Lima

9.8K 1.6K 120
                                    

Kinara mengerang, tubuhnya terasa remuk redam. Matanya mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk lewat gorden berwarna abu-abu tersebut. Tunggu sebentar, silau? Cahaya matahari? Seketika Kinara bangkit, tubuh polosnya terekspos membuatnya buru-buru membenarkan letak selimutnya. Kinara menelan ludahnya kesusahan, matanya mendelik ke samping mendapati Ardan yang sama bertelanjang tengah tertidur pulas.

Detak jantungnya bekerja lebih cepat, rasa panas menjalar ke seluruh tubuhnya sampai semburat rona merah muncul dari pipi Kinara. Kinara mengatur napas, rekam ingatannya tertarik pada adegan-adegan malam tadi. Kinara menggeleng, ia merapatkan selimut, meremas kuat selimutnya. Kinara tak bisa mengatur napasnya, ia buru-buru bangun sebelum Ardan bangun. Kinara meringis, merasa perih di area sensitif-nya. Kinara duduk di tepi tempat tidur, berusaha mengatur napas supaya tidak memburu.

"Kamu udah bangun?" suara besar Ardan terdengar serak khas bangun tidur. Ardan melirik ke arah gorden yang sudah terpapar sinar matahari. Tergesa Ardan bangkit, Ardan menelan ludahnya kesusahan melihat punggung mulus Kinara yang terekspos sempurna. Astaga ... bagian bawahnya sudah kembali menggeliat, Ardan harus mandi dengan air dingin. "Ada yang sakit?"

Kinara menegang, enggan menoleh.

"Kinar?" Ardan merasakan hawa yang tidak enak, benarkan apa katanya malam tadi? Ia tidak mau kejadian yang sudah terjadi disesali. Seperti sekarang ini, dari gelagat Kinara yang kaku, terlihat jelas bahwa ia sedang menyesali sikap implusifnya malam tadi. Ardan bergeser, menyentuh bahu Kinara yang terasa menegang. "Maaf, ini yang aku nggak mau kalau kamu terpaksa menunaikan kewajiban kamu. Akan disesali esok harinya." Ardan mendesah gusar karena Kinara tak merespons perkataannya.

Kinara bingung, ia harus mengatakan apa dan harus bagaimana? Ia tidak menyesal, hanya lelah dan seluruh badannya terasa linu, apalagi bagian sensitifnya.

"Kinar?"

Kinara meraih selimut asal menutupi dadanya. "Kamu mau mandi air hangat apa air dingin?"

Kening Ardan mengerut, sesaat kemudian mengembuskan napas pelan. "Pasti sakit, ya?" Ardan semakin mendekat, aroma semalam begitu kental ia rasakan.

Kinara ingin menggeleng, tapi lebih baik mengangguk, takut-takut Ardan 'meminta' lagi saat kepunyaannya masih perih. "Iya. Perih."

Ardan dengan sigap turun dari ranjang hanya mengenakan celana boxer pendek sepaha. Ardan masuk ke kamar mandi, menyalakan air panas,  menuangkan aroma mawar dan mencampur dengan air dingin. Di rasa sudah cukup hangat, Ardan kembali keluar berdiri di hadapan Kinara. "Mau jalan sendiri apa aku gendong?"

Tawaran Ardan sontak membuat Kinara mengangkat pandangannya terkejut. "Hah?"

Ardan merunduk, menunjukkan senyum terbaiknya. "Mau aku gendong atau mau jalan sendiri?" Ardan melirik kamar mandi. "Udah aku siapin air hangat campur aroma mawar biar sedikit rileks, nanti biar kita belanja aroma yang lain kalau kamu nggak suka mawar. Mama yang belikan soalnya."

Kinara mau tidak mau tersenyum karena perhatian Ardan yang membuat dadanya menghangat. "Aku bisa jalan sendiri, kok. Kamu-nya minggir atau berbalik dulu, soalnya aku nggak pakai apa-apa."

Ardan tersenyum dengan tingkah Kinara yang sedikit melunak. "Nggak masalah lagi, orang semalam kita sudah lebih dari telanjang."

"Ardan!"

Ardan tertawa, tanpa basa-basi menggendong Kinara, membuat Kinara memekik terkejut. "Airnya keburu dingin kalau nunggu kamu jalan." Ardan membawa Kinara ke kamar mandi, menurunkan Kinara perlahan di pinggir bathub. "Yok berendam, biar badan kamu sedikit enakan."

Kinara terpekur, sebelum akhirnya terasadar dari lamunannya. "Kamu mandi di mana?"

Ardan melirik shower. "Aku mandi langsung aja di sana." Ardan melirik jam dinding yang tersedia di kamar mandi.

"Kamu nggak ikut berendam?"

Ardan menyeringai. "Kamu ngajak aku berendam? Mau mengulang adegan semalam?" di balik celana boxernya semakin menggeliat nyaris berdiri tegak.

Kinara gelagapan. "Nggak!" Kina melepas selimut, buru-buru merendam diri. Kinara tidak bisa menyembunyikan debar jantungnya yang semakin tidak karuan. Ia berpura-pura memejamkan mata seolah sedang menikmati kehangatan dan aroma mawar, padahal ia sedang mati-matian menahan desir aneh dalam tubuhnya.

Ardan mendesah kecewa, ia tersenyum menyempatkan diri mengusap puncak kepala Kinara sebelum masuk ke tempat shower berada. Ardan langsung mengguyur tubuhnya dengan air dingin, membuat bukti gairahnya kembali tertidur. Ardan meringis, mengambil sabun kemudian menggosok seluruh tubuhnya. Bukti gairahnya masih terasa ngilu, berhasil meruntuhkan mahkota dalam semalam. Ngilu-ngilu sedap rasanya.

Selesai berendam dan mandi, tubuh Kinara sedikit nyaman. Ia menyiapkan baju kerja Ardan sampai jam tangan yang akan dipakai Ardan kerja. Jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi, Ardan baru masuk ke kamar setelah sarapan lebih dulu karena Kinara yang meminta. "Mama nanyain kamu barusan,"
Ardan membuka kaosnya memakai kemeja yang Kinara berikan.

"Kamu jawab apa?" Kinara membereskan tempat tidur yang berantakan, ada bercak darah dari seprei putih. Pipi Kinara kembali memanas, desir aneh kembali ia rasakan.

"Aku jawab, kita kesiangan. Kamu lagi berendam." Ardan membuka celana pendeknya di hadapan Kinara, membuat Kinara memalingkan wajahnya yang bersemu. "Masih sakit?"

Kinara menggeleng, ia melepas semua seprei dan akan meminta asisten rumah tangga menggantinya. "Nggak terlalu."

Ardan selesai berpakaian, menghampiri Kinara dan memberanikan diri mendekap tubuh Kinara dari belakang. "Kamu nggak menyesal, kan?" bisik Ardan membuat bulu-bulu halus di sekitar tengkuk Kinara meremang.

Kinara ingin menghindar, tetapi dekapan Ardan sangat hangat. "Nggak sama sekali."

Ardan semakin merapatkan tubuhnya pada tubuh Kinara. "Berarti, kita bisa mengulang lagi, ya?"

Kinara bergeming, sedang jantungnya kembali berdetak tak normal.

"Kamu nggak mau, ya?"

Kinara mengembuskan napas pelan, mengatur napas berharap detak jantungnya tidak membuatnya malu. "Udah siang, kamu harus ke kantor."

Ardan tersenyum paksa, melepaskan dekapannya kemudian menjauhi Kinara. "Pakian formal apa biasa?" Kinara hendak mengambil dasi dan juga jas yang senada dengan warna celana bahan Ardan.

"Hari ini biasa, kok. Nggak ada ketemu klien."

Kinara tidak jadi mengambil jas dan dasi. "Pulang jam berapa?"

Ardan tampak berpikir. "Jam 5 sore dari kantor, sampai rumah mungkin sedikit telat, takutnya kejebak macet."

Kinara mengangguk. "Mau aku masakan apa?"

Ardan tersenyum lembut. "Apa aja aku makan, asal masaknya pakai hati, kalau bisa pakai cinta sekalian."

Jawaban absurd Ardan membuat Kinara mendengkus, memutar bola mata jengah. "Serius, Ar."

Ardan kembali mendekat, memegangi kepala belakang Kinara, mendorongnya sedikit kemudian mengecup kening Kinara lamat. "Serius, apa aja aku makan." Ardan menatap bibir Kinara, ragu-ragu merunduk, memberikan kecupan di sana. "Aku berangkat kerja dulu."

Kinara menyentuh bibirnya, desiran hangat kembali ia rasakan. "Ardan, tunggu!" Kinara menyusul Ardan yang sudah berada di ambang pintu. "Aku antar sampai depan."

Sebelah alis Ardan naik, namun sedetik kemudian ia tersenyum memersilakan Kinara berdiri di sampingnya. Tangan Ardan yang bebas memeluk pinggul Kinara. Oh, begini rasa indahnya berumah-tangga.

Pelik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang