Selimutku ditarik, membuat dada dan perutku terserang dinginnya September. Aku terbangun dengan mata sepat, melirik jendela yang gordennya dibuka lebar-lebar. Sinar terangnya langsung menusuk tulang mataku. Casto pasti sengaja melakukannya, biar aku bangun. Pria itu, dengan langkah seperti kuda, berlarian ke sana ke mari mengambili barang-barang. Sementara aku masih mengusap bekas liur di sudut mulut, berniat mau memejam sebentar lagi sambil mendekap guling.
"Dude, C'mon!" Casto menggoyangkan bahuku sebentar, lalu menarik seluruh kain yang menutupi tubuh telanjangku. Dada bidangnya yang telah terlapisi baju cokelat hampir menutupi mukaku. Tangannya melewati badanku, demi merapikan bantal dan guling yang masih agak basah oleh sisa sperma. Aku pura-pura tak peduli, padahal sejatinya menunggu saat-saat Casto terpaksa menggendongku ke kamar mandi. Dan ia benar-benar melakukannya. Aku tertawa geli sambil menatap muka masamnya yang menggemaskan.
"Ini salahmu, karena tak membiarkanku tidur nyenyak tadi malam," kataku mengecup bibirnya saat kami tiba di kamar mandi. Casto langsung menceburkanku ke bak yang sudah berisi air hangat.
Ia lalu menaikkan satu alis. "Sungguh? Coba jelaskan kenapa kau terus-terusan berada di atas, dan memaksaku ejakulasi sampai tujuh kali, lalu meratakan air mani di perutku saat aku tertidur kecapekan! You ... raped me!"
Aku berteriak dan tergelak saat air tahu-tahu mengguyur wajahku. Casto segera mengacir dan menutup pintu sebelum ia mendapat balasan. Aku masih tertawa halus saat langkah kakinya terdengar makin menjauh. Aku membenamkan diri ke dalam bak mandi. Masih berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Semua ini mungkin memang salahku. Bukan-bukan—ini pasti salah Gamma. Bayang-bayang kejadian semalam, membuatku tak bisa membendung birahi dan melampiaskannya kepada Casto.
Sihir apa gerangan yang membuatku terus berpikir bahwa seharusnya kubiarkan saja batang besi itu memasukiku. Sebagian dari diriku merasa penasaran. Aku tahu, ini terlalu gila! Aku segera membersihkan sisa-sisa sperma dari duburku dan bergegas mandi, atau Casto akan membawaku telanjang bulat-bulat ke kantor seperti musim semi tahun lalu.
Kami berdua memutuskan untuk naik kereta. Aku benar-benar terlambat, karena kulihat pintu ruanganku telah terbuka. Vendro pasti sudah datang. Padahal seumur-umur dia tidak pernah mendahuluiku. Saat aku melangkah masuk, terdengarlah derit kayu dan desahan napas yang sinkron. Kakiku langsung seperti menancap di lantai, mengetahui ada dua orang sedang asyik bermain di atas meja. Olie-lah yang pertama sadar akan kehadiranku. Pemuda yang duduk di atas meja itu buru-buru menutupi penisnya dengan kaus dalam, dan tangannya segera menghentikan gerakan pinggul telanjang Vendro yang sedikit gemetar karena dingin. Sial, rasanya ingin pura-pura mati saja. Aku hanya buang muka dan mengembuskan uap dari mulut.
"Oh, ha-hai, Drane!" Vendro terdengar seperti habis lari maraton. Aku memasang kacamata baca, menata kertas-kertas perkamen di mejaku sendiri, tak mau melihat mereka yang sibuk merapikan pakaian di belakang sana. "Olie dari tadi mencarimu. Dia menunggu cukup lama, jadi aku—"
"Ada apa, Olie?" Aku menghentikan Vendro menjelaskan sesuatu yang tidak ingin kudengar. Dua kancing baju Olipath bahkan masih lepas saat menghadapku. Setelah mengulum bibir dan menutupi perutnya yang terekspos, ia pun berkata dengan sopan. Suaranya lembut sekali. "Raja Onix meminta Anda untuk datang ke aula, lima belas menit lagi."
Aku mengernyit tak paham, mana mungkin Raja marah hanya gara-gara aku terlambat satu kali? Pasti ada sesuatu yang penting sampai pemberitahuannya semendadak ini. "Apakah ada tugas baru? Atau aku akan dialihkan ke divisi lain?" Pertanyaan yang kedua sebenarnya lebih seperti harapan supaya tak lagi bertemu Vendro.
"Maaf saya tidak tahu, Archer," jawab Olie sambil masih sesekali melirik pria dengan cambang tipis di sebelahnya. Mereka mungkin akan melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti, seusai aku pergi. Aku menarik napas pelan, mengatur emosi.
"Baik, kalau begitu. Terima kasih, Olie."
Omega tersebut membungkuk sebentar, baru kemudian pergi dengan langkah ragu-ragu.
"Jadi ...," Vendro berjalan pelan di depan mejaku, "apa yang kaudapat semalam?"
Pertanyaan itu kubiarkan menggantung, sebab aku pun masih sibuk memasukkan tinta dan stempel ke dalam laci.
"Dengar, aku minta maaf, Drane. Aku tidak bisa datang. Kau tahu, aku sedang punya masalah dengan keluargaku. Aku sengaja datang pagi hari ini untuk memberitahumu. Sekalian aku mau mengedit laporan untuk minggu depan."
Itu adalah alasan klasik yang akan membuatku selalu menganggap maklum. Padahal laporan bisa dikerjakan Olie tanpa masalah. Tugas dia sebagai petarung adalah di lapangan. Aku malas menanggapinya. Vendro masih saja menungguku berbicara, saat aku melewatinya begitu saja dan membuka lemari. Tanpa kuantisipasi, pria itu menghentikan lajuku, meluruskan tangannya ke tembok. Dan saat aku berbalik, wajahnya amat dekat, hingga kucium aroma alkohol yang kuat dari bibirnya.
"Kau masih marah soal itu?"
Mata Vendro yang cokelat terang menatapku lekat-lekat. Segera kutinju rahangnya. Ia mengaduh dan menjauh. "Jangan pernah berani mengungkit kejadian itu lagi. Aku cuma minta kau bertindak profesional!" tegasku sambil mendorong dadanya kuat-kuat. Membau aroma alkohol campur tembakau dari giginya membuatku mual.
Setelah meninggalkan ruangan, aku tak menghiraukan lagi jawaban Vendro. Tak kusangka, Olie ternyata masih menunggu di luar, dengan wajah canggung dia menyapaku saat aku melintas. Ah, persetan dengan orang-orang ini.
=[O]=
VENDRO: Alpha; Fighter
(Vadim Black)OLIEPATH: Omega; Administrator
(Jake Porter)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Omicron - Kingdom of Men
FantasíaDrane dan suaminya, Casto, bersumpah setia sebagai prajurit Kerajaan Omicron, untuk menghabisi para pemerkosa dari golongan Gamma yang menyerang dan meresahkan warga. Namun, tak mereka sangka, Raja Onix memiliki rahasia besar yang membuatnya harus m...