I. Pertemuan

28 2 0
                                    

Akhir ini, curah hujan sedang tinggi-tingginya. Sedikit berefek pada kehidupan manusia umumnya, terkhusus pada hatiku. Hatiku yang sedang dilanda kekeringan semakin rewel untuk diisi, setidaknya menanam benih cinta. Bukan aku tak mau, hanya saja bibitnya yang belum ketemu. Aku sedang berada di proses pencarian bibit yang bukan hanya sekedar dapat tumbuh, melainkan dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama –meski tidak pernah disiram-.

Katanya, “semakin lama kita mencari, semakin baik yang kita dapat”. Aku berpegang teguh pada prinsip ini. Jangan salah. Apa-apa yang tidak berproses kemungkinan runtuhnya cepat –secepat pencarian-. Rumah yang berdiri kokoh, dahulu kala pembangunannya diperlukan waktu yang lama. Tiangnya dapat dipastikan padat, semennya juga pasti tebal, pun hubungan begitu. Ibarat kapal di lautan luas, hatiku belom menemukan pesisir yang menandakan ujung.

Aku sedang bersantai, duduk di meja ujung di salah satu coffeeshop yang terdapat di pusat kota. Sengaja kupilih ujung, bagian dari doa agar segera berujung pencarianku. Sejujurnya, aku pun mulai lelah menjinakkan hatiku yang terus meronta agar ditemukan bibitnya, ia tak sabar ingin ditanami bunga. Ia sudah makan hati. Bagaimana bisa hati makan hati? Jangan tanya aku, sampai sekarang aku belum berhasil menemukan jawabannya.

Sedang asyik berhalusinasi, tak sengaja sepasang retina mataku beradu pandang dengan sepasang retina matamu. Kau duduk di meja tepat di hadapan mejaku. Kau tampak clingap-clingup. Aku tak bisa menahan gugup. Jujur, kapal hatiku seperti telah menemukan daratan. Indahmu tak bisa dipungkiri. Kau tersipu malu, tanganmu kau fungsikan sebagai penutup mulut yang tengah bertugas menyembunyikan senyummu. Tak apa. Turunkan tanganmu. Izinkan aku sementara ini untuk menikmati senyum indah itu. Diam-diam timbul harapan di hatiku, agar kau yang menjadi daratan untuk kapalku, bibit untuk bungaku.

Kau kembali melirik ke arahku. Kali ini dengan mulut telanjang yang tengah memaparkan sebaris senyum yang berhasil membuatku salah tingkah. Aku hilang malu, tak kenal etika. Kudatangi empunya senyum, aku berdiri di hadapannya. “Boleh minta nomor whatsapp-mu?”, tanpa komando kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Kau tak menjawab. Tanganmu membuka tas, mengambil sebuah pulpen dan secarik kertas. Kau tulis nomormu, lalu kau sodorkan padaku. Dengan tangan terbuka, kuterima lalu kusimpan. Tak lupa kuucapkan terima kasih.

Aku kembali ke mejaku. Mengambil tas, bersiap pulang. Sebelum pergi, biarkanlah aku memandangimu lama, memperhatikanmu secara lamat-lamat. Tak perduli dibilang serakah, aku benar-benar ingin seluruh dirimu. Semoga ini bukan menjadi akhir pertemuan kita. Secara resmi hatiku mengumumkan telah menemukan ujung pencarian. Dan kau orang yang tepat berada disana. Baiklah, semoga betah.

Tentang Cinta, Kita Sudah Lupa.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang