"Serang...!"
"Bunuh...!"
"Cincang...!"
Macam-macam teriakan keras terdengar memecah kesunyian dan ketenangan sebuah lembah. Teriakan-teriakan itu disusul suara gemuruh dari puluhan pasang kaki yang berlarian cepat menuruni tebing lembah. Lembah yang terdiri dari bebatuan itu seakan-akan hendak runtuh oleh gemuruh langkah-langkah kaki yang berlari cepat sambil melontarkan caci maki dan sumpah serapah yang keras.
Entah berapa puluh, atau mungkin ratusan orang yang berhamburan, berlarian memasuki lembah. Mereka semua menghunus senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran sambil bertari sekencang-kencangnya. Tujuan mereka adalah sebuah bangunan berpagar balok kayu yang cukup tinggi dan kokoh, yang bagian atasnya meruncing tajam.
Tampak kepala-kepala menyembul di atas pagar balok kayu yang cukup tinggi, kemudian disusul pucuk-pucuk anak panah yang sudah terpasang di busurnya. Tepat di atas pintu gerbang yang tertutup rapat, berdiri tegak seorang laki-laki tua mengenakan jubah putih panjang dan longgar. Matanya memandangi orang-orang yang berlarian menuju ke arah bangunan menyerupai benteng ini. Di samping orang tua berjubah putih itu, berdiri seorang gadis berparas cukup cantik. Bajunya berwarna merah muda. Tampak di pinggangnya tergantung sebilah pedang berukuran panjang.
"Jumlah mereka semakin banyak saja, Ayah," jelas gadis berbaju cukup ketat berwarna merah muda.
"Hm...," orang tua berjubah putih itu hanya menggumam saja.
Sementara orang-orang yang berlarian menuju bangunan menyerupai benteng ini sudah semakin dekat saja. Tampak seorang yang menunggang kuda dan berada paling depan, mengangkat tangan kanannya yang memegang tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Dan orang-orang yang berlarian di belakangnya segera berhenti bertari. Mereka sudah cukup dekat, tapi masih berada di luar jangkauan anak panah.
Ada sekitar lima orang lagi yang menunggang kuda. Dan mereka berada di belakang laki-laki tua berjubah biru yang menunggang kuda paling depan dan memegang tombak pendek bermata dua pada ujung-ujungnya. Di belakang mereka, juga ada sekitar dua puluh orang yang juga menunggang kuda, selain seratus lebih orang yang berjalan kaki. Mereka semua menatap ke arah orang tua berjubah putih yang berdiri tegak di atas pagar balok kayu yang tinggi dan runcing.
"Tampaknya mereka siap, Eyang," kata salah seorang yang menunggang kuda.
Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Tubuhnya tegap dan wajahnya cukup tampan. Baju biru tua yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebuah pedang tampak tersampir di punggungnya.
"Tapi jumlah kita lebih banyak. Sebaiknya, langsung diserang saja, Eyang," sambung seorang lagi yang mengenakan baju warna kuning agak kemerahan. Dia membawa seutas cambuk hitam berduri.
Sementara orang tua berjubah biru tetap diam tanpa berkedip menatap lurus ke depan. Perlahan tangannya yang memegang tombak pendek bermata dua diangkat.
"Siapkan panah api!" teriak orang tua berjubah biru itu memberi perintah.
Seketika itu juga, dua puluh orang anak-anak muda melangkah maju. Mereka membawa busur panah panjang, dan beberapa anak panah di punggung. Segera disiapkannya panah-panah yang pada bagian ujungnya berbentuk bulat sebesar kepalan tangan. Ujung panah itu segera dibakar, sehingga api berkobar dan siap dilepaskan.
"Lepaskan...!" perintah orang tua berjubah biru, lantang.
Wusss! Singgg...!
Dua puluh batang anak panah berapi seketika meluncur deras ke arah bangunan bagai benteng itu. Pada saat yang bersamaan, dari arah bangunan meluncur juga puluhan anak panah menyambut serangan panah-panah api itu. Panah-panah itu saling beradu di udara. Dan semua panah api seketika rontok berjatuhan sebelum mencapai sasaran.
