"Eomma, jangan lupa makan tepat waktu. Makanan di Thailand kan enak-enak, tidak usah repot-repot masak, beli saja." ujar Hyeyoon kepada ibunya.
Choi Jiwoo tersenyum geli menatap putrinya, kemudian menganggukkan kepalanya. "Iya, ada lagi?"
Saat ini Hyeyoon sedang mengantarkan Ibunya ke bandara. Hyeyoon memutuskan untuk membiarkan Ibunya pergi sendiri mengurus bisnisnya di Thailand, sementara dia akan tinggal bersama Ayah dan kakaknya. Hyeyoon pergi ke bandara bersama ayahnya, sementara Kwangsoo tidak bisa ikut karena sedang bertugas. Meskipun telah bercerai, kedua orangtuanya masih akur. Tidak jarang mereka sekeluarga menghabiskan waktu bersama; makan malam, camping, bahkan berlibur bersama. Hyeyoon yang sebelumnya tidak mengerti kenapa kedua orangtuanya bercerai –padahal terlihat masih saling mencintai–, akhirnya paham ketika mendengar perkataan Sunbin beberapa waktu lalu.
"Eomma harus cukup tidur. Beli saja tempat tidur paling mahal di sana, paling empuk, paling nyaman sampai Eomma bisa tidur hanya dalam 3 detik setelah berbaring. Jangan lupa matikan ponsel ketika tidur, aku tidak mau Eomma sering terbangun tengah malam lagi karena ada telepon tentang pekerjaan." Hyeyoon mencebikkan bibirnya, kesal kepada para penelepon itu. "Karena aku tidak di sana, tidak ada yang bisa memarahi mereka." Hyeyoon pernah mengangkat telepon Ibunya dan mengamuk kepada si penelepon karena menelepon jam 2 dini hari. Padahal penelepon itu merupakan investor yang penting. Ibu Hyeyoon hampir kehilangan investasinya kalau saja tidak bertindak cepat menyenangkan hati sang investor sialan yang melepon tengah malam itu.
Choi Jiwoo tertawa lepas mendengarnya. Setelah ini dia hanya bisa mendengar ocehan Hyeyoon yang super cerewet melalui telepon atau video call. "Baiklah, lalu apa lagi?"
"Eomma harus sering meneleponku, aku tidak akan menelepon Eomma kalau tidak ada hal penting. Aku tidak tau kapan Eomma bekerja dan kapan Eomma istirahat, waktu di sana berbeda dengan di sini. Lalu, sering-seringlah pulang ke Korea, berlibur atau apapun itu. Lalu.." Hyeyoon menghela napas di antara jeda kalimatnya yang menggantung, "jangan lama-lama di sana." ujar Hyeyoon pelan, suaranya mengecil.
"Eomma mengerti. Eomma akan membawakan banyak hadiah ketika kembali ke Korea. Kau mau apa? Cokelat? Kosmetik? Atau Mario Maurer?"
"Eey, Eomma. Apa-apaan yang terakhir itu?" protes Hyeyoon. "Aku mau Pachara saja."
Kedua ibu dan anak itu tertawa, sementara ayah Hyeyoon bertanya-tanya benda apakah Mario Maurer dan Pachara yang dimaksud itu?
Sebuah panggilan keberangkatan Seoul menuju Bangkok akhirnya terdengar. Hyeyoon melangkah maju, bergerak melingkarkan kedua tangannya di pinggang sang ibu, memeluknya erat. "Jaga kesehatan Eomma. Kalau sampai aku tau Eomma sakit, aku akan menyeret Eomma pulang ke Korea."
Choi Jiwoo mengusap punggung Hyeyoon lembut, "Kau juga, makan yang teratur. Ah tapi Eomma tidak akan meragukan itu, mengingat sekarang sudah ada koki pribadi di rumah." Ia melirik Seo Janghoon yang hanya balas tersenyum sambil mengangguk pasrah, kemudian melanjutkan, "Jangan keseringan begadang, tidak perlu belajar terlalu keras. Juga, jangan sampai sakit."
Hyeyoon mengangguk dalam dekapan Ibunya. Kemudian pelukan itu terurai, digantikan oleh sang ayah yang memeluk mantan istrinya itu. "Jaga dirimu baik-baik." katanya.
"Eoh, kau juga. Aku titip Hyeyoon padamu." ujar Choi Jiwoo.
"Tentu saja, Hyeyoon juga putriku."
Kemudian Choi Jiwoo berpamitan. Ia berjalan sambil menarik kopernya ke arah antrian panjang imigrasi, tak jauh dari sana. Hyeyoon menatap punggung ibunya sampai menghilang di telan kerumunan manusia.
"Hiks hiks"
Seo Janghoon memajukan tubuhnya, menunduk menghadap Hyeyoon yang kini sedang menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Little Girl [Rowoon × Hyeyoon]
Fanfictionaku suka dia, kecil, imut - rowoon aku nggak suka dia, tinggi, bikin sakit leher - hyeyoon tentang cowok dan cewek yang perbedaan tingginya jauh