Purum
Merupakan singkatan dari Dapur umum. Saya yakin, setiap alumni pasti memiliki kesan khusus kepada nama tempat yang melegenda di atas.
Bagi saya, Purum memiliki kisah tersendiri dalam kisah kisah kepondokan saya. Why? Dari sanalah, kita belajar banyak hal.
Belajar makna sabar, kesederhanaan, kemandirian, saling menghormati dan masih banyak lagi.
Saya sangat ingat kejadian lucu ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di purum. Ketika itu, saya berada di posisi sebagai anak baru.
Waktu makan malam tiba, teman teman kamar saya, langsung mengajak saya untuk makan di purum. Over all, saya ikut saja ketika itu. Walau bagaimanapun juga, besok besoknya, saya akan makan di tempat tersebut.
Purum adalah dapur umum. Setiap santri berangkat kesana ketika waktu makan. Sesampainya disana, awalnya saya shock melihat banyak sekali orang yang mengantri mengambil jatah nasi dengan piring masing masing di tangannya.
Beberapa kakak kelas, nampak akrab berbicara menggunakan bahasa Arab dengan begitu lancar. Terbesit rasa kagum ketika itu.
Akhirnya dengan dipandu salah seorang teman saya, Novi, Namanya. Saya mengikuti mereka. Mengantri mengambil nasi, tahu dan mie.
Kemudian kami memilih tempat duduk untuk makan bersama. Mereka sangat ramah dan menjelaskan semua seolah olah mereka santri lama, padahal mereka baru saja masuk sama seperti saya. Seminggu lalu tepatnya.
Tanpa basa basi, mereka langsung menyantap nasi di hadapan mereka. Sementara saya, hanya menatap pilu, sepiring nasi dengan tahu bumbu merah dan mie kuning yang sangat lembek.
Akhirnya, saya mulai memakan satu suapan. Seketika, ingin rasanya ketika itu, saya muntahkan apa yang sudah masuk di mulut saya, namun saya tahan sekuat tenaga.
Akhirnya ekspresi ketidaksukaan saya, nampak di hadapan Novi. Dia pun langsung kebingungan.
"Kamu kenapa, Darul..?"
Tanyanya, khawatir.
Entah terlalu berlebihan atau bagaimana ceritanya, tiba tiba air mata saya mengalir begitu saja.
Teman teman yang sedang makan ketika itu pun kaget dan bertanya tanya.
Ada banyak hal yang membuat saya menangis ketika itu. Pertama, mungkin saya merasa rindu suasana makan bersama keluarga di rumah. Kedua, mungkin saya kaget dengan rasa makanan yang agak asing di lidah saya. Ketiga, mungkin tekstur mie yang sangat lembek, dan saya paling tidak menyukai itu. Heheheh..
Itulah pengalaman pertama saya makan di purum.
Tapi setelah hari itu, saya mulai menikmati hari hari saya makan di purum. Entah kenapa, saya sangat menyukai semua menu di purum. Dan secara otomatis, saya juga hafal menu menu setiap waktu.
Dan makan adalah waktu yang paling saya tunggu. Eits, jangan mengira saya suka makan ya. Cuma, bagaimana pun juga, mondok di Al Amien itu butuh tenaga ekstra.
Kesana sini, harus berpatokan dengan waktu, bel, pluit. Lari sana sini. Dan hal tersebut sangat menguras tenaga sekali, you know? Wkwk
Sejak saat itulah. Saya menjadi santri terajin dalam bidang makan di purum. Mungkin seandainya ada award kategori santri teraktif ke dapur, saya lah pemenangnya.
Wkwkwkwk
Dari hal ini saya belajar. Bahwa kita tidak boleh terlalu membenci sesuatu dengan terlalu, karena nantinya kita akan mencintai hal tersebut.
Selain itu, di purum jugalah saya mendapatkan kosakata bahasa arab baru.
"Duluan ya..! "
Karena kami anak baru ketika itu, jadi kami hanya mendengar sedikit kosakata bahasa arab yang kita dengarkan secara tidak sengaja di purum.
"Eh, apa dah, bahasa arab nya, duluan?"
Tanya saya ketika itu.
Salah seorang teman saya, yang juga anak baru menjawab.
"Tadi sih, ana dengar dari kakak itu, Awwalin..."
Katanya, dengan sumber yang abstrak.
Kami mengiyakan saja ketika itu, dan menggunakan kata tersebut dimana mana. Awwalin, Awwalin.
Namun, ketika itu, datanglah salah seorang teman yang menyalahkan kata tersebut. Dan dia mengatakan bahwa kosakata yang telah kami pakai selama beberapa hari itu salah. Yang benar adalah, Awwalun katanya.
Merasa mendapatkan pencerahan, akhirnya kami mulai menggunakan kata Awwalun dimana pun kita berada.
Awwalun ya, awwalun ya..
Dan seterusnya.
Hingga datanglah pencerahan pada suatu hari. Tepatnya ketika itu kami sedang bermain di dalam kamar.
Tiba tiba salah seorang dari teman kami pamit keluar.
"Awwalun ya.. "
Ucapnya.
Tiba tiba, mulahidoh alias pengurus kamar kami tertawa.
"Kok Awwalun sih akhwat.. ?"
Ucapnya sambil menahan tawa.
"Loh iya loh kak.. Kami mendengar kakak kakak bicara seperti itu ketika mau duluan.. "
Kata seorang teman saya, polos.
"Bukan Awwalun ukhti, tapi awwalan.. "
Ucap sang mulahidoh.
Seketika, kami tertawa serempak atas kesalahan rimple kami. Ternyata proses menerima kebenaran itu cukup lama ya, dari awwalin ke awwalun dan pada akhirnya menuju kebenaran yang haqiqi yaitu awwalan.
Wkwkwkwk
Menggelikan sekali kalau mengingat kosakata tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Santri
Non-Fictionini kisah pribadi penulis ketika menjadi seorang santri selama 8 Tahun di sebuah Pondok Pesantren Di Ujung paling timur Pulau Madura. 🏢Al Amien Prenduan Sumenep Madura🏢