BAGIAN 4

569 24 0
                                    

Setelah mengantarkan Mintarsih, Rangga mengajak Pandan Wangi untuk segera ke Lembah Kunir lagi. Dua hari mereka terpaksa melupakan persoalan di Lembah Kunir. Sementara itu Mintarsih telah memberikan nama beberapa orang yang diketahui mahir menggunakan senjata rahasia. Saat nama si Jari Maut disebut, Rangga dan Pandan Wangi hampir tidak percaya. Tapi Mintarsih berani bersumpah kalau si Jari Maut pernah belajar mempergunakan senjata rahasia pada Nenek Jamping.
“Kau percaya apa yang dikatakannya, Kakang?” tanya Pandan Wangi selagi mereka berada di angkasa bersama Rajawali Putih.
“Kalaupun dia berbohong, paling tidak kita tahu di mana bisa menemukannya, Pandan,” sahut Rangga kalem.
“Kuharap kau tidak lagi mencegahku untuk memberi pelajaran padanya,” desis Pandan Wangi, masih kesal dengan wanita bernama Mintarsih itu.
Rangga hanya tersenyum saja.
“Kraaaghk...!” tiba-tiba Rajawali Putih berseru nyaring.
“Ada apa, Rajawali Putih?” tanya Rangga.
“Khraghk...!”
Rajawali Putih menjulurkan kepalanya ke bawah. Seketika Rangga menatap langsung ke bawah. Matanya sedikit disipitkan begitu melihat titik-titik merah bergerak cepat, berkelebatan di antara rimbunnya pepohonan di bawah sana. Pandan Wangi juga memperhatikan ke bawah. Tapi, kepalanya cepat ditarik karena tiba-tiba saja jadi terasa pening.
“Lebih mendekat lagi, Rajawali Putih...!” seru Rangga memberi perintah.
Rajawali Putih meluruk deras ke bawah, mengikuti perintah Rangga. Semakin dekat, Rangga bisa jelas melihat Titik-titik merah itu bergerak cepat, berkelebatan di antara pepohonan di bawahnya.
“Turun di depan sana, Rajawali Putih!” perintah Rangga lagi sambil menunjuk ke sebuah dataran tinggi yang cukup lapang.
“Khraaaghk...!”
Bagaikan kilat, Rajawali Putih meluruk deras ke arah yang ditunjuk Rangga. Manis sekali kakinya mendarat di tanah berumput hijau yang subur dan tebal bagai permadani terhampar. Rangga dan Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa. Mereka bergegas berlari menuju ke tepi dari dataran yang cukup tinggi ini.
“Mereka seperti murid-murid si Jari Maut, Kakang,” kata Pandan Wangi sambil memperhatikan titik-titik bayangan merah yang berkelebatan cepat di antara kerimbunan pepohonan.
Empat bayangan merah itu terus bergerak cepat menuju Selatan. Baik Rangga maupun Pandan Wangi tahu, mereka pasti menuju Lembah Kunir yang berada tidak seberapa jauh lagi dari tempat ini. Dan dari tempat yang tinggi ini, mereka bisa melihat Lembah Kunir yang memiliki pemandangan sangat indah.
Empat bayangan merah itu berhenti bergerak, lalu lenyap tak terlihat lagi. Pepohonan yang begitu lebat, memang bisa membuat tempat persembunyian yang cukup aman. Rangga dan Pandan Wangi terus memperhatikan dan menunggu. Tapi setelah begitu lama ditunggu, bayangan merah itu tidak juga terlihat lagi.
“Aku akan melihat ke sana. Kau tunggu di sini, Pandan. Kalau terjadi sesuatu, cepat datang bersama Rajawali Putih,” pesan Rangga.
“Baik,” sahut Pandan Wangi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti bergegas berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sementara Pandan Wangi terus memperhatikan dari tempat yang cukup tinggi ini. Saat itu, Rangga sudah cukup jauh berlari. Pendekar Rajawali Sakti menyelusup, menembus rapatnya pepohonan. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah mencapai taraf kesempurnaan.
Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di tempat empat bayangan merah tadi menghilang. Pemuda berbaju rompi putih itu berdiri tegak, mengedarkan pandangannya berkeliling. Tak ada seorang pun yang dijumpainya di tempat ini. Benar-benar sunyi, sampai-sampai tak sedikit pun terdengar suara.
“Hm..., aku tidak yakin kalau mereka bisa menghilang seperti hantu,” gumam Rangga agak mendesis.
Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Matanya terus dibuka lebar-lebar, dan telinganya ditajamkan. Setiap jengkal yang dilalui, diteliti dengan cermat. Diperiksanya setiap pohon dan semak belukar. Tapi tidak juga ditemukan sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.
Tanpa mengenal putus asa, Rangga terus mencari. Hingga ketika tangannya menyibakkan segerumbul semak yang cukup tebal, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, karena semak ini menutupi sebuah mulut gua yang cukup besar. Cukup untuk dilewati dua ekor kuda sekaligus. Sebentar diamatinya keadaan di dalam gua yang cukup gelap ini. Kemudian kakinya terayun melangkah masuk. Rangga mempergunakan aji 'Tatar Netra', agar bisa melihat jelas meskipun dalam kegelapan yang pekat.
Hati-hati sekali Rangga mengayunkan kakinya, melangkah menyusuri lorong gua yang cukup panjang berliku dan gelap ini. Seluruh dinding dan atap gua terbuat dari batu hitam yang licin dan berlumut tebal. Lantainya pun terasa lembab, seolah-olah Rangga berjalan di atas permukaan lumpur sawah. Sudah tiga belokan dilalui Pendekar Rajawali Sakti, tapi lorong gua ini belum juga berakhir.
Sampai pada belokan yang ketujuh, Rangga baru menemui ujung lorong gua ini. Sejenak dia tertegun melihat ujung lorong gua ternyata tertutup sebuah pintu besi yang tebal dan tampak kokoh. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti menghampiri. Tangannya terulur memeriksa pintu besi itu.
“Tidak ada kuncinya. Bagaimana aku bisa membukanya?” gumam Rangga, bertanya pada diri sendiri. Sebenarnya tidak terlalu sukar bagi Rangga untuk mendobrak pintu besi ini. Tapi, dia tidak ingin merusak. Pada saat Pendekar Rajawali Sakti tengah berpikir keras, tiba-tiba saja pintu besi itu bergerak, memperdengarkan suara berderit yang amat berat. Rangga menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu cepat melompat begitu matanya melihat sebongkah batu besar yang cukup untuk melindungi dirinya.
Saat itu pintu besi terbuka lebar. Kini terlihat dua orang keluar dari balik pintu itu, disusul empat orang berpakaian serba merah. Yang membuat bola mata Pendekar Rajawali Sakti terbeliak, dua orang itu adalah Jari Maut dan seorang Panglima Perang Kerajaan Karang Setra. Rangga mengenali panglima itu. Dia biasa dipanggil, Panglima Durangga.
“Aku di sini tinggal menunggu isyarat darimu, Panglima Durangga,” ujar Jari Maut tanpa menghentikan ayunan kakinya.
Sementara Rangga di tempat persembunyian, terus mengamati sambil memasang telinga tajam-tajam. Pendekar Rajawali Sakti juga memindahkan jalan pernapasannya melalui perut, agar tidak terdengar oleh orang-orang itu.
“Aku sebenarnya cemas waktu mendengar Gusti Prabu dan Nini Pandan Wangi menemuimu di pondok Lembah Kunir,” kata Panglima Durangga.
“Tidak perlu khawatir. Semua sudah kuatasi dengan baik. Aku tidak mungkin dicurigainya. Lihat saja nanti, aku akan membuat dia bertarung mengadu nyawa melawan sahabatnya sendiri,” si Jari Maut mencoba meyakinkan.
“Aku percaya. Selama ini semuanya berjalan lancar,” sahut Panglima Durangga. “Oh, ya. Bagaimana dengan Sangkala? Apa dia sudah bisa diajak kerjasama?”
“Rasanya sulit, Panglima Durangga. Aku sendiri tidak yakin kalau dia bisa dipercaya untuk menghancurkan dari dalam. Hm.... Mengapa tidak kau saja yang melaksanakannya, Panglima?”
“Orang-orang di Karang Setra terlalu patuh dan setia, walaupun ada juga yang bisa kuajak kerjasama. Makanya, aku tidak bisa bergerak bebas. Sedikit saja melakukan sesuatu yang mencurigakan, bisa-bisa mereka langsung menutup ruang gerakku. Paling-paling, aku hanya bisa mengerahkan prajurit-prajuritku, jika saatnya sudah tiba,” jelas Panglima Durangga.
“Kalau memang begitu, kita terpaksa menggunakan cara semula, Panglima,” ujar si Jari Maut
“Aku percaya pada kemampuan empat orangmu ini.”
“Mereka sudah terlatih baik, dan tidak pernah gagal melakukan tugas. Kecuali pada malam itu. Mereka telah gagal membunuh Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan hampir saja aku kehilangan satu orang.”
“Oh, ya. Kau bisa tahu di mana dia sekarang ini?” tanya Panglima Durangga.
“Yang kudengar, dia mencari Mintarsih. Aku berhasil mengalihkan perhatiannya pada Mintarsih. Aku yakin, saat ini dia sudah jauh dari Karang Setra,” sahut si Jari Maut.
“Bagus. Memang itu yang kuharapkan. Dengan begitu, aku bisa leluasa bergerak. Masalah Danupaksi dan Cempaka, aku tidak terlalu memikirkannya.”
“Aku akan mengantarkanmu sampai di depan pintu saja,” kata si Jari Maut.
“Baik. Memang seharusnya kau tidak terlalu sering pergi. Aku rasa kau sudah terlalu kewalahan mengatur waktu untuk gadis-gadis itu.”
Mereka kemudian tertawa terbahak-bahak, dan semakin jauh masuk ke dalam lorong gua ini. Rangga baru keluar dari balik batu persembunyiannya, setelah mereka tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti menatap ke pintu besi yang kini terbuka lebar. Bergegas dia melompat, menerobos melewati pintu itu.
Sejenak Rangga tertegun begitu berada di luar gua. Ternyata pintu gua ini berada tepat di belakang pondok kecil tempat tinggal si Jari Maut. Suasananya begitu sepi. Tak ada seorang pun terlihat di sekitarnya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kakinya, melangkah mendekati pondok kecil yang diketahui untuk beristirahat sepuluh orang murid si Jari Maut.
Dari pintunya yang terbuka, Rangga dapat melihat ke dalam. Tak ada seorang pun di dalam pondok itu. Rangga kembali mengayunkan kakinya, mendekati pondok satunya lagi. Dia tahu kalau pondok itu menjadi tempat tinggal si Jari Maut.
“Hup!”
Tiba-tiba saja Rangga melesat ke atas. Dan manis sekali kakinya mendarat di atap pondok. Gerakannya sungguh indah dan ringan sehingga tak menimbulkan suara sedikit pun. Pada saat itu dari dalam pondok keluar dua orang gadis muda berbaju merah menyala.
“Hup...!”
Cepat sekali Rangga melompat turun dari atap. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat tepat di belakang kedua gadis muda itu. Secepat itu pula, tangan Rangga terulur hendak menotok. Namun tanpa diduga sama sekali, kedua gadis itu cepat berbalik sambil mengebutkan tongkat kayu yang dibawanya.
Bet!
“Uts...! Hap!”
Rangga bergegas menarik tangannya kembali, lalu melenting ke belakang. Tubuhnya berputar satu kali sebelum dua ujung tongkat yang cukup runcing menyobek perutnya. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya kembali di tanah. Pada saat itu, dua orang gadis berbaju merah menyala sudah melompat cepat sambil mengebutkan tongkat ke arah dada dan kaki Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”
Rangga segera mengebutkan kedua tangannya, menangkis dua batang tongkat itu. Dan secepat kilat, tangannya dihentakkan ke depan. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kedua gadis itu tidak sempat lagi menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga.
Begkh!
Bugkh!
Kedua gadis muda itu memekik tertahan. Tubuh mereka terpental sejauh beberapa batang tombak ke belakang. Pada saat itu, Rangga sudah melompat cepat mengejar. Pendekar Rajawali Sakti siap memberi pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam penuh.
“Hiyaaat..!”
Plak!
“Akh...!”
Hampir saja pukulan Rangga mendarat di dada kedua gadis itu. Untung saja cepat datang sebuah bayangan merah berkelebat menghantam punggung Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu terpekik agak tertahan. Tubuhnya tersungkur mencium tanah, tapi cepat bangkit berdiri. Segera tubuhnya diputar berbalik.
“Jari Maut..,” desis Rangga begitu melihat seorang laki-laki setengah baya tahu-tahu sudah berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
“Tidak sepatutnya kau menyakiti murid-muridku, Pendekar Rajawali Sakti,” terasa begitu dingin nada suara Jari Maut
“Aku tidak akan menyakiti, jika kau sendiri tidak memulai menyubit, Jari Maut,” desis Rangga tidak kalah dinginnya.
“Ha ha ha...! Gurauanmu menggelitik sekali, Pendekar Rajawali Sakti.”
“Cukup untuk membuatmu berpikir seribu kali, jika merencanakan menggulingkan Karang Setra!”
“Setan...! Sudah dua kali kau menuduhku, Pendekar Rajawali Sakti!” geram Jari Maut, langsung memerah wajahnya.
“Tuduhan yang beralasan. Dan kau tidak bisa lagi mungkir dariku!” dingin sekali suara Rangga.
“Keparat..!”
“Siapa kau sebenarnya, sehingga berani berlindung di balik nama Jari Maut..?!” bentak Rangga keras.
“Bedebah! Kau harus mampus lebih dulu, Pendekar Rajawali Sakti!”
“Hm....”
“Suiiit..!”
Tiba-tiba saja si Jari Maut bersiul nyaring. Dan belum juga siulannya hilang dari pendengaran, mendadak saja bermunculan orang-orang berbaju merah menyala. Mereka semua terdiri dari laki-laki muda berusia sekitar dua puluh tahun.
Rangga jadi berkerut juga keningnya melihat di sekitarnya sudah mengepung sekitar lima puluh orang. Bahkan tidak sedikit yang bersembulan dari atas pepohonan, dengan anak panah siap dilepaskan dari busur. Juga, beberapa orang lagi membawa jaring hitam yang berada di atas pondok. Rangga langsung bisa menebak, kalau jumlah mereka lebih dari seratus orang. Dan tidak mungkin mereka semua bisa dikalahkan seorang diri, meskipun memiliki tingkat kepandaian yang tinggi sekali.
“Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa lolos dariku, Pendekar Rajawali Sakti!” si Jari Maut tertawa terbahak-bahak.
“Kau benar-benar licik, Setan Keparat..!” desis Rangga menggeram.
“Ha ha ha...!” si Jari Maut terus tertawa terbahak-bahak.
Jari Maut tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memiliki tingkat kepandaian yang sukar dicari tandingannya. Tapi setinggi apa pun tingkat kepandaian seseorang, tak akan mampu menghadapi seratus orang dengan senjata terhunus. Terlebih lagi dalam keadaan terkepung seperti ini. Tak ada lagi ruang gerak untuk bisa meloloskan diri. Setiap celah sudah tertutup rapat. Dan kepungan pun semakin bertambah rapat.
Orang-orang berbaju serba merah ini terus bergerak perlahan-lahan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Berbagai macam senjata siap mengancam, dan siap mencabik-cabik tubuh pemuda berbaju rompi putih ini. Sedangkan si Jari Maut sudah melompat ke atas atap. Dia siap memberi perintah pada orang-orangnya yang semakin dekat saja pada Pendekar Rajawali Sakti.
“Serang...!” teriak si Jari Maut tiba-tiba.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”

***

54. Pendekar Rajawali Sakti : Pembalasan MintarsihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang