Tujuh

8.2K 1.4K 60
                                    

Malam menjelang, selesai sesi bercinta kilat, mereka pergi ke luar mencari makan malam. Awalnya, mereka berjalan bersisian tanpa bergandengan. Ardan mendengkus, meraih jemari Kinara lalu mengaitkan dengan jemarinya membuat Kinara menoleh menatap Ardan heran. Ardan tersenyum, mengangkat genggaman tangan mereka. "Jangan kalah sama anak muda yang lagi pacaran." Ardan melirik anak-anak muda yang sedamg nongkrong di kafe. "Mereka aja duduk pangkuan, masa kita nggak gandengan sama sekali," lanjutnya mengerlingkan mata genit.

Kinara tak kuasa menahan senyum gelinya, ia membalas genggaman tangan Ardan. Rasa hangat kembali menjalari seluruh rongga dadanya. Ia tak bisa menepis kenyataan bahwa Ardan bisa menarik hatinya berpaling.

"Mau senderan juga boleh," Ardan menepuk bahunya seperti sedang membersihkan debu. "Bersih kok." lesung pipi tercetak jelas menghiasi wajah tampan Ardan.

Kinara menggeleng, tapi tetap menyandarkan kepalanya pada bahu kokoh suaminya. Tidak ada salahnya, mereka suami-istri. "Kita mampir ke rumah orangtuaku dulu, ya?"

Ardan tersenyum senang, ikut menyandarkan kepalanya di atas kepala Kinara. Mereka berjalan sangat pelan, seolah jalanan hanya mereka yang menapaki. Mengabaikan pasang mata yang menatap penuh iri. Sampai di kafe tujuan mereka, Ardan memersilakan Kinara untuk duduk, lalu dirinya menyusul duduk di samping Kinara.

"Kamu pesan apa?" Ardan melihat list menu yang tertera di sana.

"Samain aja."

Ardan menghela napas. "Masakan di sini emang nggak seenak punya kamu, tapi ya lumayan sih buat ganjel perut," ringis Ardan. "Ya udah, pesan nasi goreng sama kwetiau goreng aja, ya? Sama seafood-nya nggak ketinggalan."

Kinara tersenyum tipis, mengangguk setuju. "Gimana enaknya aja. Kamu lebih tau."

Ardan memanggil pelayan, menyebutkan makanan yang ia pesan.

"Ar,"

"Iya?" Ardan menggeser kursinya agar duduk berhadapan dengan Kinara.

"Ada kemungkinan Baskara balik lagi. Kalau dia kembali, apa yang akan kamu lakukan?" Kinara harus menanyakan ini, jadi ia bisa mengambil keputusan untuk bertahan atau mundur. Karena bagaimana pun Kinara tidak mau mengikat Ardan seumur hidup bersamanya. Ardan terpaksa menikahinya, itu yang membuat Kinara menimbang semua.

Pertanyaan Kinara sontak membuat Ardan menatapnya dengan tatapan tak terbaca. "Apa maksud pertanyaan itu?" Ardan merasa kalau suasana hatinya seperti roller coaster, senang sebentar, lalu muram setelahnya.

Kinara menggeleng. "Nggak ada maksud apa-apa, murni cuma bertanya doang. Siapa tau kamu punya rencana."

Ardan memgembuskan napas, mengangkat bahu sebelum akhirnya memilih mengabaikan pertanyaan Kinara dengan fokus pada gawainya. Pertanyaan Kinara sama seperti permintaan. Apa yang akan kamu lakukan? Sama dengan 'aku minta dilepaskan'. Haha, yang benar saja! Umur boleh lebih muda, tapi jangan ragukan pengalaman dan petualangannya menjelajahi rumitnya masalah duniawi.

"Aku minta jawaban kamu, Ar." Kinara menekan nada bicaranya agar Ardan menatap padanya.

Ardan menyimpan gawainya di meja, menatap lekat Kinara. "Anak TK juga tau apa maksud pertanyaan kamu, Kinar. Kamu nggak bahagia sama aku? Apa aku banyak nekan kamu?" cecar Ardan yang langsung dijawab dengan gelengan kepala. "Lalu? Apa kamu masih mencintai Bara?"

Kinara menatap Ardan datar. "Kalau iya bagaimana?"

Ardan terkekeh sumbang. "Baguslah, itu artinya kamu setia sama dia." bohong, Ardan menekan gejolak panas dalam dada-nya. Ardan sering dekat dengan wanita, tapi tidak pernah sampai jatuh cinta. Bahkan Ardan selalu baik-baik saja saat wanita yang dekat dengannya menyebut laki-laki lain. Namun kali ini, Ardan merasa gejolak panas dalam dirinya. Seperti rasa tidak terima.

Kinara terkesiap, ia membuang pandangannya ke lain arah. "Iya."

Tidak lama kemudian pesanan datang, tidak ada yang berbicara. Hanya makan dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

Suasana yang awalnya hangat mendadak dingin. Awalnya mereka bergandengan, kini berjauhan. Bahkan sampai di mobil, Kinara masih setia bungkam. Ardan pun begitu. Biarkan, Ardan harus belajar kalau apa yang Kinara tanyakan menjadi kenyataan. Tidak menutup kemungkinan mereka akan kembali bersama.

***

"Mau ke mana?" Kening Kinara mengerut saat melihat Ardan membawa bantal.

"Tidur di sofa," jawab Ardan pendek.

Kinara menarik napas dalam-dalam. "Kamu nggak tidur di ranjang?" Kinara berdiri mendekati Ardan. "Kamu masih marah?"

Sebelah alis Ardan naik. "Aku nggak ada berhak marah, apa yang kamu tanyain itu wajar. Aku cuma penengah di antara kalian. Jadi aku membiasakan diri kalau lamunan kamu jadi kenyataan."

Kinara tercenung, merasa tidak nyaman dengan sikap Ardan padanya. "Kamu kalau mau marah, mending marah langsung. Jangan diam-diam kayak gini."

Sejak dari kafe sampai rumah orangtuanya, Ardan mengabaikannya. Menjaga jarak, dan Kinara tahu apa penyebabnya.

Ardan menghela napas lelah. "Kamu tau? Aku lupa satu resiko yang akan datang setelah menikahi kamu." Ardan menatap Kinara lekat. "Mencintai kamu. Kalau sampai aku cinta sama kamu, akan jadi petaka buat kamu."

Kinara terpaku, menatap Ardan dengan tatapan tak terbaca. Tubuhnya terasa membeku mendengar ungkapan Ardan, perasaan Kinara berkecamuk.

"Aku sempat besar rasa saat kamu mengizinkan aku memiliki diri kamu seutuhnya, tapi ternyata aku salah. Aku emang memiliki diri kamu, tapi nggak dengan hati dan pikiran kamu. Dua hal yang berkaitan erat itu masih tertuju pada Baskara. Aku nggak berhak marah, aku cuma kesal pada diri sendiri yang terlalu berlebihan."

Kinara bergeming.

Kebenaran semakin terlihat saat Kinara bergeming bukannya membela diri. Ardan tersenyum miris, tanpa sadar mengikis jarak antara dirinya dan Kinara. Tangannya menjulur memegangi kepala belakang Kinara, mencondongkan tubuhnya untuk mengecup kening istrinya. "Aku bakal jagain kamu sampai Bara kembali, setelah memastikan Bara nggak akan berbuat ulah, baru apa pun yang kamu minta akan aku berikan. Termasuk bila memang harus berpisah."

Getir, tapi Ardan sadar diri siapa dirinya.

Ardan berbalik melangkah menuju sofa, sedangkan Kinara bergeming sejenak memejamkan mata membuat air matanya menyelinap berurai. Kinara menempelkan telapak tangan pada dadanya yang berdebar menghantarkan sakit. Perasaan apa ini?

Pelik CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang