1. Monster

2.9K 50 6
                                    

Aku menutup hidungku dengan kain kedua—jubah hitam yang tidak mencolok di malam hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku menutup hidungku dengan kain kedua—jubah hitam yang tidak mencolok di malam hari. Bekas parfum di syal merah milik Casto bahkan tak bisa menghiburku lagi. Yang tercium sekarang cuma bau bacin. Aku yakin jika bisa melihat tempat ini dengan jelas, aku sudah memuntahkan makan malamku sejak tadi. Tanah yang kuinjak sekarang basah bukan karena hujan, melainkan tertutup darah setengah kering. Aku pun berusaha tidak mengindahkan potongan kulit, daging, atau pun tulang-belulang manusia yang menjejak di sepatu botku.

Lalat beterbangan mengganggu telinga, di kala aku harus menajamkan pendengaran di balik batu besar ini. Semak di bawah pohon itu bersuara kersak-kersak. Di antaranya terdengar erangan yang patah-patah dan cepat. Jelas sekali berasal dari dua pita suara yang berbeda. Aku bisa mengenali suara remaja laki-laki yang terdengar merintih meminta belas kasihan, tertumpuk napas berat dan basah dari seekor serigala kelaparan.

Bukan, itu memang bukan seekor serigala biasa, tetapi monster yang jauh lebih menjijikkan. Sinar bulan memantulkan batang logam keperakan di alat kelaminnya yang tertutupi rambut. Aku yakin ia tidak akan berhenti menarik-tusuk batang itu secara brutal, sebelum tubuh bagian bawah si pemuda malang benar-benar hancur.

Bidikanku tidak akan memeleset kali ini. Anak panah akan mengenai punggung kirinya menembus jantung, dan aku bisa membawa monster tersebut sebagai sampel penelitian. Namun tampaknya harapanku terlalu muluk-muluk. Sial sekali, si monster merunduk, tepat di saat aku melepas busur. Panah pun menancap di kayu di sebelahnya. Monster serigala yang sudah mulai menggigiti leher korbannya tersebut berhenti dan menoleh ke arahku. Matanya yang keperakan seperti bulan purnama segera menangkap bayangan manusia lain dengan mudah.

Sial! Aku tidak suka bekerja saat gelap. Begitu juga kondisi yang mengharuskanku memakai kacamata. Karena jika jatuh tersandung akar pohon seperti sekarang, dan tajam penglihatanku tiba-tiba menghilang karena kaca itu lepas, aku hanya akan berakhir jadi hidangan penutup yang lezat. Monster tersebut meloncat di hadapanku dengan geraman singkat, saat aku masih berusaha melepas sepatu bot sialan yang membuatku tersangkut tak bisa ke mana-mana.

Badanku kini terpayungi dari sinar rembulan. Darah segar menetes-netes ke perutku. Kedua tungkaiku langsung lurus terdiam, tertindih oleh kaki dan bokongnya yang sekeras batu. Saat ia mulai menyobek jubahku, aku segera melancarkan pukulan demi pukulan, tetapi monster itu menangkap kedua tanganku dan mengontrolnya dengan mudah. Dalam hati aku mengumpati gumpalan otot yang susah payah kulatih tiap hari, tetapi tak berguna sama sekali.

Si monster menekan punggungku ke bawah, tak peduli aku akan menggelinjang kesakitan karena terimpit bebatuan dan alat panahku sendiri. Ia mencumbui pipiku sampai basah dengan air liur, sementara aku mau bernapas saja nyaris tidak bisa. Aku berusaha menjerit di balik kumisnya yang tebal dan kaku, tetapi ia segera menggamit bibir dan juga menggigit lidahku. Getir menaiki kerongkonganku. Aku benar-benar hampir muntah, jika saja lidahku tidak terdorong ke belakang. Kedua tanganku diborgol ke atas, menggunakan tangan kanannya. Kemudian sesuatu yang keras dan dingin menekan perut bagian bawahku. Monster ini menggesek-gesekkan kelaminnya yang terbuat dari besi, sementara tangan kirinya berusaha menyibak jubah dan menarik paksa celana dalam ketatku, sampai-sampai selangkanganku terasa linu.

The Omicron - Kingdom of MenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang