Sepuluh

10.2K 1.4K 78
                                    

sebagian part ditarik, sudah tersedia versi Ebooknya, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

sebagian part ditarik, sudah tersedia versi Ebooknya, ya..

****
"Tik-tok-tik-tok-tik-tok," Ardan menggerakkan kepalanya mengikuti jarum jam. Omong-omong jam baru menunjukkan pukul lima pagi, tepat setelah mereka beribadah dan Ardan memilih menemani istrinya menyiapkan sarapan.

Kinara yang mendengar suara Ardan berdecak kesal, ia mengintip dari balik tembok pembantas menatap Ardan sengit. "Bisa jangan berisik? Masakan aku bisa asin denger suara kamu."

Alis tebal Ardan saling bertaut, sebentar, apa hubungannya suara dengan masakan yamg jadi asin? "Kamu lagi bercanda ya, Beib? Kok lucu, sih? Haha."

Kinara memutar bola mata jengah, kembali fokus memasak. Meladeni Ardan tidak akan ada habisnya, lima bulan hidup bersama membuat Kinara paham bagaimana sikap dan sifat Ardan. Ah, Kinara hanya belum tahu bagaimana kalau Ardan marah. Hubungan mereka berkembang begitu baik, bahkan sekarang dirinya tak segan-segan merengek di depan Ardan. Tidak percaya? Sama, dia juga tidak percaya.

Saking fokusnya melamun, Kinara tidak menyadari lengan Ardan sudah melingkari pinggangnya. "Ih wangi parah!" ucap Ardan mengendus leher jenjang istrinya.

Kening Kinara mengerenyit. "Mana yang wangi? Ini apa itu?" tunjuk Kinara pada dirinya, lalu masakannya.

"Wangi yang ini, dong," Ardan mengecup leher mulus Kinara yang terpampang jelas. "Satu ronde kilat bisa kali, ya?"

Kinara berdecak, mengangkat kakinya sedikit lalu menginjak kaki suaminya keras membuat Ardan mengerang kesakitan. "Tolong otaknya dikondisikan. Masih pagi ini!" omel Kinara tetap berkonsentrasi pada masakannya. "Ini bisa nyingkir nggak? Kayak lintah tau nggak nempel-nempel begini, ish!"

Ardan tersenyum lebar, bukannya mundur malah mengeratkan pelukannya. Ardan nekat menjilat leher Kinara, lalu mengisapnya kuat hingga membuat kulit putih Kinara memerah. Ardan tersenyum bangga melihat hasil karya bibirnya, tetapi tidak lama, setelah itu senyumannya lenyap karena Kinara mengempaskan tangannya, berbalik menghadapnya, menatap tajam.

"Kamu suka banget buat tanda-tanda begini? Kalau darah aku beku gimana? Mau tanggung-jawab?"

Sebelah alis Ardan naik, bibirnya mengulum senyum geli. "Nggak kencang juga. Kan kata kamu kayak lintah, lintah kam sukanya ngisap-ngisap, untung aku nggak suka darah jadi hisapnya nggak sampai berdarah gitu."

Kinara bersedekap, menatap Ardan datar. "Terus?"

"Ya terus, dosa juga buat kamu karena nolak permintaan suami."

"Permintaan?"

Ardan mengangguk. "Iya, permintaan. Satu ronde kilat doang nggak boleh."

Kinara menggeleng tak habis pikir, ingin rasanya menerkam Ardan hidup-hidup lalu memuntahkannya lagi berharap otak gesreknya sedikit membaik. "Kamu bisa duduk dulu di kursi? Bentar lagi masakannya matang, bukannya malam kamu bilang lapar, kan?"

Ardan mengangguk, dalam diam ia mengagumi Kinara. Kelapangan hati Kinara dan perubahan Kinara yang sangat draatis. "Hari ini aku udah bilang belum?" tangan Ardan menjulur merapikan anak rambut Kinara yang berantakan.

"Bilang apa?"

Ardan menatap lekat netra istrinya, tersenyum hangat. "Kamu cantik dan akan selalu cantik."

Pipi Kinara bersemu, ia tersenyum malu-malu. Ardan memang pandai membuat hatinya berdegup cepat tidak karuan, bahkan Ardan tidak segan-segan memujinya setiap hari. Entah itu dimulai memuji masakannya, pakaiannya, pekerjaannya. Ardan tahu cara terbaik menarik hati seorang wanita.

"Iya, sekarang masih cantik. Nanti kalau sudah tua, ya cantiknya hilang. Aku heran sama kamu, Ar. Kenapa suka banget muji atau ngegombalin aku? Aku jadi khawatir kalau kamu dulunya itu emang suka tebar pesona."

Ardan tersenyum simpul, membelai samping wajah istrinya. Ardan mendekatkan wajahnya, kemudian berbisik, "Itu masak dulu, nanti gosong lagi."

"Ya ampun!" Kinara segera berbalik, sementara Ardan tersenyum menggelengkan kepala pelan.

"Aku tunggu di meja makan, ya?"

"Iya!"

***

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ar." Kinara mencebik memasangkan dasi.

"Pertanyaan yang mana?"

"Iya kenapa kamu suka banget muji sama gombalin aku? Apa kamu suka begitu sama setiap wanita?" ulang Kinara dengan nada yang terdengar menggemaskan di telinga Ardan. 

"Kenapa? Cemburu?" godanya membuat Kinara menguatkan ikatan dasi membuat Ardan meringis tertahan. "Sakit ini kenceng banget!"

"Serius, Ar." raut wajah Kinara terlihat datar, itu artinya Kinara dalam mode serius. Ardan mengerti.

Ardan merapatkan tubuhnya, memeluk pinggul Kinara. "Karena kamu istri aku," jawabnya lembut. "Apa aku suka begitu juga sama wanita lain? Jawabannya nggak sama sekali. Tanpa aku mengatakan apa pun, mereka udah nyaman sendiri sama aku."

Kinara memutar bola mata malas, berontak hendak melepaskan pelukan suaminya. Hatinya mendadak panas mendengar kalimat terakhir, apa ini yang disebut cemburu?

"Lepas, Ar!"

"Tunggu, aku belum selesai." Ardan menahan, menarik tubuh Kinara semakin merapat padanya. "Setiap lelaki pasti punya cara tersendiri untuk memerlakukan istrinya. Dan caraku adalah melantunkan kalimat pujian, tapi ya nggak berlebihan juga." Ardan melepaskan tangannya, berpindah menangkup wajah istrinya. "Kamu itu ibarat kaca yang berdebu, terlalu keras membersihkannya, bisa pecah. Terlalu lembut juga debunya nggak akan hilang."

Kinara terpaku, membalas tatapan Ardan lekat. "Kamu nggak pernah marah sama aku, padahal banyak banget kesalahan aku yang mungkin aja bisa buat kamu kesal sama aku."

Ardan menggeleng pelan. "Selama itu bukan kesalahan fatal, lebih baik memperkecil masalah. Emang sih, kalau wanita itu masalah kecil aja digede-gedein, tapi aku pribadi mending ngalah, biar nanti malu sendiri."

Kinara memukul dada bidang Ardan kesal. "Oh begitu?" ketusnya tak terima. "Bagus! Aku emang biangnya masalah!"

Ardan terkekeh geli, melepas tangkupannya, kemudian menarik Kinara masuk dalam dekapannya. "Mungkin aku bukan yang pertama, cara kita bersama juga kurang enak di hati. Tapi, kamu percaya sama aku, kalau cinta dan hati ini masih perawan. Dan aku persembahkan cinta dan perasaan ini hanya buat istriku tercinta."

Mata Kinara memanas. "Aku nggak tau kalau cara Tuhan bisa seindah ini membuat aku bisa bersama kamu. Aku pikir kalau Bara adalah lelaki terbaik yang bisa aku jadikan sebagai Nahkoda dalam bahtera rumah tangga, tapi ternyata aku salah."

Ardan mengecup puncak kepala Kinara mesra. "Anggap aja aku ini balasan atas amal baik kamu dulu."

Kinara mengangguk, tetapi sedetik kemudian melepaskan pelukan menatap Ardan sengit. "Apa? Jadi kata kamu, kamu ini anugerah gitu?!"

Ardan menyengir lebar, mengangkat bahu. "Ya emang iya, kan?"

"Iiiii nyebelin, sih!" Kinara melayangkan pukulan-pukulan ringan yang berhasil Ardan elak.

Kinara sadar dirinya lebih berumur dari Ardan, tapi di saat seperti ini, Ardan bisa mengayominya dan membuatnya seperti anak remaja yang jatuh cinta pada seniornya. Ardan dewasa.

Pelik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang