Jam sudah menunjukan pukul 5 sore saat Evan dan Amel meninggalkan area pemakaman.Keduanya masih saling diam. Amel tentu masih terkejut dengan kenyataan bahwa ibu Evan sudah meninggal. Bertahun tahun tidak bertemu dengan Evan, Amel sama sekali tidak tahu dengan keadaan keluarga pria di sampingnya.
"Sejak kapan?" Amel membuka suara, memecah kesunyian di antara mereka berdua.
"Setelah aku lulus SMA," jawab Evan pendek, masih serius di kursi kemudi.
Gadis itu melirik Evan yang nampak biasa saja saat menjawab pertanyaannya.
"Mama kamu sakit?" Amel kembali bertanya karena penasaran. "Maaf Van kalo aku lancang. Aku cuma nggak nyangka aja kalo ternyata mama kamu udah nggak ada." Amel merasakan kesedihan yang sama. Kehilangan seorang ibu tentu membuat pria itu terluka, ya walaupun Evan bisa menyembunyikan kesedihannya.
Evan tersenyum. "Mama punya riwayat sakit jantung, Mel," jawab Evan. "Dan, ya... hidup dan mati manusia kan Tuhan yang atur. Jadi, nggak usah merasa nggak enak begitu. Aku biasa aja kok..."
Amel mengangguk, paham. "Maaf ya, Van. Pasti berat banget buat kamu," kata Amel dengan prihatin. Gadis itu menaruh iba pada pria di sampingnya.
"Kamu minta maaf buat apa? Lagian kan aku yang sengaja ajak kamu kesana."
"Maaf karena aku nggak tahu apa-apa soal kamu," kata Amel, dan berhasil membuat Evan berdesir.
***
Mentari pagi sudah bersinar terang saat Amel menyibak hordeng kamar rawat inap milik ibunya. Senyum gadis itu secerah sinar matahari pagi ini. Apalagi saat melihat wajah ibunya pun sama cerahnya, seolah sakit yang ia derita tidak ada apa apanya.
Karena bagi seorang ibu, melihat anaknya bahagia saja sudah membuat energi baru untuk ibu Ningsih. Apalagi saat ia tahu, bahwa Amel menemukan seseorang yang membantu hutangnya untuk membayar biaya rumah sakit.
"Ibu mau sarapan sekarang? Amel belikan bubur ayam di depan, ya?" Gadis itu mendekati ranjang ibunya, lalu duduk di kursi yang ada di samping bangsal.
"Ibu belum lapar, nduk," jawab wanita itu. "Kalo kamu lapar, kamu makan aja dulu, sekalian beli untuk ibu."
Amel menggeleng. "Kan ibu yang sakit, masa Amel yang makan duluan."
"Ya nggak apa-apa, toh. Lagian namanya lapar, daripada jadi penyakit."
"Yaudah nanti Amel belikan sekalian."
Ibu Ningsih mengangguk. "Oiya, nduk...ibu pengin sekali ketemu sama orang yang sudah bantuin kita."
"Loh kenapa memangnya, Bu?"
"Ya ibu mau berterima kasih loh, Mel. Mau apa lagi, toh?"
"Tapi, Bu—," suara ketukan pada pintu membuat Amel dan bu Ningsih saling pandang. Bukan apa-apa, kalau itu suster atau dokter, biasanya mereka langsung masuk tanpa mengetuk pintunya lebih dulu.
"Buka, nduk... siapa tahu tamu penting."
Amel beranjak untuk membuka pintunya, tamu? Mereka tidak memiliki sanak saudara yang mau menjenguk ibunya. Apalagi mereka sedang kesusahan, setan pun enggan mendekat, apalagi saudara.
Amel bergeming saat melihat sosok jangkung di depannya. Mengenakan kaos Polo berwarna hitam yang di padukan dengan celana jeans berwarna navy—membuat pria itu terlihat semakin tampan, Amel pasti sudah gila karena mengagumi pria itu secara terang-terangan. Di tambah lagi dengan jambang di dagunya yang di biarkan tumbuh membuat Evan nampak tampan maksimal.
Ah, Amel menggeleng, lantas mengerjapkan matanya, berulang kali bahkan sampai ia mengucek kedua matanya, berharap ia salah melihat.
"Boleh masuk," tanya pria itu, di tangannya— Evan membawa sekeranjang buah-buahan.
Alih alih menjawab, Amel menyingkirkan tubuhnya, mempersilahkan Evan untuk masuk tanpa menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAH (Menikah Dengan Mantan)
RomanceAmel di tawari uang senilai dengan jumlah yang harus ia bayar pada rentenir, sementara itu Evan ingin imbalan dari gadis di depannya, tentu saja... tidak ada yang gratis di dunia ini, Evan ingin Amel menjadi pengantinnya. "Kita tidur seranjang lagi...