Air Mata Bahagia

44 4 2
                                    

Dengan keterbatasan yang saya miliki. akhirnya saya terus belajar, belajar dan belajar untuk intropeksi diri.

Hampir setiap hari, saya menangis karena pelajaran. Entah karena ustadzahnya terlalu cepat dalam menjelaskan materi ajar, tertekan karena teman-teman yang pintar-pintar, banyaknya setoran hafalan, padatnya kegiatan, pokoknya membuat saya ingin berhenti untuk mondok di TMI.

Tapi, untungnya saya punya guru private, yang bersedia mengajari saya kapanpun dan dimanapun. Kak Aas. Jawaban dari segala jawaban. Mengatasi masalah tanpa masalah. Hehehe.... emangnya pegadaian?

Hingga pada akhirnya saya pun bisa melewati hari-hari sulit saya selama setahun dan sampailah pada acara penerimaan raport akhir tahun.

Seluruh santriwati berkumpul di Gedung Serba Guna. Ya... untuk apa lagi?

PEMBAGIAN RAPORT

Seluruh santriwati duduk perkelas. Hingga pada akhirnya datanglah Mudir Marhalah Tsanawiyah TMI Pi kala itu, Ust. H. Moh. Suri Sudahri membawa kertas di tangannya lalu mengumumkan the best three masing-masing shof.

Ketika itu, saya melihat di sekeliling saya.
Wah... pasti yang ringking satu adalah kak Aas, yang kedua pasti, Milhatul Ladidah, Yang ketiga mungkin Kuni Kamila.

Ha? Mana mungkin saya dapat ringking, kalaupun dapat, mungkin ringking 27 di kelas, hehehehe....

Ust. Suri mulai menyebutkan sebuah nama yang menempati posisi the best three dan ternyata beliau menyebut nama “ASMIYATI” semua teman-teman saya bersorak sorai, karena beliau memang pantas jadi the best

Ust. Suri mulai menyebutkan sebuah nama yang menempati posisi the best two dan ternyata beliau menyebut nama “Miftahul Alimah” yang notabene juga pinter lulusan pondok pesantren di Banyuwangi.

Suasana semakin panas. Siapakah yang menempati posisi puncak?

Akhirnya Ust. Suri melanjutkan, “The best One kelas I Intensif berasal dari Sepulu Bangkalan”

Deg... siapa dari Sepulu? Gumam saya dalam hati

“Atas nama Ananda Darul Hikmah”

Speechless.

Teman-teman saya satu shof melongo tidak percaya, mungkin di benak mereka, apa ada kesalahan? Apa salah menyebut nama? Atau ustdzahnya salah menghitung nilai?

Sejenak.

Suasana menjadi hening. Saya pun tenggelam dalam khayalan saya sampai pada akhirnya, seorang teman menepuk pundak dan membangunkan saya dari lamunan panjang saya.

“Hey, kamu.... ya... kamu”

What? Apakah ini nyata? Ini benar kah? Gak salah kan?

Dengan seribu pertanyaan di benak saya, saya berdiri dan maju kedepan untuk mendapat ucapan selamat dan sebuah gift.

Saya yakin, setelah pembagian raport, semua anak menggunjingkan saya. Kok dia sih? Siapa dia? Padahal pinteran ini, pinteran itu, pinteran.

Semenjak itu saya merasa AGAK dikucilkan di kelas. Akhirnya saya mengadukan nasib saya ke Usth. Mutharifah.

Saya menangis dihadapan beliau. Menceritakan semuanya.

“Loh, kok menangis, air mata apa ini? Air mata bahagia?”

tanya beliau

“Lebih baik saya tidak di posisi ini, kalau pada akhirnya saya dikucilkan seperti ini,”

“Ssst, tidak boleh begitu,,, kamu harusnya mensyukuri apa yang telah Allah takdirkan untuk kamu”

Setelah kejadian tersebut, ternyata saya sadar. Bahwa apa yang saya fikirkan tidak benar adanya. Cuma saya aja yang berfikiran aneh dan mengada-ngada.

Keesokannya, ternyata berjalan seperti biasa, teman-teman saya bersikap baik sebagaimana biasanya. Makanya tidak boleh negative thinking ya....

Atas keberhasilan yang saya raih ini, maka Baba saya harus menjalankan nazarnya. Yaitu membuat tasyakkuran di masjid tiap malam jum’at dengan 7 tumpeng. Hehehe... ada-ada saja Babaku..

Catatan Seorang SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang