Prolog

20.8K 1.6K 73
                                    

Bagai disambar petir di pagi hari, Ardan tercengang mendengar penuturan kakak-nya di seberang telepon. Dadanya berdegup kencang, keringat mengucur banyak. Kakak-nya, memintanya untuk menggantikan posisinya sebagai mempelai pria dikarenakan Baskara sudah menemukan cinta sejatinya. Bagaimana bisa seperti itu? Jemari Ardan mengepal kuat, mencengkeram gawainya, menahan gejolak amarah. "Jangan bercanda, Mas! Ini hari pernikahan, Mas. Pulang sekarang!"

"Gue nggak bisa balik, karena di sini tempat wanita yang gue cintai."

Rahang Ardan mengetat, giginya bergemeletuk saking besar amarahnya. "Jangan gila, Mas! Jangan buat keluarga malu. Bukannya Mbak Kinar wanita pilihan, Mas?! Pulang sekarang!"

"Terserah mau dibatalin atau gimanapun. Yang jelas, gue nggak akan balik."

"Mas! Halo?! Mas! Sialan!" umpat Ardan nyaris membanting gawainya. Dada bidangnya naik-turun, napasnya memburu. Ardan kembali menghubungi nomor Baskara, tetapi tidak tersambung. "Berengsek!" Ardan segera berlari keluar kamar Baskara, menuruni tangga menghampiri keluarga besar yang sudah bersiap-siap di ruang tamu.

"Gimana? Mas-mu sudah bangun?"

Ardan mengatur napas, netra cokelat gelapnya memindai seluruh orang yang ada di ruang tamu. Menelan ludahnya kesusahan, Ardan mulai mengatakan, "Mas Bara kabur, Ma."

Gelas pecah menyahut. "Apa?!"

Ardan mengambil langkah lebar, menahan ibu-nya yang nyaris ambruk ke lantai. "Ma, sadar, Ma." Ardan melirik paman dan bibi-nya yang mendekat. "Bawa ke sofa dulu, Mang." Ardan berpindah memegangi kepala bahu ibu-nya.

Ibunya dibaringkan. "Jangan bercanda, Dan. Masa Bara kabur?" tegur bibi-nya yang duduk di sisi sofa yang masih kosong.

"Ardan serius, Bi. Bukan bercanda. Mana ada bercanda di waktu serius gini?"

"Ya Allah ..." Bibi Ningrum memegangi kepalanya yang mendadak pusing. "Bara itu usianya berapa, sih? Kok nggak berpikir panjang ninggalin pernikahan pas hari H-nya begini. Gusti Allah ..."

Ardan mendesah gusar, melirik ibu-nya yang masih belum sadarkan diri. "Ma, bangun, Ma." Ardan menjambak rambutnya frustrasi, menyingkir dari rundungan keluarganya. Ardan memikirkan jalan keluar untuk masalah besar ini.

Di lain tempat, Kinara berpegangan pada dua sepupunya yang membawa kabar buruk bahwa calon suaminya kabur dari pernikahan mereka. Mata Kinara memanas, menarik napas dalam-dalam. "Mbak," Aulia mengusap bahu Kinara menenangkan.

Kinara sudah cantik dengan make-up sederhana. Aura memancar dari wajah Kinara. "Hapeku mana, Lia?" tangan Kinara menjulur meminta gawainya. Kedua sepupu Kinara saling melirik, membimbing Kinara untuk duduk di tepi tempat tidur.

"Mbak tenang dulu, ya? Ini pasti akan ada jalannya kok."

Kinara menggeleng, berbagai rasa berkecamuk dalam hatinya. Mengapa Bara meninggalkan gerbang pernikahan yang hanya tinggal satu tahap lagi? Mengapa Bara meninggalkannya? Apa ada kesalahan yang membuat Bara lantas meninggalkannya? Air mata Kinara merebak, berderai membasahi pipinya.

"Bagaimana respon Papa sama Mama?"

Keduanya saling melempar tatap, menatap ragu Kinara. "Masih runding, Mbak."

Kinara menyeka air matanya. "Mana hape, Mbak?" Kinara harus melihat gawainya, menghubungi Bara untuk meminta penjelasan. "Aulia ...," Kinara menahan getaran pilu dalam diri. "Mana hape?"

Ragu-ragu, Aulia memberikan gawai Kinara.

Kinara mengotak-atik gawainya, betapa perih terasa menikam ulu hatinya. Pesan demi pesan Kinara baca. Setiap untaian kata menyayat hatinya. Permintaan maaf dan penyesalan. Terlebih, satu kalimat yang membuat Kinara tak mampu membendung air matanya.

Calon Suami : Aku tahu ini bukan permainan, tapi sungguh, ada wanita yang bisa membuatku merasakan nyaman lebih sama kamu. Aku bahagia sama dia. Aku harap kamu bisa menerima keputusan aku yang lebih memilih hidup bersama dia.

Gawai Kinara terlepas begitu saja dari genggaman, tubuh Kinara bergetar hebat. Membekap bibirnya, menangis tertahan. Mengapa Bara tega meninggalkannya setelah semua mencapai kesepakatan. Selain malu, hatinya terasa patah.

Pintu dibuka, Kinara mengangkat pandangannya, menatap nanar ibu-nya. Kinara berdiri, segera menghambur ke pelukan ibu-nya. "Mama ...," isak Kinara teredam.

Nara mengangguk pada kedua keponakannya memberi isyarata agar keluar memberi waktu untuk mereka berdua. Nara bergeser, kedua keponakannya keluar dari kamar Kinara. "Sabar, Sayang."

"Aku nggak ngerti kenapa Bara tega ninggalin aku kayak gini? Kalau memang Bara nggak mau, kenapa nggak dari awal Bara mundur dan bilang nggak bisa menikah?" tangis Kinara semakin kencang.

Siapa yang bisa menduga pernikahan yang sempat ia mimpikan malah hancur lebur dalam sekejap.

"Kami sudah memutuskan, adik dari Bara yang akan gantikan posisi Bara."

Seketika Kinara menjauhkan diri. "Ardan? Kenapa harus digantikan? Kenapa nggak batal saja?"

Nara mendesah gusar. "Keputusan kami memang begitu, tapi Ardan yang memaksa untuk melanjutkan pernikahan. Ibu Nilam masuk rumah sakit kena serangan jantung, rencana masuk ICU. Ardan sudah ada di depan sekarang."

Kinara menggeleng. "Nggak, Ma." Kinara jelas menolak, Kinara tidak mau menarik Ardan dalam kisah tidak sempurnannya ini.

"Sayang," Nara menahan tangan Kinara. "Ardan melakukan ini bukan karena paksaan, atas keinginannya sendiri menyelamatkan nama baik dua keluarga ini."

Kinara bergeming. "Kinara ikhlas kok, Ma. Nggak usah diganti kayak gini."

"Sayang, deng-"

Ketukan pintu terdengar, Kinara segera berbalik, sementara Nara membuka pintu kamar. "Eh, Ardan?"

Ardan tersenyum, menunduk sopan. "Maaf, Bu. Boleh saya bicara sama Mbak Kinara dulu?" Ardan melirik jam tangannya. "Masih tersisa satu jam untuk negosiasi."

Nara melirik Kinara yang membelakangi pintu, menghela napas panjang sebelum membuka pintu lebar. "Mari masuk," Nara memersilakan. "Kalian bisa ngobrol dulu berdua, biar nyaman juga. Kinar, Mama tinggal, ya?"

Kinara tidak menyahut, bertahan membelakangi pintu. Pintu ditutup.

"Maaf, Mbak. Kita kayaknya perlu ngobrol-ngobrol sebentar untuk saling mengenal," suara berat Ardan memecah keheningan.

Kinara menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Kemudian berbalik menghadap Ardan. "Kamu nggak perlu menambal kesalahan kakak kamu. Biarin pembatalan ini terjadi. Lagi pula, kita nggak saling mengenal."

"Nggak mungkin Mbak nggak kenal saya. Usia saya 30 tahun bulan desember lalu, Mbak. Saya Arsitek yang memang rada sepi job." Ardan berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang. "Kebetulan saya single, Mbak. Jadi nggak ada salahnya saya menutup perbuatan berengsek kakak saya."

"Cibiran tetangga atau gosip-gosip yang akan bermunculan cuma sementara, kok. Jadi, beneran nggak apa-apa. Nanti saya akan nengok Mama setelah acara selesai dibenahi."

"Mbak," cegah Ardan. "Saya sadar, kalau saya memang nggak ada apa-apanya dibanding Mas Bara. Tapi, saya mohon izinkan saya untuk menyelamatkan nyawa ibu saya dengan melakukan ini."

Pipi Kinara basah dengan air mata. "Mama sayang banget sama Mbak Kinar. Mama masuk rumah sakit bukan karena Mas Bara yang pergi. Mama masuk rumah sakit mengkhawatirkan Mbak."

Kinara bergeming, melihat kesungguhan dari sorot mata Ardah membuat hati Kinara bergetar. Kinara tahu, dia tidak akan bisa menolak, karena dirinya juga sudah sangat menyayangi ibu dari pria di hadapannya.

Pelik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang