Di bawah pancuran air hangat yang deras, dalam balutan sabun di sekujur tubuh, ia bergidik penuh kenikmatan... penuh kepuasan.
Senyum sangat lebàr sedari tadi terus menghiasi wajahnya yang segar. Bagaimana tidak? Membayangkan kembali bagaimana rasanya menahan cairan itu hampir empat belas jam lamanya bahkan mungkin lebih lama di dalam epidimisnya, dengan penuh penderitaan dan godaan seksual, yang akhirnya berhasil keluar tak bersisa melalui saluran sperma dan uretranya, itu adalah sebuah terobosan besar..., babak baru dalam kehidupannya. Walaupun ia harus mengakui bila proses pengeluarannya itu jauh dari kata memuaskan. Dan kurang terhormat...
Namun apa daya, selama lamaran belum disampaikan, janji belum diikat, sumpah belum dibacakan, cincin belum disematkañ di jari tangan, ia tidak akan pernah bisa meminta haknya sebagai seorang pria... suami.
Ngawur...!! Apa yang kau pikirkan, Kim sang Bum? Sentak akal sehatnya, membuat Kim Bum tersadar dari lamunan dengan menampar pipinya sendiri. Pikirannya yang liar sudah jauh entah kemana, namun kinì sudah kembali kepada sang pemilik.
Sepatutnya ia malu atas perbuatannya tadi di atas tubuh So, bagaimana ia tidak sanggup mengendalikan dìri dari hawa nafsunya. Bukan justru berbangga diri atas apa yang telah terjadi.
Ia harus bertanggung jawab!
Ya, itu sudah pasti dan bahkan dengan sangat senang hati... akan ia lakukan, semakin cepat... semakin menikmati banyak keuntungan...
Namun...
Ia tidak pernah boleh melupakan...
Masih ada satu kendala penting...
Kendala terbesar yang akan menghadang hubungan mereka ke depan, yang belum sanggup diutarakannya, disampaikannya kepada So Eun sampai detik ini.Hubungan pernikahan terlarang antara ibunya dengan ayahnya, ayah Kim So Eun! Hubungan yang menyedihkan, yang katanya mengatasnamakan cinta! Kim Bum bergidik marah.
Betapa sakitnya rasa hati ini seperti rasa dihunus oleh pedang baja bermata dua yang menembus raga bahkan sampai mengoyaknya, bila memikirkan hal ini kembali.
Menjijikan... memalukan...
Dan ironi... seharusnya... hubungan antara dirinya dengan Kim So Eun yang sah dalam hukum untuk saat ini adalah sebagai saudara... tiri... karena pernikahan kedua orangtua mereka, bukanlah sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai.
Kim Bum tertawa miris. Tubuhnya merinding geli!
Ia dan So saudara tiri...?! Tidak ada niat sama sekali di dalam hati, tidak di dunia ini maupun nanti.
Namun rasa pilu kembali memukul remuk hatinya, Kim Bum menahan emosi yang akan meledak di dalam dada. Seandainya ia bukanlah orang Korea mungkin hal ini tidak menjadi masalah maupun berita..., namun budaya, bangsa, status, jabatan, reputasi, harga diri menghalangi semua itu terjadi.
Haruskah kini ia melepaskan So Eun dari pelukannya? Dari genggaman tangannya?
Oh... ibu kau begitu egois! Merebut semua kebahagiaan tanpa menyisakan sedikitpun bagi darah dagingmu... putramu, putra tunggalmu.
Tidak pernah dalam hidupnya, Kim Bum merasa sekecewa seperti saat ini...Rasa tidak rela menusuk sampai ke ulu hati! Namun apa daya semua ini sudah terjadi sejak sepuluh tahun yang lalu, bukannya saat ini ataupun akan terjadi...
Kim Bum memukul-mukul dinding tak bersalah itu sebagai pelampiasan, sambil menyelusurkan dirinya sampai duduk di lantai yang basah.
Air mata pemberontakan pun menetes... Ia pernah bersumpah, jika dirinya tidak akan pernah menangis, walau tubuh ini tersayat, darah mengalir... namun luka batin ini membuat air matanya bercucuran tak terbendung bersama air pancuran yang terus menyirami dirinya... tidak sanggup rasanya diri menerima kenyataan kejam yang terus melingkari kehidupannya, terus mengikuti di jalan hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tetangga Masa Laluku
Fiksi PenggemarTentang perjuangan yang melelahkan dengan kenyataan yang menggugah..