Forum berjalan dengan sebagai mana mestinya. Tama, Andre dan Randi, begitupun dengan peserta lain yang ada mencatat apa yang penting untuk dicatat. Arga juga mengingatkan para peserta untuk rutin berolahraga melatih fisik terutama untuk mereka yang baru pertama kali melakukan pendakian, juga menjaga kesehatan fisik mereka dan juga agar tidak lupa membawa obat-obatan pribadi.
Mereka bertiga berjalan keluar dari ruangan Himapala. Sembari melangkah, Randi dan Andre memperhatikan Tama yang tampak murung bahkan sejak forum itu dimulai.
“ Tam, lu masih kesulitan buat move on dari dia?” tanya Randi. Tama hanya terdiam sambil melangkah dengan tatapan kosong kedepan.
“ Tam, gini ya, move on itu bukan tentang berhasil atau enggaknya elu melupakan, move on itu tentang bisa atau enggaknya elu mengikhlaskan, Tam. Bukannya gua so ceramahin lu atau gimana, gua gamau liat sahabat gua terus-terusan murung gini cuma karena cewe yang enggak bisa ngehargain perasaan seseorang, Tam. Lu terlalu fokus melupakan sampai lupa kalo lu harus mengikhlaskan, Tam.”
“Tumben bener lu, Ran. Tapi bener Tam apa kata dia.” Andre menyetujui argumen Randi.
“Masalahnya, dua tahun itu bukan waktu yang sebentar. Ga mudah buat gua lupain atau ikhlasin semuanya Ran, Dre.”
“Iya kita juga ngerti, Tam, semuanya butuh proses dan mungkin akan memakan waktu yang ga sedikit juga.” Ucap Andre.
“Gua juga yakin ko, seiring berjalannya waktu, gua bisa memformat file-file kenangan di otak gua tanpa mampir di recycle bin, semuanya bakal langsung terhapus secara permanen.” Tama yakin sekali dengan argumennya.
“Heleehhh, gini nih kalo anak IT bucin.” Andre memasang poker face pada wajahnya.••••
Tiga hari berlalu, Elina belum juga bertemu dengan Tama lagi sejak obrolan nya di kedai sore itu. Meski Elina selalu memutar kepalanya mencari seorang Tama saat berjalan menuju kelasnya, pandangannya tidak juga menemukan sosok bertubuh tinggi itu. Hari ini adalah hari keempat sejak terakhir kali Elina bertemu dengan Tama. Kalian tau apa yang diharapkan Elina hari ini di kampus.
“Hai El. Mau kemana?” Sapa Randi yang tidak sengaja berpapasan dengan Elina.
“Eh ini Randi ya?” Elina sedikit lupa pada orang yang menyapanya ini.
“Iya gua Randi hehe.”
“Sorry sorry gua sedikit lupa hehe. Ini gua baru mau ke kelas Ran. Lu sih mau kemana?”
“ Oh iya iya, gua mau ke parkiran nih mau balik, kelas udah kelar.”
“Eh btw ko lu ga bareng Tama?” tanya El dengan wajah seperti sangat kepo.
“Tama tadi balik duluan, El. Gua tadi ke kantin dulu, laper hehe.” Pernyataan Randi menghancurkan harapan El untuk bertemu dengan Tama hari ini.
“Ohh udah balik ya.” Elina memasang wajah sedikit sedih mendengar pernyataan dari Randi.
“Elu suka ya sama Tama? Jiaahhhh hahaha” Randi meledek El seperti sudah akrab dengannya, padahal baru saja empat hari yang lalu berkenalan. Randi memang seperti itu, mudah bergaul dengan orang-orang yang baru ia kenal.
“Ahh apaan si Ran, hehe. Tapi ran, Tama orangnya emang dingin gitu ya?” tanya El penasaran.
“Cerita nya panjang, El. Kapan-kapan deh gua ceritain. Gua duluan ya El buru-buru nih sorry hehe.”
“Bener ya nanti ceritain?”
“Iya nanti gua ceritain, kalem aja, ya udah gua balik ya.”
“Eh, Ran, bentar-bentar.”
“Apaaa?”
“Gua bagi Whatsapp lu deh, biar nanti elu kabarin kapan mau ceritanya. Hehe.” El mengeluarkan handphone-nya.
“Ah elahhh, enggak sabaran banget lu ya. Wkwk. Sini Hp-nya.” El memberikan Handphone-nya, membiarkan Tama menambahkan nomer telepon pada Hp-nya.
“Asiiikk. Makasih, Ran. Baik deh lo. Hahaha.”
“Iyaa, iyaaa. Udah nih? gua balik yaa?”
“Iya dah sana. Hati-hati, Ran.”Demi apapun aku enggak sabar. Ini bisa aku jadiin batu loncatan buat paham semua alasan Tama kenapa seperti ini. Elina berbicara pada dirinya sendiri sambil berjalan menuju kelas.
Sementara Randi dan Elina berbincang, ternyata Tama pergi ke sebuah tempat. Adalah tempat favorit Tama saat hatinya sedang tidak baik-baik saja. Kala hatinya tersayat oleh keadaan, terluka sebab manusia, tempat ini adalah obat dari setiap lukanya. Jaraknya cukup jauh dari rumah. Apalagi dari kampusnya.
Hamparan sungai yang luas, rumput-rumput hijau tumbuh subur ditepiannya, pohon-pohon rindang menjulang tinggi, dan suara burung-burung yang terbang bebas menikmati habitatnya menambah suasana sendu hati Tama.
Bukan tanpa alasan Tama menjadikan tempat ini sebagai tempat favoritnya. Dulu, sejak Tama duduk di Sekolah Dasar, Ayahnya sering mengajak Tama ke tempat ini dengan motor tua yang sekarang Tama gunakan.
Tama selalu mencurahkan rasa sakit atapun bahagia yang sedang ia rasakan pada tempat ini, pada titik yang sama. Ia percaya bahwa Ayahnya pasti mendengar semua yang diceritakan oleh Tama pada tempat ini.
Ayah, Tama masih belum bisa lupa sama masa lalu Tama. Tama rasa, sulit sekali melupakan semua ini, Yah. Sahabat ku, Randi, dia bilang sebenarnya Tama hanya perlu mengikhlaskan tanpa perlu sulit-sulit melupakan. Apa itu benar, Yah?
Oh iya, Yah, kemaren ada cewe tiba-tiba nyamperin Tama. Lalu, beberapa hari kemudian cewe itu nyamperin Tama lagi buat ngajak ngobrol. Tama ngerasa ada yang beda Yah dari dia. Waktu ngobrol sama dia, gatau kenapa Tama ngerasa nyaman banget Yah sama dia. Yaaa memang waktu itu Tama dingin banget si sama dia. Apa Tama keterlaluan yah udah bersikap kaya gini sama dia? Apa ini pertanda kalo dia adalah seseorang yang dikirim Tuhan buat bantu Tama mengikhlaskan apa yang ada pada masa lalu Tama, Yah?
Tama bercerita semuanya di tempat ini. Duduk di tepi sungai sambil melepar batu-batu kecil yang ada di dekatnya ke arah sungai. Matahari mulai tenggelam, senja akan tiba. Tama pulang membawa ketenangan dan kekuatan untuk mengikhlaskan. Hatinya selalu membaik setelah pergi dari tempat ini.
••••
Elina berdiri di depan gerbang rumahnya. Menunggu ojek online datang menjemputnya. Elina memiliki jadwal Gladi Bersih hari ini. Dua hari lagi ia akan tampil dengan pianonya pada sebuah acara pertunjukkan musik di pusat kota. Sejak SMA, Elina memang beberapa kali mengikuti pertunjukkan musik. Pikirnya, lumayan untuk menambah uang jajan.
Elina tiba di tempat latihannya. Disambut hangat oleh beberapa rekan yang telah lebih dulu tiba di tempat itu.
“Haii, El.” Sapa seorang pelatih.
“Hai, Ka.” Balas El ditambah dengan senyumannya.
“Gimana? Sudah siap buat Gladi Bersih hari ini? Acaranya tinggal dua hari, semangat El.”
“Siaappp, Ka.”Elina pergi ke tempatnya mempersiapkan segala sesuatu untuk acaranya hari ini. Disisi lain, Elina melihat seseorang yang tidak asing di matanya, meski terlihat hanya bagian belakangnya. Dugaannya benar, itu Tama. Elina terkejut sekaligus tidak mengerti kenapa Tama ada disini.
Hah, Tama? Ko ada disini? Dia ngapain?
KAMU SEDANG MEMBACA
TALINA (On going)
Teen FictionAdalah sebuah perjalanan satu hati yang tertarik pada hati lain yang bahkan belum saling mengenal. Rasa ini tumbuh begitu saja. Sebuah cerita seorang wanita yang melihat satu titik berbeda pada seorang pria. "Tapi bagaimana caranya? Bukannya tidak l...