Malam menjelang, seperti biasa Ardan akan mengambil satu guling lalu tidur di sofa. Ardan belum mendapat kode dari Kinara untuk tidur satu ranjang. Ardan menghela napas panjang, memejamkan matanya.
Kinara tiba-tiba bangun, duduk di tepi ranjang menatap Ardan. Hatinya tidak membenarkan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Ardan suaminya, mau tidak mau ia harus memerlakukan Ardan sebagai mestinya. Mengembuskan napas berat, Kinara berdiri menghampiri Ardan.
"Ardan?" Kinara mengguncang bahu Ardan pelan. "Ardan?" panggilan kedua, Ardan masih bergeming dengan mata yang terpejam. Kinara mendesah pasrah, duduk di celah sofa. "Ardan?" kali ini tangan Kinara berpindah pada rahang tegas Ardan.
Ardan masih betah memejamkan mata, karena ia pikir yang memanggilnya hanya dalam impian. Suara Kinara begitu lembut, menjadi candu untuk dirinya. Tapi saat belaian terasa, Ardan mengintip. Betapa terkejutnya ia mendapati Kinara duduk di sampingnya, menyentuh rahangnya.
Kinara menyerah, ia hendak berdiri tetapi Ardan menahan tangannya. "Kamu belum tidur?"
Ardan tersenyum. "Enggak, aku memang kebangun waktu kamu nyentuh ini." Ardan semakin menempelkan jemari Kinara pada pipinya. "Ada apa? Kamu haus? Atau mau sesuatu?" Kinara memasang raut wajah datar, tetapi rona merah tidak bisa disembunyikan. Muncul begitu saja membuat Ardan tertawa kecil. "Cantik banget istriku ini."
Kinara semakin gelagapan, ingin menarik tangannya tapi ditahan oleh Ardan. Kinara berdeham, menyembunyikan rasa malu-nya. "Itu, aku pikir tidur di sofa bikin leher kamu sakit, jadi aku berinisiatif buat ajak kamu tidur di ranjang."
Ardan memicingkan matanya, mengulum senyum, sedangkan wajahnya seperti orang konyol. "Ah, tapi aku nggak bisa jamin kamu bakal aman-aman aja kalau aku tidur di ranjang sama kamu."
Kinara mengembuskan napas kasar, memalingkan wajahnya ke lain arah. Ardan membuat detak jantungnya tidak karuan.
"Gimana dong? Jadi ngajak aku tidur di ranjang?"
"Hah?" Kinara menatap Ardan, suara lelaki itu tampak berat. Netra tajamnya terlihat meredup, sorot matanya menggelap. "Nggak masalah," Kinara menarik napas dalam-dalam. "Kamu kan suami aku."
Ardan terpekur beberapa detik, menatap Kinara tak percaya. Ardan tersenyum kecut. "Aku yakin kamu kayaknya ngigau deh, kamu tidur lagi gih." Ardan tidak mau lampu hijau yang diberikan Kinara jadi penyesalan di esok harinya, kalau sampai terjadi sesuatu yang diinginkan.
Kinara memejamkan mata, merutuk kecanggungan yang menderanya. Mata indah Kinara kembali terbuka, menatap Ardan sungguh-sungguh. "Aku serius, aku nggak lagi ngigau, Ar."
Sebelah alis Ardan naik. "Kamu takut tidur sendirian? Kan, biasanya kamu tidur sendiri, Kinar."
Kinara menggeleng. "Aku cuma mau niat baik, tapi kalau memang kamu nggak mau ya udah jangan!" Kinara mengentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeraman Ardan. Kinara merasa ditolak dan terlihat murahan. Matanya mendadak memanas, Kinara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya beranjak dari duduknya.
Tergesa Ardan bangun, menahan pergelangan tangan Kinara. "Kamu marah, Kinar?" tanya Ardan yang digelengi Kinara. Ardan berdiri di belakang Kinara, ia melepaskan tangan Kinara. "Aku cuma takut kamu ngigau, beneran deh."
Kinara terisak.
Ardan memegangi kedua bahu Kinara, membalik tubuh Kinara menghadapnya. "Ya ampun, kamu sampai nangis? Ya udah, yuk, kita tidur di ranjang."
"Enggak!" Kinara menatap Ardan marah. "Kesannya kayak aku wanita murahan ngajak kamu tidur di ranjang." Kinara tersenyum kecut.
Ardan menggeleng, terlihat jelas gurat cemas dari wajah tampannya. Ardan menangkup pipi Kinara, merunduk sedikit hanya agar bisa melihat wajah Kinara lebih dekat. "Kamu nggak kayak murahan, aku cuma memastikan. Takutnya kamu menyesal esok harinya karena udah tidur sama aku."
Hati Kinara terenyuh dengan suara lembut Ardan. "Kita menikah sudah satu bulan lebih Ardan, udah seharusnya kamu menuntut hak kamu dan aku memenuhi kewajiban aku."
Jemari Ardan menyeka air mata Kinara. "Seharusnya memang gitu, tapi aku mau meminta kalau kamu sudah nyaman sama aku. Kamu nggak perlu memaksakan diri."
"Aku nggak memaksakan diri!" Kinara bersuara sedikit tinggi.
Kedua alis Ardan saling bertaut. "Terus, apa dong?" Ardan memasang raut wajah polos.
"Ish!"
Seketika Ardan tertawa, menarik Kinara masuk dalam dekapannya. "Kamu beneran udah ikhlas?"
Kinara yang menegang perlahan melunak saat usapan halus terasa di punggungnya. Ardan suaminya, Ardan suaminya, Ardan suaminya.
Ardan menyadari Kinara belum benar-benar siap dengan adegan yang diingkan olehnya. Ardan tidak bisa munafik, beberapa kali melihat lekuk tubuh polos Kinara secara tidak sengaja membuatnya nyaris meneteskan air liur. Bagian pusat dirinya langsung ereksi dan nahasnya tidak bisa mendapatkan pelepasan.
"Nggak apa-apa, kamu belum benar-benar siap." Ardan melerai dekapannya. "Kamu tidur, ya? Tidur di sofa nggak sakit, kok."
Dalam hatinya Kinara berdecak sebal, ia sudah melupakan Baskara, meski baru 50%, tapi hatinya mulai menerima kehadiran Ardan dan menempatkan Ardan sebagai seseorang yang hatinya harus cintai. Tanpa berbicara, Kinara mengakup pipi Ardan, mengikis jarak antara mereka, lalu menempelkan bibirnya pada bibir Ardan.
Ardan terkesiap, tangannya refleks memeluk pinggul Kinara. Ardan melihat Kinara memejamkan matanya, tangan Ardan merambat naik berhenti di kepala belakang Kinara. Ardan mengambil alih kecupan Kinara, merubah kecupan menjadi lumatan. Ardan melumat seluruh permukaan bibur Kinara, lidahnya terus menggoda hingga sang pemilik mendesah membuka celah agar lidahnya semakin masuk.
Decapan terdengar nikmat, satu tangan Ardan berpindah pada bagian depan. Ragu-ragu menempelkan telapak tangannya pada dada yang membusung terasa kenyal. Jemari nakal Ardan mulai meremasnya, memilin puting yang bersembunyi tanpa pelindung itu.
Kinara mendesah, Ardan menghentikan pagutannya, lengan kekarnya menahan Kinara yang tidak seimbang. Kinara menatapnya sayu, sesuatu di balik celana dalamnya meronta ingin dilepaskan. Ardan meringis, terasa sesak.
"Kinar," Ardan berbisik dengan suara beratnya. "Malam ini, boleh aku meminta hakku?"
Kinara mencengkeram bagian depan kaos Ardan, ia menggigit bibir bawahnya yang terasa bengkak akibat keganasan dari ciuman Ardan. "Boleh?" Kinara mengangkat pandangannya hingga beradu tatap dengan Ardan. "Kalau nggak boleh juga nggak masalah. Aku nggak akan memaksa." Kinara melepaskan cengkeramannya, semakin merapatkan diri, melingkarkan lengannya pada leher Ardan.
"Boleh."
Saat itu juga tanpa menunggu lama, Ardan menggendong Kinara, melangkah menuju tempat tidurnya. Akhirnya ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelik Cinta
RomanceBerawal menjadi pengganti mempelai Pria, berusaha meluluhkan hati wanita yang berstatus sebagai istrinya, sampai kepelikan lain datang. Begitu juga Kinara, yang berusaha keras menerima Ardan sebagai suaminya. Kovee by: @henzsadewa