Evan membuka pintu di depannya, mempersilahkan Amel masuk ke dalam. Sementara gadis itu, memuaskan matanya untuk melihat isi rumah Evan. Ya, Evan membawa Amel ke rumah pria itu.
Rumah selalu menyajikan kehangatan sebuah keluarga bukan? Namun nyatanya, disini terasa dingin, bukan karena AC yang baru saja di nyalakan oleh Evan, namun suasana di rumah pria itu sama sekali tidak menyajikan sebuah kehangatan."Ini rumahku sendiri," kata Evan seolah membaca pikiran Amel. "Aku tinggal sendirian, Mel. Sejak mamaku meninggal aku milih tinggal disini," terangnya lagi. "Ini rumah peninggalan kakek dan nenekku dari pihak mama, aku renovasi di beberapa bagian..."
Amel mengangguk sambil duduk di kursi Bar yang ada disana. Rumah Evan cukup luas bila di tempati sendirian. Interior serta desain dari cat serta tata letak barang-barang yang ada di dalam rumah itu sesuai dengan karakter Evan.
Amel membayangkan jika ia tinggal disana bersama Evan, hanya berdua, seperti saat ini. Amel menggeleng, mengenyahkan pikiran aneh di otaknya.
Mereka bahkan belum menikah, tapi pikiran Amel sudah kemana-mana!
"Kamu nggak punya pembantu?"
"Kamu mau aku pakai pembantu nanti?"
Amel mengernyitkan alisnya. Kenapa Evan justru bertanya padanya
"Bukan itu maksud aku, Van," balas Amel sambil mendengkus. "Kenapa rumah sebesar ini cuma kamu tempati sendirian? Yang bersih-bersih rumah siapa?"
"Aku punya pembantu yang pulang-pergi, kok. Soal beres-beres rumah udah ada yang handle. Nggak mungkin kan aku yang beres-beres?" Evan terkekeh geli ketika dilihatnya Amel membrengut kesal mendengar penuturan pria itu.
Evan ikut duduk di kursi bar depan Amel setelah menyuguhkan satu gelas air minum untuk gadis itu.
"Rumah sepi kayak gini, kok betah sih?"
"Aku suka sepi," balas Evan sambil mengedipkan sebelah matanya, menggoda. "Aku justru lebih nyaman tinggal sendiri kayak gini, nggak ribet dan nggak berisik."
Amel mengangguk lagi.
"Tapi aku lebih suka kamu, sih," kata Evan menambahi, yang berhasil membuat Amel menggidik ngeri.
Reaksi Amel nampak berlebihan, gadis itu memasang ekspresi ingin muntah lalu mencebik. Meski begitu, Evan malah senang bisa menggoda Amel.
"Kenapa dulu kita putus ya?" Tanya Evan, untuk mencairkan suasana. "Padahal aku nggak bisa move-on dari kamu!"
"Gombal," balas Amel.
"Gombal itu di tunjukan untuk orang yang memberi harapan palsu, Amel. Kalau yang serius menikahi, itu bukan gombal."
"Terserah kamu saja lah!" Balas Amel ketus.
"Oiya, soal pernikahan," Amel menatap Evan sejenak, menimang apakah pendapatnya akan di dengar oleh pria itu.
"Kenapa sama pernikahannya?"
"Sebaiknya kita nggak usah bikin pesta, Van."
"Why?"
"Ibuku lagi sakit. Lebih baik kita akad aja, itu udah cukup."
"Kalo itu mau kamu, ya sudah."
"Kita bikin syukuran kecil-kecilan saja, Van."
Evan mengangguk. Ia juga belum berniat untuk membuat pesta megah. Semua itu, memang ada dalam angan-angannya, tapi dengan kondisi seperti sekarang—Ibu Amel yang sedang sakit, rasanya terlalu berlebihan jika membuat pesta saat salah satu orang tua mempelai sedang terbaring di rumah sakit.
Evan terlihat mengeluarkan dompet dari saku celananya, kemudian menyodorkan satu kartu pada Amel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAH (Menikah Dengan Mantan)
RomanceAmel di tawari uang senilai dengan jumlah yang harus ia bayar pada rentenir, sementara itu Evan ingin imbalan dari gadis di depannya, tentu saja... tidak ada yang gratis di dunia ini, Evan ingin Amel menjadi pengantinnya. "Kita tidur seranjang lagi...