IV. Jalan Pertama

13 0 0
                                    

Ini kedua kalinya kita bertemu. Setelah seminggu melakukan pendekatan kepadamu melalui sosial media, aku berhasil mengajakmu jalan untuk pertama kalinya. Bukan pakaian terkeren yang aku utamakan untuk bersiap, melainkan mental. Urusan pakaian aku tak terlalu peduli, selagi sopan dan enak dipandang kurasa kau tak akan keberatan. Lagipula, aku tak suka bertopeng. "Lebih baik apa adanya, daripada memaksa ada atau mengada-ada", begitulah petuah yang pernah diucapkan ibu padaku.

Setiba di depan rumah, tak sempat aku turun dari motor, mataku sudah menemui mata indah milikmu. Ternyata kau sudah sedari tadi menungguku. Eitss tunggu! Jangan dulu bergerak. Sabar. Kau benar-benar ayu. Jika tidak berlebihan, kini aku percaya malaikat tanpa sayap itu nyata, sedang terpampang indah di hadapan mata. Izinkan aku untuk membeku menatapmu kali ini. Tak bisa kesembunyikan betapa berbinar-binar mataku, jua degup jantung yang berdetak secara membabi-buta, padahal aku bukan sedang mau tampil atau lomba.

Kau berdehem. Berhasil mengembalikanku ke realitas yang sebenarnya. Sedikit canggung, aku hampir termakan salah tingkah yang tak karuan. kupersilahkan kau duduk di jok belakangku. Kau naik dengan hati-hati. Setalah sempurna dudukmu, Kubisikkan padamu; "Selamat! Kau wanita pertama yang kuberi izin untuk duduk diatas motorku". Kau balas tersenyum. Seberes itu, kutarik gas kereta, kita melaju membelah jalanan yang mulai dipadati aktivitas manusia.

Astaga, aku lupa memberitahumu tentang satu hal; "satu syarat untuk menjadi penghuni jok ini, kedua tangannya harus melingkar di pinggangku dengan kepala yang sedikit disandarkan di bahu yang telah disediakan." Jangan banyak tanya! Laksanakan saja! Jangan pikirkan harga! terkhusus dirimu tak ada pungutan biaya.

Tentang Cinta, Kita Sudah Lupa.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang