Ka.. Ka Erik,” Elina mengayunkan lengannya tanda memanggil seorang pelatih yang beberapa saat lalu menyapanya.
“Iya, El, ada apa?”
“Ka, itu yang pake jaket levis siapa? Kaka kenal?” Tanya El penasaran. Sambil menunjuk ke arah pria yang ia maksud.
“Oh, itu Tama, dia bagian dokumentasi, El. Kenapa, El? Kamu kenal? Atau suka ya sama dia? Haha” Ejek Ka Erik.
“Yehh kalo kenal juga Aku enggak akan nanya sama kaka. Ko kemarin-kemarin dia enggak ada ka?” tanya El kembali.
“Biasanya dokumentasi sama Rangga, eh ternyata kemarin Rangga sakit dan parahnya dia perlu dirawat. Berhubung acara ini tinggal dua hari, mau enggak mau kita harus nyari orang lain buat gantiin Rangga. Kebetulan temen kaka ada yang rekomendasikan dia. Ya udah deh kaka pake dia.”
“Oh gitu ya, Ka. Makasih ya, Ka.”
“iya, El. Ya udah Kaka balik kesana lagi yah.”
“iya, Ka.”
Ohh, jadi Tama bagian dokumentasi di sini. Elina membatin sambil senyum-senyum sendiri melihat ke arah Tama.Giliran Elina naik ke atas panggung. Semua mata tertuju pada langkah demi langkah mempesona seorang Elina meski ini hanya latihan. Bisa membayangkan bagaimana nanti ketika pertunjukkan yang sesungguhnya?
Loh, Elina? Jadi dia ikut pertunjukkan ini. Tau gini kenapa enggak dari kemarin-kemarin gua jadi dokumentasi disini? Ehh apaan sih Tam. Fokus fokus!
Tama membatin. Terkejut dan sedikit tersenyum. Ada rasa gembira pada hatinya saat ia tahu Elina menjadi salah satu bagian dari acara ini.“Dokumentasi ready?” teriak seorang crew panggung.
“Readyy, Bang.” Balas Tama.
“MUSIIIIC, ON!”Tama hampir saja kehilangan fokusnya. Elina juga sadar bahwa di bawah panggung, Tama memperhatikan dirinya. Mereka beradu tatapan dalam beberapa saat. Tersirat sedikit senyuman di bibir Tama. Elina menyadari senyuman itu dan bahagia terasa di hatinya.
Setelah beberapa kali mengulang latihannya, akhirnya semuanya telah selesai. Tama membereskan perlengkapan kamera-nya, begitupun Elina dengan perlengkapannya. Semua crew dan peserta yang terlibat dari pertunjukkan ini berkumpul membentuk lingkaran untuk menyudahi latihan kali ini.
Entah kebetulan atau bagaimana, posisi dari Elina dan Tama seperti sudah direncanakan. Tama mendapat ruang yang benar-benar luas untuk dapat melihat Elina, begitupun dengan Elina. Mereka kembali saling beradu pandangan. Menahan tatapannya beberapa detik, lalu mereka dipaksa untuk menundukkan kepala sebab akan berdoa.
Berdoa selesai. Jargon telah diteriakkan. Semuanya bubar untuk pulang dan beristirahat. Tama berjalan menuju ke tempat dimana motornya terparkir. Tama mulai melajukan kendaraannya. Dari kejauhan, Tama melihat Elina sedang berdiri di tepi jalan. Mungkin sedang menunggu seseorang yang akan menjemputnya. Tama menepi sejenak.
Elina, sendirian. Samperin ah. Tama berbicara pada dirinya sendiri. Tidak terlintas dipikirannya untuk mengantar Elina pulang.Elina menolehkan kepalanya ke sebelah kanan. Ia melihat motor tua dan mengetahui siapa yang mengendarai motor tua itu. Itu motornya Tama. Tuhan, aku benar-benar berharap dia berhenti di hadapanku kali ini. Batin Elina. Sementara matanya terus tertuju pada wajah seseorang di balik helm dengan kaca hitam.
Semakin mendekati posisi dimana Elina berdiri, motor tua itu memperlambat lajunya dan berhenti tepat di depan Elina berdiri.
“Hai, El.” Sapa Tama setelah membuka helm nya.
“Tama, Hai.” Balas El.
“Lagi nunggu dijemput ya?”
“Mmm iya, Tam. Lagi nunggu ojol.” Elina sempat terdiam untuk beberapa detik. Berpikir untuk berbohong dan berharap Tama akan mengajaknya pulang bareng. Namun dengan cepat ia menepis pikiran itu.
“Ohh iya iya. Ya udah aku duluan, El. Hati-hati ya.” Tama pamit seraya mengenakan kembali helm nya.
“Iya, Tam. Kamu hati-hati.” Ucap Elina sambil melambaikan tangannya sementara Tama kembali melajukan kendaraannya.Ahh Tama enggak peka banget. Kirain mau ngajak pulang bareng, taunya cuma gitu doang. Kesel sihh, Tapi seengganya aku bisa denger suara Tama setelah beberapa hari enggak ketemu. Rinduku telah bertemu dengan obatnya hari ini. Elina bergumam dalam hatinya. Raut wajahnya terlihat sedih lalu berganti senyuman manis. Ojek online datang dan mengantar Elina pulang.
“Ini Mas uangnya.”
“Terima kasih, Mba.”
“Iya, Mas. Sama-sama.” Mas ojol itu pergi. Elina masuk ke dalam rumahnya.“Kaka pulaaaanggg,” Elina menghampiri Anissa yang sedang belajar bersama teman-teman nya di ruang tamu. “Ehh ada temennya Nissa,”
“Haii, Ka.” Teman-teman Anissa menyapa El.
“Iya, haii. Dek, mamah dimana?“
“Di dapur, Ka. Lagi nyiapin makanan buat kita.”Elina menghampiri Ibunya.
“Maaaahhh,” Elina bersikap manja.
“Iyaa, Kaa. Hmm udah senyum-senyum lagi aja. Bentar yah mama anterin makanan dulu buat Adek.”
“Iya, Mahh.” Ibu pergi, tak lama kembali lagi.
“Ada apa, sayang?” tanya mama El sambil menyeka rambut El.
“Mah tau enggak? Ternyata Tama jadi bagian dokumentasi di show besok.” El bercerita dengan sangat bersemangat.
“Tama? Yang waktu itu kamu ceritain ngobrol sama kamu di kedai?” Hannah sedikit melupakan Tama.
“Iya, Mah, diaa.”
“Ohh gituu. Tapi ko baru sekarang, Ka? Kemaren-kemaren dia kemana?”
Elina menjawab dengan menjelaskan apa yang dikatakan pelatih itu padanya.
“Ohh seperti itu.”
“Dan artinya pas manggung nanti aku bakal difotoin sama orang yang aku suka. Hehehe.” El keceplosan.
“Ohh jadi kamu suka sama diaa.” Ibu Elina mengejek.
“Upsss. Hehehe.”Malam minggu tiba. Artinya, tidak lama lagi Elina akan naik ke panggung dan bumi akan berhenti berputar untuk menyaksikan pertunjukkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TALINA (On going)
Teen FictionAdalah sebuah perjalanan satu hati yang tertarik pada hati lain yang bahkan belum saling mengenal. Rasa ini tumbuh begitu saja. Sebuah cerita seorang wanita yang melihat satu titik berbeda pada seorang pria. "Tapi bagaimana caranya? Bukannya tidak l...