"Mwo? Apa yang Eomma katakan barusan?" Hyeyoon bertanya, memastikan pendengarannya tidak salah.
"Eomma akan membuka cabang dan pindah ke Thailand, Hyeyoon. Eomma harus pergi ke sana untuk waktu yang tidak bisa ditentukan." ujar ibu Hyeyoon, berusaha menjelaskan kepada putrinya.
Hyeyoon tampak masih tidak bisa mempercayai pendengarannya sekalipun telinganya tidak salah mendengar. "Tapi Eomma, aku masih kelas 1. Aku bahkan belum genap enam bulan jadi murid SMA. Aku nggak mau pindah sekarang. Aku punya teman-teman di sini. Dan lagi, aku nggak bisa bicara bahasa Thailand selain sawadikap. Bagaimana mungkin aku melanjutkan sekolah di sana sementara aku bahkan nggak bisa baca tulisannya. Aku akan berada diperingkat terakhir, Eomma."
Choi Jiwoo, seorang wanita karir yang masih terlihat muda dan cantik. Bahkan tidak akan ada yang menyangka bahwa umurnya hampir setengah abad. Wanita itu terkekeh mendengar penuturan Hyeyoon. Putri semata wayangnya itu tampaknya berpikir terlalu jauh. "Eomma nggak sedang memintamu untuk ikut pindah, sayang. Eomma sendirilah yang akan pindah ke Thailand. Kamu tetap di sini, melanjutkan sekolahmu bersama teman-temanmu."
Hyeyoon tampak linglung, masih belum sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. "Apa maksudnya, Eomma?"
Choi Jiwoo tersenyum lembut. Jari telunjuknya yang lentik menyentuh ujung hidung Hyeyoon. "Maksudnya, kamu nggak perlu jadi peringkat terakhir di sekolah Thailand."
Hyeyoon tertawa kecil menyadari kebodohannya. "Ah, syukurlah. Aku nggak tau bagaimana jadinya kalau aku sampai masuk sekolah di Thailand." Hyeyoon bergidik ngeri membayangkannya.
Kemudian Hyeyoon bergerak memeluk ibunya. "Tapi aku akan sangat merindukan Eomma kalau Eomma pindah. Eomma harus janji untuk sering menghubungiku." Hyeyoon sangat tau bagaimana ibunya bekerja keras selama ini, semenjak perceraian kedua orangtuanya.
Choi Jiwoo mengusap lembut kepala putrinya. "Iya, sayang"
Pelukan ibu dan anak itu terlepas, berganti menjadi saling tatap penuh sayang. "Terima kasih Hyeyoon, sudah mengerti keputusan Eomma. Kamu akan tinggal dengan Appa-mu selama Eomma di Thailand. Eomma sudah mendiskusikan hal itu dengannya dan dia setuju."
Hyeyoon terdiam, berusaha mencerna kata-kata ibunya barusan. Selang beberapa detik, otaknya berhasil menemukan titik terang. Kepala gadis itu menggeleng kuat, "Eomma, aku lebih baik jadi peringkat terakhir di sekolah Thailand."
*
"Kamu masih marah dengan Eomma?" tanya Kwangsoo pada adiknya, Hyeyoon ditengah-tengah kesibukan mereka menghias kamar hotel yang telah dipesan Kwangsoo untuk merayakan ulang tahun pacarnya.
Hyeyoon mendesah frustasi, sementara tangannya bergerak lincah mengikat balon yang baru saja ditiup. "Aku nggak marah, Oppa. Aku hanya minta Eomma membelikanku apartemen atau membiarkanku tinggal sendirian di rumah yang sekarang. Justru Eomma yang marah setelah aku minta begitu."
Kwangsoo menyentil dahi Hyeyoon. "Tentu saja Eomma marah. Kau pikir Eomma akan membiarkan putri semata wayangnya tinggal sendirian? Oppa tau kau bahkan tidak bisa masak nasi."
Hyeyoon mengusap dahinya sambil melirik Kwangsoo kesal. Meskipun sentilan Kwangsoo tidak keras, Hyeyoon semakin kesal karena Kwangsoo sedang duduk di lantai ketika menyentil dahi Hyeyoon yang sedang duduk di kursi. Memang, Hyeyoon sering kali melarang Kwangsoo berada di tempat yang lebih tinggi darinya untuk menghindari pegal-pegal di lehernya (atau lebih buruk –patah tulang leher). Dan tadi, Kwangsoo bahkan tidak perlu repot-repot bangkit untuk menjangkau kepala Hyeyoon. Itu menyebalkan bagi Hyeyoon karena selalu menjadi target yang mudah bagi orang-orang bertubuh tinggi.
"Kalau begitu bagaimana kalau Oppa dan Appa saja yang pindah ke rumah kami?!" Hyeyoon sedang mengajukan penawaran, tapi nada bicaranya yang tidak bisa santai membuatnya terdengar seperti mengancam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Girl [Rowoon × Hyeyoon]
Fanfictionaku suka dia, kecil, imut - rowoon aku nggak suka dia, tinggi, bikin sakit leher - hyeyoon tentang cowok dan cewek yang perbedaan tingginya jauh