Tiga hari pernikahan mereka, Ardan sengaja memasak, menyiapkan makan malam untuk Kinara. Dengan dada yang berdebar tidak karuan membayangkan bagaimana ekspresi Kinara saat dirinya menyiapkan semuanya.
"Selesai!" Ardan tersenyum lebar, melepas apron lalu menyimpannya di dapur kotor. Ardan melangkah lebar menuju kamar tidur mereka. Ah iya, Ardan dan Kinara sudah pindah ke rumah orangtua Ardan. Mengingat kondisi mama-nya yang belum stabil, Ardan memutuskan untuk tinggal beberapa bulan di rumah ini.
"Kinar," Ardan mengetuk pintu kamar pelan. "Makan, yuk? Udah siap." kening Ardan mengerut saat tak kunjung ada sahutan dari dalam. "Kinar?" ketukan berubah jadi gedoran. Detak jantung Ardan berdebar semakin keras, kemelut bayangan hal yang tidak diinginkan bermunculan. "Kinar! Buka pintunya, Kinar!"
Ardan berbalik, berlari cepat menuju tempat penyimpanan kunci ganda setiap pintu rumah. Dengan tangan gemetar, Ardan meraih kunci ganda kamarnya. Tergesa berlari menuju kamarnya lagi. Keringat dingin mengalir, beberapa kali Ardan gagal memasukkan kunci saking gemetarnya.
Sementara di dalam kamar, Kinara menyayat nadinya, menenggelamkan diri di bathub yang penuh dengan air. Kinara tidak sanggup menerima garis takdirnya yang terlalu kejam. Beberapa gosip yang menyeret nama besar kedua orangtuanya di koran kabar. Kinara tidak terlalu kuat seperti ibu-nya. Kinara masih belum bisa mengabaikan obrolan orang-orang di sekitarnya tentang mempelai laki-laki-nya yang kabur dan digantikan oleh adiknya. Kinara belum setangguh itu.
Perlahan kesadaran Kinara menghilang, sampai akhirnya suara jerit frustrasi terdengar melengking menyerukan namanya.
Satu jam sudah Ardan digerogoti rasa cemas yang berlebihan. Ardan tak melepaskan genggamannya sekejap pun, berkali-kali Ardan mengecup punggung tangan dan luka Kinara yang sudah dibalut perban. Ardan menatap Kinara yang masih memejamkan mata, wajahnya begitu pucat pasi. Nyaris kehilangan nyawa bila dirinya terlambat sedikit lagi.
Perlahan, mata lentik Kinara mengerjap. Helaan napas lelah terdengar, ah ternyata dirinya masih bernapas. Kinara melirik ke sampingnya, mendapati Ardan tengah menatapnya tajam. "Kenapa kamu melakukan itu? Kamu nggak punya iman, Kinara?" tanya Ardan dengan nada tajam dan dingin.
Kinara menyadari ketololannya, air matanya tak dapat dicegah. "Apa yang ada dalam pikiran kamu?! Kamu pikir dengan mengakhiri nyawa sendiri akan menyelesaikan masalah?"
Kinara memejamkan mata. "Maaf."
"Aku pikir kamu wanita tangguh, aku pikir kita bisa melewati semuanya bersama-sama."
Kinara menggeleng, masih setia memejamkan matanya. "Maaf." suara Kinara terdengar tercekat. "Maaf." tubuhnya bergetar hebat. Keputus asaan nyaris menewaskannya.
Ardan mengembuskan napas, membimbing Kinara untuk duduk bersandar pada sandaran ranjang. Ardan menggenggam kedua tangan Kinara yang terasa dingin. "Apa yang ada di pikiran kamu? Kamu nggak memikirkan orangtua kamu? Orangtua kita?"
Kinara membuka mata. "Aku cuma nggak terima sama takdirku yang begitu kejam."
Ardan menangkup pipi Kinara, menatapnya dalam-dalam. "Takdir nggak kejam, takdir digariskan atas kesanggupan kamu sendiri."
Kinara menggeleng, tangannya mencengkeram tangan Ardan. "Ditinggalin pas hari-H dan mempelai laki-laki digantikan itu tekanan mental buat aku, Ar!"
Ardan mengangguk. "Tekanan mental kalau kamu nggak mau terima kenyataan," pungkas Ardan dengan nada tajam. "Akan jadi tekanan kalau pikiran dan hati kamu nggak terbuka. Semua balik lagi ke kamu."
Kinara menatap Ardan dengan air mata yang berlinang. "Kita sama-sama memulai kisah baru. Kita jangan bahagia hanya di depan orangtua kita, kita juga harus bahagia di belakang mereka. Itu yang sedang aku usahakan. Aku nggak akan menyakiti kamu, aku akan selalu menjaga kamu dengan segenap raga dan jiwaku."
Isakan Kinara semakin kencang, ia menggeleng. "Nggak! Nggak seharusnya kayak gini, Ar!"
Ardan memegangi kedua bahu Kinara. "Seharusnya kita begini. Kita saling terikat. Aku suami kamu dan kamu istri aku."
"Berjanji sama aku, kamu nggak akan menyakiti diri kamu sendiri lagi? Berjanji sama aku kalau kita akan sama-sama belajar saling mencintai dan menyayangi?"
Kinara bergeming, menatap ragu Ardan.
"Kita memulai sama-sama, ya? Kamu percaya kan sama aku?"
Beberapa saat terdiam, Kianara akhirnya mengangguk pasrah. Ardan tersenyum lega, tanpa sungkan menarik Kinara masuk dalam dekapannya. Mengecup puncak kepala Kinara berkali-kali.
***
Satu minggu sudah mereka menjalani rumah tangga, satu rumah, satu kamar dengan pasangan yang tak saling mengenal mulanya. Kinara duduk di hadapan cermin, menyisir rambut panjangnya. Kinara belum sepenuhnya bisa terima, tapi kembali lagi pada takdir yang tidak bisa ia tolak.
"Kinar," Ardan menghentikan langkahnya tepat di belakang Kinara. Netra tajam Ardan menatap Kinara melalui pantulan cermin. "Aku berangkat kerja dulu." Ardan menelan ludahnya kesusahan saat Kinara mengangkat pandangannya, menatapnya datar. Astaga ... itu mata kok datarnya kebangetan. Papan penggilasan aja kalah, masih ada gejuglagannya. Batin Ardan menyabarkan diri. Ardan menyempatkan diri tersenyum, sebelum akhirnya berbalik hendak menggunakan kemeja yang sudah disiapkan sang istri.
Kinara mengembuskan napas pelan, kemudian berdiri. Kinara mendekati Ardan, mengambil alih kemeja yang hendak Ardan kenakan. Kinara memaksakan diri tersenyum tanpa melihat tatapan heran yang Ardan layangkan padanya. "Pulang jam berapa?"
Ardan tercengang, mencoba mengorek telinganya. "Kenapa?"
Kinara memutar bola mata malas. "Pulang jam berapa?" Kinara meraih tangan Ardan, memakaikan kemeja pada Ardan.
"Oh," Ardan gelagapan. "Paling lambat jam 6 sore. Kamu ada mau dibawakan sesuatu sama aku?" Ardan mengikuti gerak Kinara yang memutari tubuhnya, memasangkan kemeja ke tangan yang satunya lagi.
"Enggak, aku cuma tanya aja," tukas Kinara dengan nada datar andalannya. Kinara berpindah lagi ke hadapan Ardan. Semakin dekat, memasangkan kancing kemeja. "Kamu mau aku masakin apa?"
Ardan diam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab, "Apa aja." Ardan masih syok karena akhirnya Kinara membuka suara dan mau melakukan kegiatan setelah percobaan bunuh diri yang tidak diketahui siapa pun selain dirinya.
"Kamu suka pedas?"
"Nggak terlalu," jawab Ardan.
Kinara mengangguk, selesai mengancingkan kemeja, Kinara memasangkan dasi. "Kamu nggak ada alergi? Aku mau masak udang asam-manis kalau kamu nggak ada alergi. Mama juga lumayan suka sama udang asam-manis."
Senyum Ardan melebar. "Nggak ada. Apa pun aku makan, asal rasanya lezat."
"Aku nggak tau itu masuk apa enggak di lidah kamu nanti."
Ardan melingkarkan lengannya pada pinggul Kinara, menarik Kinara semakin merapat padanya. "Kamu udah mau masakin aja, aku udah senang banget. Makasih, ya?"
Ardan mengecup kening Kinara, membuat Kinara terpekur. "Masak yang enak, aku berangkat dulu."
Seperginya Ardan, Kinara menyentuh dadanya yang berdetak sangat cepat. Kinara mengatur napas, ia memandangi pintu kamarnya. Ardan, suaminya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Cinta
RomanceBerawal menjadi pengganti mempelai Pria, berusaha meluluhkan hati wanita yang berstatus sebagai istrinya, sampai kepelikan lain datang. Begitu juga Kinara, yang berusaha keras menerima Ardan sebagai suaminya. Kovee by: @henzsadewa