Udara dingin menyapa kulit wanita 22 tahun itu, sesekali dia mengeratkan sweter yang ia kenakan. Matahari yang belum sepenuhnya muncul dan menyisahkan rona gelap tak membuatnya takut untuk terus menyusuri lorong sekolah dasar tempat di mana dia bekerja selama 2 tahun ini.
"Neng Dira?!" panggil pria paruh baya dari ujung lorong.
Merasa namanya dipanggil sontak Dira mengedarkan pandangannya, didapat pria paruh baya yang tengah mendekat kearahnya.
"Assalammualaikum, Pakde," ujar Dira membuat pria paruh baya itu menghela napas lega.
"Waalaikumsalam, Neng. Kok berangkat subuh-subuh lagi, neng. Hampir saya kira tadi itu mba Dewi, neng," ungkap Pakde.
Dira terkekeh geli mendengarnya, bagaimana bisa wanita cantik seperti dirinya di kira sebagai 'Mba Dewi' yang katanya adalah hantu penunggu di sekolah itu.
"Ada-ada aja, sih Pakde. Udah, ah saya mau ke kantor. Pintunya udah dibuka, kan, Pakde?"
"Iya sudah, kalau begitu saya juga mau lanjut buka pintu dulu ... mari, Neng." Dira mengangguk sopan dan melanjutkan langkahnya menuju kantor guru.
Alasannya memilih berangkat pagi-pagi seperti ini ialah untuk menghindari para ibu-ibu wali murid yang akan menyerangnya seperti dua hari lalu. Entah apa kesalahan Dira hingga ibu-ibu itu menyerangnya. Dia memang sudah merasakan hawa tak bersahabat dari para ibu-ibu saat pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Lebih baik ia menghindar dari pada meladeni ibu-ibu anak didiknya itu, dia harap selama dia bekerja sebagai guru di SD ini berjalan lancar dan damai. Namun, sepertinya itu hanya harapan kelabu saja.
***
Suara bel telah berbunyi, ruang kelas mulai di isi oleh murid-murid, kantor guru pun telah penuh oleh guru-guru yang siap untuk bertempur bersama murid-muridnya hari ini. Termasuk Dira, dia juga telah siap untuk bertempur bersama anak didiknya untuk mencari ilmu. Tepat sebelum dia beranjak dari mejanya, seorang kepala sekolah menghampirinya.
"Bu Dira, ini Bimo. Murid baru yang saya maksud tempo hari," ujar kepala sekolah menunjuk murid baru yang dia bawa. Dira mengangguk mengerti.
"Hai Bimo, ayo ikut ibu ke kelas ... Bimo kenapa pindah kesini?"
"Soalnya kakek pindah jadi Bimo ikut," jawab Bimo menatap Dira lekat.
Dira mengernyitkan dahinya bingung, pasalnya Bimo menatapnya begitu intens, bahakan saat mereka berjalan menuju kelas pun, Bimo tak melepaskan pandangannya.
"Jadi, Bimo tinggalnya sama kakek?"
"Iya, berdua sama kakek." Dira tersenyum teduh, dia merasa sedikit kasihan dengan Bimo, kenapa anak sekecil dia harus tinggal bersama kakek nya dari pada kedua orang tuannya. Ingin Dira bertanya tapi ia urungkan, karena mereka telah sampai di depan pintu kelas.
"Nah, ini kelas Bimo. Ayo masuk!" Bimo menggeleng, menahan tangan Dira.
"Kenapa?" Dira menatap bingung Bimo.
"Nama, kakak siapa?" Bukannya menjawab pertanyaan Dira, tetapi malah balik bertanya.
"Ah ... nama ibu Dira Sagita Putri, kamu bisa panggil ibu, bu Dira," jawab Dira.
Bimo mengangguk mengerti, dia menarik tangan Dira mengisyaratkan untuk menunduk menyamakan tinggi dengannya.
"Kak, mau jadi nenek Bimo enggak?"
Bagai petir disiang bolong, Dira tercengang bukan main mendengar perkataan anak muridnya ini. Dia, berharap ini hanya mimpi, dan tak akan mempengaruhi hidupnya kedepannya. Namun, siapa yang tahu tentang masa depan.
Kita lihat saja apa yang akan terjadi dengan hidup Dira setelah mendengar tawaran dari anak muridnya itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/212105181-288-k472135.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Grandma
Teen FictionAndira Sagita Putri, 22 tahun, guru SD yang menjadi incaran wali muridnya, atau lebih tepatnya para ayah dari anak didiknya. Tatapan sengit dari para ibu-ibu selalu dia dapat saat menginjakkan kakinya ke sekolah dasar itu. Tak ambil pusing dengan be...