Satu

10.3K 1.4K 41
                                    

Tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun. Kinara membisu, mengalihkan pandangannya yang lurus melihat foto preweddingnya bersama Baskara. Air matanya kembali berderai. Duduk saling membelakangi. Sementara Ardan hanya bisa mendesah pelan, memijat keningnya.

Ardan berbalik, menatap punggung Kinara yang tertutupi piyama tidur. "Ada yang perlu kita bicarakan."

Kinara mengusap pipinya, kemudian berbalik menghadap pria yang seharusnya menjadi adik iparnya. "Apa?"

"Aku tau kejadian ini kayak pukulan buat kamu, tapi bagaimanapun juga, kita tetap sudah jadi suami-istri, kan?"

Kinara diam.

"Aku akan tetap memberikan nafkah lahir sebagaimana mestinya, tapi untuk nafkah batin," Ardan melirik Kinara ragu. "Aku nggak akan memaksa kalau memang kamu masih keberatan. Kita bisa jalani dulu sampai benar-benar dirasa sudah saling mengenal dan saling nyaman."

Kinara masih diam.

Ardan menghela napas panjang. "Kembali lagi, aku-"

Netra cokelat Kinara menatap Ardan tanpa minat. "Bisa kita berhenti membahas ini dulu? Aku capek, mau istirahat. Lagi pula, besok kita harus ke rumah sakit buat lihat kondisi Mama," pungkas Kinara dengan nada bicara yang datar.

Ardan meringis dalam diam, menelan ludahnya kesusahan. "Oke, maaf." Ardan menyingkir dari tempat tidur, mengambil guling untuk temannya di sofa. Ardan mencari aman, keinginannya bisa dipercaya, tapi hasratanya belum tentu bisa dipercaya. Kinara cantik, nyaris sempurna untuk makhluk yang bernama wanita. Ardan mengakui karena, bibir tipis kecil keritingnya terlihat ranum, bola mata yang bulat dan bersih, tidak ketinggalan bentuk wajah yang terkesan baby face.

Kinara membaringkan diri, membelakangi sofa yang menghadap ke ranjang. Ia memejamkan matanya, menahan desir pedih dalam hati. Tubuh Kinara bergetar, tergesa menarik selimutnya, membekap bibirnya menggunakan selimut. Hari yang dinantikan harusnya bahagia, bukan? Tapi mengapa malah bernasib tragis? Tidak ada penjelasan apalagi kepastian akan kepergian Baskara. Padahal, dulu dirinya sudah mati-matian menolak Baskara, tapi mengapa setelah ia jatuh hati dan mulai memercayakan kebahagiaannya pada Baskara, Baskara malah pergi tanpa pamit.

Di sofa, Ardan berbaring dengan kaki yang melebihi batas sofa. Satu lengan Ardan menutup keningnya, lengan yang lain bertumpu pada perutnya. Ardan menghela napas panjang, tak pernah terpikir bahwa nasibnya akan sampai begini. Ardan berani mengambil keputusan untuk menggantikan Baskara karena ibu-nya yang meminta dan juga rasa tanggungjawab akan kelangsungan status wanita yang harusnya menjadi kakak iparnya itu. Ardan tahu, semuanya tidak mudah. Butuh waktu yang sangat panjang untuk membangun sebuah hubungan.

Ardan memejamkan mata, napasnya mulai teratur. Rasa lelah dan syok terbawa ke alam mimpi.

Kinara menoleh ke belakang, mendapati Ardan sudah terlelap di sofa. Kinara tidak sepenuhnya kenal dengan Ardan. Menjalin hubungan selama dua tahun dengan Baskara, tidak cukup mendekatkan dia dengan Ardan. Kinara tidak boleh membenci atau mengabaikan Ardan. Ardan tidak sepenuhnya salah di sini, ia hanya terlalu baik untuk menjerumuskan diri pada suatu hubungan yang belum tentu berhasil. Kinara yakin, Ardan akan bosan, lalu memilih menceraikannya.

***

"Mama harus sehat lagi."

Ardan terpaku melihat senyum Kinara yang terlihat begitu tulus pada ibu-nya. Jemari lentik Kinara menggenggam erat jemari ibu-nya. Ada sorot kelembutan yang memancar dari mata bulat bersih itu. Berbeda saat Kinara menatapnya.

"Mama minta maaf,"  Nilam terisak. "Mama nggak ngerti kenapa Bara ngelakuin ini."

Ardan melihat jelas tatapan mata Kinara meredup, ada genangan air di pelupuk matanya. Nurani Ardan tergerak ingin menyeka air mata itu, menarik senyuman indah itu yang harusnya semakin lebar. Ardan menggeleng, mendesah pelan. Keinginannya tidak akan pernah terjadi.

"Nggak apa-apa, Ma. Mungkin ada kesalahan Kinar yang fatal sampai buat Mas Bara ninggalin Kinar. Intinya, jodoh Kinar bukan Mas Bara, melainkan Ardan."

Ardan meringis, kerelaan yang diucapkan sangat berbeda jauh dengan apa yang ditunjukkan.

"Mama jangan banyak pikiran."

Tangan Nilam menjulur, mengusap pipi Kinara lembut. "Mama sayang banget sama kamu, Kinar. Mama yakin Ardan bisa bahagiakan kamu."

Kinara tersenyum, dan Ardan sangat tahu bentuk senyuman itu adalah sebuah keterpaksaan. "Mama jangan banyak ngobrol dulu. Kinar sama Ardan mulai tidur di rumah malam ini."

"Mama tau, semua nggak akan berjalan dengan baik. Tapi niat Mama meminta Ardan menggantikan Bara itu baik. Mama nggak mau sampai kamu menerima kecaman atau cibiran dari orang lain karena batal menikah."

Kinara mengangguk. "Kinara mengerti, Ma."

Ardan mencuri tatap pada Kinara, mengembuskan napas pelan. Ardan bisa merasa ada benteng tak kasat mata begitu kokoh yang dibangun oleh Kinara. Akan sangat sulit untuk dirobohkan.

"Mungkin kalian akan merasa asing, tapi lebih indah menjalin kedekatan setelah menikah, kan?"

Kinara hanya tersenyum. Senyum yang menutupi lukanya.

"Mama istirahat dulu, kita mau keluar sebentar cari makan siang. Nanti Bi Ningrum yang gantian nungguin Mama."

Nilam mengangguk, tersenyum. Nilam menyempatkan diri mengusap pipi Kinara sebelum melepaskan genggaman tangannya. "Nggak banyak doa Mama buat kalian," Nilam menatap sendu putra dan menantunya. "Semoga kalian bertemu bahagia dan selalu mendekapnya."

Seketika Ardan menoleh, melihat Kinara yang ternyata masih tersenyum. Ardan menghela napas panjang. Ia hanya butuh berjuang untuk menarik perhatian, cinta, dan kasih sayang Kinara. Baginya, tidak akan sulit mencintai sosok wanita seperti Kinara.

Pelik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang