Pandan Wangi.
“Di mana?”
“Tidak jauh dari Desa Wadas Putih.”
“Desa Wadas Putih...? Untuk apa ke sana?” tanya Rangga.
“Barangkali saja Mintarsih ada di sana, Kakang,” sahut Pandan Wangi.
“Tapi membutuhkan waktu dua hari perjalanan dari sini, Pandan,” gumam Rangga.
“Memang, kalau hanya menunggang kuda.”
“Maksudmu...?”
“Kau punya tunggangan yang lebih cepat, bukan?”
Rangga tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Dia tahu betul maksud Pandan Wangi ini. Untuk mencapai Desa Wadas Putih dengan waktu singkat tidak ada cara lain lagi, kecuali menunggang Rajawali Putih.
“Kau sudah bersumpah untuk tidak lagi menunggang Rajawali Putih, Pandan. Apa kau sanggup melanggar sumpahmu?” ujar Rangga mengingatkan akan sumpah Pandan Wangi.
“Sebelumnya pun aku sudah pernah melanggarnya, Kakang.”
“Kau tidak takut lagi?”
“Kenapa harus takut? Toh, Rajawali Putih tidak mungkin menjatuhkan aku dari atas awan.”
“Baiklah. Aku akan memanggil Rajawali Putih, dan kita pergi ke Desa Wadas Putih.”
“Lebih cepat, lebih baik, Kakang. Mumpung belum terlalu siang.”
Rangga hanya tersenyum saja.

54. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan MintarsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang