Prolog

75 14 0
                                    

"Dek cepet dek! Pintu gerbangnya mau ditutup" teriak seorang lelaki dengan potongan rambut cepak dan seragam putih abu-abu khas SMA di gerbang sekolah.

Seorang gadis dengan rambut lurus yang tergerai indah itu melangkahkan kakinya dengan tenang melewati gerbang. Beberapa anak berseragam putih-biru khas SMP melangkah dengan terburu-buru menuju lapangan. Masa ospek.

Gadis itu melirik ke arloji putihnya.

06.31 am

"Duhh" Aduhnya lirih ketika seorang anak lelaki berseragam putih biru menabrak bahunya. Melihat anak-anak baru di belakangnya berlarian, gadis itupun segera masuk ke lapangan basket, tempat berkumpul untuk memulai MOS.

•••

Kelas sudah terbagi,

Gadis berambut lurus itu menyeka keringatnya dengan punggung tangan setelah berhasil keluar dari kerumunan anak-anak baru yang sibuk mencari nama mereka masing-masing.

Beberapa ada yang memekik senang karena sekelas dengan teman SMP mereka. Beberapa lagi nampak murung karena tidak sekelas dengan kumpulan anak-anak se-geng SMP mereka dulu. Dan sisanya, tidak peduli. Dan ia masuk ke kriteria ketiga.

Avella Cahaya Ningrum.

Gadis berambut lurus, dengan tinggi yang tidak lebih dari 160 cm. Ia anak pindahan dari Malang. Wajar, jika ia tidak peduli dengan siapa saja yang akan menjadi teman sekelasnya. Ia juga tidak ada yang kenal. Kenalan alumni dari SMP nya dulu juga tidak ada yang ke sini.

Cahaya melangkahkan kakinya ke kelas 10 Mipa 4. Ia mengecek kembali nama-nama yang ada di pintu kelas itu. Benar, ini kelasnya selama ospek. Bahkan posisi sudah diatur. Hitungan mengular dari angka satu sampai tiga puluh. Namanya ada di nomor 9.

Cahaya menghitung kursi dari arah kiri ke kanan. Di hitungan sembilan, ia langsung melangkah ke sana. Tapi ia langsung mengerutkan kening kala seorang anak lelaki dengan jaket jeans sudah duduk duluan di sana. Cahaya menghampirinya,

"Ehm, ini bangkuku?" ujar Cahaya to the point.

"Nggak. Ini bangku Gue" balas lelaki itu datar dengan nada tegas. Cahaya terdiam, kemudian ia kembali menghitung dari kiri.

Bluss

Pipinya memerah karena malu. Ia langsung beranjak tanpa minta maaf dan menuju ke bangkunya sendiri. Bisa-bisanya dia menghitung tujuh menjadi sembilan?

Awal yang buruk.

Cahaya menenggelamkan wajah di lengannya yang bertumpu pada meja. Malu.

Tiba-tiba seseorang menyentuh bahunya. Cahaya menoleh ke belakang, dan mendapati seorang lelaki dengan kacamata kotak berframe biru. Tidak terlalu tinggi untuk ukuran anak lelaki, tapi yang jelas lebih tinggi darinya. Tubuhnya kurus. Kulitnya sawo matang, dengan rambut ikal yang tidak terlalu pendek tapi juga tidak terlalu panjang.

"Apa?" tanya Cahaya.

"Ada gurunya" ujarnya singkat, Cahaya menoleh ke pintu masuk dan mendapati guru yang tengah berjalan seraya membawa tas laptop.

Cahaya mengangguk, dan langsung menegakkan tubuhnya.

Guru mengabsen, di urutan ketujuh Cahaya mendengarkan dengan sangat teliti.

Tirtan Bramasta Fadello.

Nama yang sekeren orangnya. Cahaya mengacungkan tangannya ketika namanya disebut guru itu.

Candra Septian Rasendriya.

Anak lelaki dibelakangnya mengangkat tangannya. Cahaya sempat menoleh sekilas, lalu ia kembali mendengarkan nama-nama yang disebutkan guru itu, juga mengingat orang-orang yang dimaksud.

Cahaya mudah sekali mengingat nama orang-orang yang berada di lingkungan yang sama dengannya. Ia sudah hafal dengan nama anak sekelasnya di hari pertama. Berikut wajah mereka.

Hal yang ia syukuri karena diberi otak yang lumayan tanggap walau gak pinter-pinter banget.

☀️

Hai ini cerita pertamaku tentang anak SMA.

Mohon kritik dan sarannya...
Masih pemula :)

CANDELA - [Satuan Cahaya]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang