II. Tentang kamu dan sosial media.

18 1 0
                                    

Setelah pertemuan kita di sore lalu, aku rasanya benar-benar berubah. Aku yang dahulu sangat sensitif dengan sosial media kini malah menjabat sebagai pengguna aktifnya. Entah mengapa, denganmu aku selalu merasa benar walau berada di jalur kesalahan. Tak bisa dipungkiri, kita kini benar-benar intens berbincang di linimasa. Entah berbaur cerita, berbagi masalah, bertukar isi kepala, semuanya kita laksanakan seolah tanpa perintah. Kalau boleh sedikit berprosa, kau ibarat crayon yang penuh mewarnai hidupku, mengisi kertas putih kehidupanku. Terlepas bagus atau tidaknya goresan warna itu, bagiku sama saja. Tetap indah bila dipadu. Tetap istimewa bila bersatu.

Boleh aku jujur? Sebelum itu -sebelum aku mengenal senyummu- sebenarnya aku bukan tipe manusia yang aktif bercengkerama di sosial media. Bukan pribadi yang anti sosial, hanya saja aku tak suka cara bersosial di media sosial. Sebentar aku jelaskan.

Pertama, menurutku media sosial menuntut manusia untuk hidup borjuis. Mengapa? Selalu ada hal yang berbau kemewahan dipamerkan di dalamnya. Kabar baru yang aku dengar, ada beberapa orang yang memamerkan isi atmnya, seharusnya tidak perlu begitu. Jika ingin pamer pun sepatutnya hal yang berfaedah agar dapat dicontoh, misal pamer juara olimpiade atau beasiswa kuliah ke negeri orang. Ini tidak. Atau jangan-jangan tidak ada bahan lain untuk dipamerkan? Kalau berdasarkan pemikiranku, seseorang yang seperti itu dikarenakan tidak ada lagi dari otaknya yang mampu dipamerkan sehingga dengan seloroh nya ia menjadikan isi atmnya sumber untuk pamer. Nanti begitu hilang, baru menyalahkan orang. Padahal hidupnya yang menyimpang.

Kedua, sosial media berpengaruh besar dalam pembongkaran aib. Barusan ini, sedang ngetrend di Instagram tentang Truth or Dare. Mereka menganggap itu hal yang menyenangkan, seperti tantangan tentang kewajiban atau kejujuran yang harus diselesaikan, bahasa kasarnya serupa utang. Padahal mereka tidak sadar sedang diperbudak sistem untuk membongkar atau menciptakan aib. Hingga terciptalah suatu pertanyaan di benakku; Apakah di usia bumi yang sudah terlampau tua ini membongkar aib sudah menjelma menjadi aktivitas yang menyenangkan?

Ketiga, sosial media menjadi sarana yang empuk untuk berbagi fitnah juga wadah yang tak mempunyai keterbatasan untuk melakukan pembullyan atau body shaming. Begini, tak perlu membohongi diri, sudah berapa kali kita melihat tindakan body shaming terpampang bebas di dunia nyata? Alih-alih membela korban, kita malah ikutan membully. Mulai antar persoalan suatu kaum hingga ke personal, mulai supporter bola hingga antar anggota keluarga.

Sudah, cukup 3. Di dalam bahasa Arab, 3 itu sudah jama', artinya banyak. Berarti dapat kita simpulkan bahwa sosial media membawa banyak pengaruh buruk bagi kehidupan manusia. Atau jika kubuat petuah bijak, bunyinya begini ; "Perkembangan Zaman seperti Media Sosial contohnya, berimbas terhadap etika yang tak lagi berharga, sopan santun yang tak lagi dijunjung, akhlak yang tak lagi menjadi asumsi otak". Setuju?

Namun memang tidak semua hal yang berkaitan di sosial media selalu bersifat buruk. Layaknya teknologi pada umumnya, sosial media juga ada manfaatnya. Contoh paling mendekati yaitu memperluas perkenalan karya-karya apapun bentuknya. Baik lagu, tulisan, hingga berwujud benda. Baru dengan adanya sosial media juga mempercepat negoisasi perdagangan tanpa perlu bertatap muka antar penjual dan pembeli. Jadi, bukan berhenti bersosial media, namun dikurangi.

Berbeda dengan urusan WhatsApp antar kita, kita tetap bisa menjalankan tanpa harus mengurangi atau berhenti. Kau tau mengapa? Karena ketiga efek buruk itu tak hinggap di pesan chat kita. Kita tak pernah pamer harta, bongkar aib, atau ngebully. Tanpa pernah kita saling melarang, ketiga hal itu kita sudah tau bahwa itu larangan yang tak perlu dikerjakan.

Jadi logiskah alasanku untuk membenahi kesensitifanku terhadap media sosial? Dan untukmu, jangan pernah bosan untuk membalas pesanku yang selalu tiba di ponselmu mulai dari timbulnya pagi hingga tenggelamnya malam.

Tentang Cinta, Kita Sudah Lupa.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang