V. Membangun Rasa

13 0 0
                                    

Hei kamu, ada yang ingin kuberitahu padamu. Beberapa hari ini aku lebih mudah tersenyum. kata mereka semacam hadir ke hidupku energi positif yang tertular di jiwa. Raut mukaku tiap harinya bergores bahagia, walau sesejenak bergores sendu.

Kau perlu tahu, aku tidak pandai berbohong. Belakangan hari ini, tentangmu selalu menghujani fikiranku. Anehnya aku tak pernah takut basah akan hal itu, malah aku siap jika harus tenggelam karenanya, aku menikmatinya bak anak kecil yang tertawa riang ketika diberi izin untuk mandi hujan.

Kurasa kau sepertinya tidak cukup puas menghujani fikiranku, bibirku jadi pelarianmu. Kau berhasil memaksaku untuk terus melangitkan namamu dalam doa, walau hakikatnya kau sama kali tak pernah memaksaku untuk terus melakukannya. Tanpa bermaksud mengurangi nilai keagungan Tuhan, kau berhasil menjadikanku lebih giat ibadah, lebih giat menghanturkan doa.

Aku bingung, tak sekalipun aku pernah mengundangmu mengisi fikiranku, namun kenapa kau tak pernah alpha berada disana? Jangan bilang kau betah! Usia perkenalan kita masih muda, aku masih ingin mengenalmu lebih lama. Masih banyak hal yang ingin kucari tahu tentangmu. Atau barangkali kau jelmaan bidadari atau malaikat Tuhanku? Jika tidak, kenapa berada di dekatmu rasanya aku seperti sudah menginjak surga?

Sebentar, kala kita jalan kemarin, kau tidak menuangkan candu ke dalam gelasku kan? Bukan tanpa sebab aku bertanya, bukan untuk memvonismu yang tidak-tidak, namun aku malah seperti halu, aku ingin terus mengulang hal itu. Aku ingin terus bertemu, menatap matamu, melihat sebaris senyum di bibirmu, mencium pekat parfummu.

Sejauh ini, perlahan-lahan sepertinya hatiku mulai membangun rasa. Bermodalkan harap yang sudah kuasah untuk tidak patah, aku mencoba menanam benih yang familiar disebut cinta. Namun, kau tak perlu tahu dahulu perihal ini. Kita masih terlalu dini. Biarkan sementara ini aku saja yang membangun sendiri tanpa campur tanganmu. Kau hanya perlu menunggu. Sampai pada akhirnya bangunan ini sedikit kokoh, hingga cukup menampung dua rasa.

Sedikit permintaanku, aku ingin kau tetap ada tanpa pernah menghilang, tanpa sekalipun sembunyi. Kehadiranmu semacam bahan yang aku butuhkan untuk tetap membangun, untuk terus meninggikan rasa. Jangan takut aku menyerah, selagi perjuanganku dianggap nyata, aku pantang mundur, terus melangkah.

Di penghujung tulisan ini, aku hanturkan doa. Semoga apa yang kubangun ini tidak cepat roboh, pondasinya kokoh. Namun, sepertinya masih kurang kalau hanya bibirku yang mengucap. Bagaimana kalau kita bagi tugas? Aku berucap doa, kau yang mengaminkannya. Setuju?

Tentang Cinta, Kita Sudah Lupa.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang