Sebenarnya saya tidak pernah punya plan khusus untuk pergi mondok setelah lulus SMP, tapi karena desakan orang tua, Baba, tepatnya, jadi saya patuh saja.Meski sempat dilema, saat ada penawaran beasiswa dari guru SMP jalur PMDK ke SMAN 01 Bangkalan sangat menggiurkan, iyalah… siapa yang tidak mau sekolah di SMANSA yang terkenal elit dan wah-wah itu, tapi bismillah karena semata-mata hanya mengharap ridlo Allah dan kedua orang tua, dan apalagi setelah mendengar kata-kata Baba, “Pokoknya Baba tidak merestui kamu untuk melanjutkan sekolah ke SMA, kecuali ke Pondok Pesantren”.
Ya… akhirnya saya bersedia untuk masuk pondok pesantren (meski sedikit berat). Setelah saya menyetujuinya, kini tinggal satu pertanyaan mendesak dipikiran saya, pondok pesantren manakah yang akan saya pilih?
Sehari sebelum acara wisuda SMP, teman-teman saya berbincang-bincang tentang sekolah dimana mereka akan melanjutkan pendidikannya, hingga akhirnya sampailah kata “Al-Amien Prenduan” ke daun telinga saya dari salah seorang teman, yang pada akhirnya menjadi teman seperjuangan saya di pondok, nantinya…
Akhirnya, Baba pun berkonsultasi dengan sepupu dari teman saya, Kak Shohih namanya, yang merupakan alumni dari pondok pesantren tersebut.
Sampai-sampai, semua baju yang akan saya bawa harus disortir ke beliau, hehe.. soalnya, katanya di Al-Amien itu tata cara berbusana ditentukan oleh pondok.
Hehe..
aneh sih, saya calon santriwati menanyakan pakaian ke mantan santri putra, tetapi ternyata beliau menyanggupi.Hari jum’at, 27 Juni 2011, kami sekeluarga bersama dua rombongan mobil menuju pondok pesantren Al-Amien Prenduan.
Lama perjalanan empat jam membuat kepala saya nyut-nyutan, sepanjang perjalanan, mata saya tidak bisa berpaling menatap jalan dan rumah rumah yang saya lewati. Entah mimpi atau tidak, kisahku akan segera dimulai.
Meskipun saya memiliki sedikit sindrome mabuk di perjalanan, ketika itu juga saya merasa gugup dan berkontraksi dengan keadaan tubuh saya. Pusing, sakit kepala sekali ketika itu.
Tapi tiba tiba pusing itu hilang seketika ketika saya menginjakkan kaki di dari ad-diyafah sebelah rumah K. Makhtum.
Beneran, deg-degan parah rasanya menginjakkan kaki di tempat pendaftaran.
Mata pun terus menatap setiap santri yang bergerombol memakai jubah berwarna abu abu dan kerudung kain berwarna putih. Mereka tertawa ketika itu. Apakah sebahagia itu menjadi santri? Pikiran saya terus berkecamuk.Ya Allah, disini kah saya akan menuntut ilmu?
Kata hati saya mendesah.
Selama pendaftaran, saya selalu memandangi wajah teduh Baba dan mamah saya.
Ya Allah… Padahal kami baru saja bertemu, apakah kami harus dipisahkan kembali…
Ya… Baba Mamah saya baru saja pulang dari Jeddah, setelah sekitar sepuluh tahun saya di tinggal di Madura.
Setelah mendaftar, seseorang yang disebut “Mu’allimah” mengantar saya ke kamar.
Rayon Khodijah kamar enam. Disana, baju-baju saya diperiksa kembali oleh Mulahidzoh atau pengurus kamar. Setelah beres-beres, akhirnya tibalah saya dititipkan ke salah seorang ustadzah yang cantik benama Usth. Mutharifah.
Setelah beres-beres dan silaturrahim ke rumah Kyai, keluarga saya pun berpamitan, di lapangan tepatnya, saya melihat pipi Baba saya basah dan masuk mobil duluan, saya yakin dengan sangattt bahwa beliau menangis meratapi anak kesayangannya ini akan tinggal di tempat yang baru, sedangkan mamah masih sempat tersenyum dan melambaikan tangannya.
Sekejap, dua mobil itu menghilang di hadapan saya. Sebenarnya saya ingin berusaha tetap tegar, tapi setelah membalikkan badan, tanpa saya perintah, air mata saya turun deras, tanpa saya sadari, saya menangis. Tapi nangisnya biasa aja. Nangis yang anggun. Hahaha… lagi di jalan, soalnya…
Setelah hari itu, kehidupan saya, cuss… berubah, yah, walaupun tidak 180 derajat tapi pasti berubah banget. Yang biasanya saya tidak pernah melaksanakan sholat tahajjud, eh malah rajin, yang biasanya baju di cuciin, eh nyuci sendiri.
Yaa… begitulah. Selama sebulan, saya telah belajar banyak hal, mulai menghafal mufrodat (kosa kata), doa-doa, belajar bahasa inggris, bahasa arab, cara melipat baju, cara menyetrika, cara adab sopan santun sampai-sampai cara menyusun barang di lemaripun ternyata ada ilmunya.
Hingga pada akhirnya, hari itupun tiba. Entah hari apa, ketika itu, tanggal 27 Juli 2011. Hari perpulangan. Beneran, saya tidak berbohong, rasa senang di hati saya sangat membuncah, tidak bisa diutarakan oleh kata-kata, mungkin ini juga pernah dirasakan oleh kalian-kalian ketika hari perpulangan, iya kan? Apalagi saya anak baru,,, senang sekali..
Setelah menunggu beberapa jam, pukul 10.30 WIB, Baba dan rombongan tiba dan mendarat di depan geserna. Tanpa peduli dengan barang-barang yang sudah saya pack saya langsung berlari memeluk Baba saya.
Sekali lagi, Baba menangis melihat sikap saya. Saya pun tenggelam di balik tubuh Baba saya. Aku menyambut tangan baba, lalu menciumnya berulang kali, eits, so pasti dengan tata cara bersalaman yang telah saya pelajari waktu di kelas syu’bah. Setelah itu, baru saya memeluk mamah.
“Wah… kok kurusan…?”
Tanya mamah
“Iyalah…. Kalau orang kurus di pondok berarti benar benar mondhuk*Madura, tapi kalu gemuk di pondok berarti bukan mondhuk* Madura tapi nyeddhuk*Madura (makan nasi terlalu banyak)”
Jawab Baba.
Saya tahu, Baba sangat bahagia ketika itu, karena saya tahu, saya adalah anak kesayangan Baba*maaf adik-adikku….
Tapi itu kenyataan lo,..
Senang rasanya, menginjakkan kaki di rumah, semenjak itu, saya tetap melaksanakan kegiatan seperti halnya di pondok. Mulai dari sholat tahajjud, dhuha, mencuci, menyapu, membantu mamah, sholat hajat dan lain-lain.
Suatu saat, setelah sholat maghrib, Baba meraih tangan saya dan memeluk saya sambil berkata,
“Satu bulan mondok aja kamu udah kayak gini nak, gimana setahun, dua tahun dan lulus? Baba bangga…”
Wahh,, kayak menang hadiah bonus, hati saya terenyuh bahagia, akhirnya Baba bangga juga punya anak seperti saya, hehehe….
Sebulan di Al-Amien Prenduan, bagi saya sangat berarti, dan membawa dampak positif bagi kehidupan saya, ternyata hidup di pondok itu, enak, asal kita mengikuti semua peraturan pondok dengan sebaik-baiknya.
Saat itu, tak ada kata yang bisa saya utarakan kecuali syukron syukron syukron Oh Pondokku….I….bu…ku….
walah,,, kok malah nyanyi….
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Santri
Non-Fictionini kisah pribadi penulis ketika menjadi seorang santri selama 8 Tahun di sebuah Pondok Pesantren Di Ujung paling timur Pulau Madura. 🏢Al Amien Prenduan Sumenep Madura🏢