Pita.
Di pondok kami. Pita adalah sebuah sanksi. Bagi siapa yang melanggar maka dia harus menyematkan pita di bagian depan kerudungnya. Bahkan di akhir akhir saya menjadi santri, penempatan pita tersebut sudah pindah ke kepala.
Pita pelanggaran memiliki tingkatan tersendiri sesuai warna dan jenis pelanggarannya.
Ada lima jenis warna pita yang wajib diketahui. Yang pertama pita biru. Pita untuk pelanggaran kecil yang berulang ulang misalnya dia telat ke musholla selama 3 kali berturut turut. Dan lain lain pelanggaran yang ringan saja.
Yang kedua, pita coklat. Nah ini jenjang pelanggaran tingkat dua setelah pita biru. Biasanya tahap ini setelah melalui proses pita biru bisa berjenjang menuju pita ini.
Yang ketiga, pita hijau. Nah di jenjang ketiga ini sudah agak lebih berat. Karena biasanya hukumannya ditambah membacakan surat pernyataan di teman se angkatannya.
Yang keempat pita kuning. Di jenjang ini sudah memasuki pelanggaran yang agak berat. Dan pemberian kabar kepada orang tua dan hukumannya mengenakan kerudung merah putih selama lima hari.
Nah, yang di jenjang terakhir ini adalah pita merah. Biasanya pelanggarannya sudah berat begitu, seperti hubungan non mahram, berpakaian ketat ketika liburan dsb. Hukumannya tentu lebih banyak. Selain Pemanggilan orangtua, pelaku pelanggaran tahap tersebut harus mengenakan kerudung merah putih selama satu minggu, apel ke rumah mudir dan Nyai, istighfar 3000 kali, tilawah, membersihkan kamar mandi sekolah.
Nah, semuti' muti'nya saya. Ternyata saya pernah melanggar. Tepatnya ketika itu kelas 3 Intesif. Ya, walau sebenarnya itu salah paham aja sih.
Jadi ceritanya, waktu itu, ada pengumuman bagi seluruh sekretaris dan bendahara konsulat untuk mengumpulkan buku laporan bulanan. Nah, ketika itu syaa menjabat sebagai bendahara konsulat. Eh, ternyata saya dijemput tiba tiba oleh keluarga karena nenek saya meninggal waktu itu. Nah, waktu balik ke pondok lagi kan niatnya saya tidak mau ikut acara muwajjah kayak belajar malam gitu, tapi entah kenapa malam itu, saya ingin menemui Ustadzah Walikelas ketika itu.
Karena saya pikir saya masih pada waktu dikirim dan baru datang, jadi saya terobos aja bagian Baperan ketika itu.
Tanpa ada alasan dan meminta keterangan, nama saya ketika itu langsung dicatat. Dan langsung dihukum berdiri di dekat bundaran.
Kesal sebenarnya, tapi ya, mau bagaimana lagi, pengurus tidak mau mendengarkan penjelasan.
Keesokan harinya, saya dipanggil menuju kamar pengurus. Rayon Zainab Al Huzaimah. Muallimah Rara ketika itu, langsung mentahkim. Beliau memaparkan kesalahan saya bahwa saya tidak mengumpulkan buku bendahara konsulat dan telat ketika muwajjah atau belajar malam.
Saya sudah berusaha memberi penjelasan. Tapi sayangnya, beliau tidak menerima alasan. Akhirnya beliau menyematkan pita biru di kerudung saya. Saya berusaha kuat ketika itu, karena suasana lingkungan sekitar rayon pengurus itu sedang ramai.
Setelah itu, saya langsung berlari ke kamar saya, Rayon Zainab Ridho kamar lima yang berada di lantai dua. Dan menangis sejadi jadinya.
Memakai pita berarti telah melanggar. Saya merasa sangat bersalah kepada kedua orangtua karena sudah melanggar peraturan. Mata saya membengkak. Sipit. Sulit melihat. Sepanjang perjalanan menuju sekolah, dapur, saya selalu menunduk. Malu.
Setiap malam, saya selalu menangis. Meratapi nasib. Heheheheh...
Hingga pada akhirnya, hari demi hari saya mulai terbiasa dan tetap menampakkan bahwa saya adalah orang yang kuat.
Saya tidak mau mendengar apa yang mereka bicarakan tentang saya ketika itu. Tapi ya sudahlah. Saya pasrah. Jadikanlah ini sebuah pengalaman. Dan saya tidak akan mengulangi lagi.
Pasrah menerima demi sebuah pengalaman
Fighting Darul
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Santri
Non-Fictionini kisah pribadi penulis ketika menjadi seorang santri selama 8 Tahun di sebuah Pondok Pesantren Di Ujung paling timur Pulau Madura. 🏢Al Amien Prenduan Sumenep Madura🏢