"Keparat..!" geram orang tua berjubah biru melihat panah-panah api berguguran tanpa membawa hasil.
Sementara dua puluh orang yang membawa busur sudah kembali siap dengan panah apinya. Dan panah-panah api itu kembali dilepaskan tanpa menunggu perintah lagi. Namun, kembali panah-panah itu disambut oleh panah-panah, sehingga rontok sebelum mencapai sasaran. Beberapa kali mereka mencoba, tapi tetap tak membawa hasil yang diinginkan.
"Prabawa! Siapkan orang-orangmu. Serang mereka!" perintah orang tua berjubah biru, seraya berpaling menatap pemuda tampan berbaju kuning yang membawa cambuk hitam berduri.
"Baik, Eyang," sahut pemuda yang dipanggil Prabawa.
Segera Prabawa menyiapkan orang-orangnya yang berjumlah sekitar tiga puluh. Kemudian mereka diperintahkan untuk menyerang. Prabawa sendiri segera menggebah kudanya sambil berteriak-teriak memberi semangat bertempur pada orang-orangnya yang berlarian cepat sambil berteriak-teriak dan mengangkat senjata ke atas kepala.
Dan begitu mereka berada dalam jangkauan panah, seketika itu juga meluncur puluhan panah dari atas bangunan menyerupai benteng itu. Puluhan panah yang meluncur bagai hujan itu, tentu saja sukar dibendung lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, disusul bergelimpangannya tubuh-tubuh terpanggang panah.
"Panah api, seraaang...!" seru orang berjubah biru memberi perintah.
Wusss...!
Panah-panah api seketika itu juga berhamburan ke arah bangunan benteng. Tentu saja serangan yang dilancarkan secara cepat dan hampir bersamaan, sama sekali tidak diduga orang-orang yang berada di dalam benteng. Mereka berusaha menghancurkan panah-panah api. Tapi beberapa di antaranya lolos dari sergapan, dan langsung masuk ke dalam lingkungan benteng.
Api langsung berkobar di dalam benteng, membuat orang-orang yang berada di dalamnya jadi kalut. Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, terus merangsek semakin dekat. Sedangkan laki-laki tua berjubah biru sudah mempersiapkan orang-orangnya untuk menyerang. Dan begitu Prabawa sampai di depan pintu benteng yang tertutup rapat itu, tiba-tiba....
"Seraaang...!"
Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur seketika itu juga terdengar menggemuruh, memecah kesunyian lembah ini. Entah berapa puluh orang bersenjata terhunus berhamburan bagai air bah yang jebol tanggulnya, menerjang bangunan bagai benteng itu. Sementara, panah-panah dari atas benteng tidak lagi segencar tadi. Beberapa dari mereka juga melepaskan panah-panah, baik yang berapi maupun tidak.
Tampak beberapa tubuh terjatuh dari atas dengan tubuh terpanggang anak panah. Sementara Prabawa dan sisa-sisa anak buahnya, berusaha menjebol pintu benteng dengan sebuah gelondongan kayu berukuran cukup besar.
Dan di atas benteng, laki-laki berjubah putih yang didampingi anak gadisnya, terus sibuk mengatur murid-muridnya mempertahankan benteng itu. Sedangkan penghuni benteng yang rata-rata masih berusia muda, sebagian berusaha memadamkan api, dan sebagian lagi mencoba membalas serangan-serangan dari luar dengan hujan panah.
Pekik dan teriakan pertempuran berbaur menjadi satu, membuat lembah yang semula sunyi tenang itu bagai hendak runtuh. Tubuh-tubuh bersimbah darah tampak bergelimpangan, di antara kaki-kaki yang terus bergerak cepat mendekati bangunan benteng itu. Mereka seakan-akan tidak mempedulikan tubuh yang semakin banyak bergelimpangan di sekitarnya. Dan hujan anak panah masih saja berlangsung, meskipun tidak lagi banyak seperti tadi. Beberapa pemanah di atas benteng sudah tak bernyawa lagi, tertembus panah balasan dari luar benteng.
"Mereka sudah kehabisan panah, Ayah," jelas gadis berbaju merah muda memberi tahu.
"Hm..."
"Api juga semakin besar," sambungnya lagi.
Orang tua berjubah putih panjang itu hanya diam saja. Sikapnya juga kelihatan gelisah, terlebih lagi pintu benteng ini sudah hampir jebol. Hingga akhirnya....
Brak!
Pintu yang terbuat dari kayu tebal itu akhirnya hancur juga. Maka, orang-orang yang dipimpin Prabawa segera berhamburan masuk ke dalam benteng. Tapi, mereka langsung disambut pemuda-pemuda di dalam benteng yang memang sudah siap. Sehingga, pertempuran pun tak dapat dihindari lagi. Bahkan semakin banyak saja yang masuk ke dalam benteng itu. Sehingga, mereka yang berada di atas benteng jadi berlompatan turun.
Jerit dan pekik melengking tinggi semakin sering terdengar. Tubuh-tubuh tampak sudah mulai bergelimpangan berlumuran darah. Sementara api semakin besar berkobar di dalam benteng. Jumlah orang yang menyerang memang lebih banyak, sehingga penghuni benteng yang rata-rata masih berusia muda tak sanggup lagi membendung serangan.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja orang tua berjubah biru melompat naik ke atas benteng. Dengan gerakan ringan dan indah sekali, dia hinggap sekitar tiga langkah di depan orang tua berjubah putih. Langsung tombak pendeknya yang bermata dua dikebutkan.
Bet! "Uts!"
Laki-laki tua berjubah putih itu cepat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga serangan itu dapat dihindari. Dua orang tua itu langsung terlibat dalam pertarungan sengit di atas benteng. Sementara, gadis berbaju merah muda sudah terjun dalam kancah pertempuran. Gerakan-gerakannya begitu cepat dan gesit. Amukannya bagai banteng betina. Setiap kebutan pedangnya selalu menimbulkan korban nyawa. Tapi, karena jumlah lawan banyak, memang sukar ditandingi. Sehingga, penghuni benteng itu semakin terdesak saja. Dan sudah tidak terhitung lagi yang ambruk tak bernyawa.
"Aaa...!" tiba-tiba saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi dari atas benteng.
"Ayah...!" gadis cantik berbaju merah muda menjerit keras ketika melihat ayahnya yang berjubah putih terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang berlumuran darah.
Dan saat itu, orang tua berjubah biru sudah melepaskan satu tendangan keras yang mendarat telak di dada berlumuran darah itu. Tak pelak lagi, laki-laki tua berjubah putih itu terpental jatuh dengan keras sekali ke bawah. Tubuhnya menghantam beberapa gelondong kayu yang bertumpuk hingga hancur berentakan.
"Ayah...! " jerit gadis berbaju merah muda itu. Cepat gadis itu melompat menghampiri ayahnya yang tergeletak di antara kepingan kayu. Kepala ayahnya diangkat dan diletakkan ke pahanya.
"Ayah...." agak tercekat suara gadis itu.
"Cepat, selamatkan dirimu. Kau harus selamat, Swani... Kau harus bisa membalas" ujar orang tua berjubah putih itu terbata-bata.
"Ayah..."
"Kau tidak boleh mati di sini, Swani. Cepatlah pergi. Akh!"
"Ayah...!"
Gadis yang dipanggil Swani itu memeluk ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi. Sementara pertarungan masih terus berlangsung, walau kelihatannya para penyerang sudah dapat menguasai benteng secara penuh. Jeritan-jeritan kematian masih saja terdengar saling sambut.
Swani perlahan bangkit berdiri. Sebentar diperhatikannya pertarungan itu, kemudian melompat cepat ke pintu. Tapi seorang yang menunggang kuda rupanya melihat gadis itu hendak kabur. Maka kudanya cepat digebah hendak mengejar.
"Heyaaa...!"
Sayang gerakan kudanya kalah cepat daripada lompatan Swani. Sehingga, gadis itu berhasil mencapai luar benteng, dan terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan benteng yang semakin habis terbakar. Sedangkan penunggang kuda yang mengejarnya, hanya bisa mengumpat melihat buruannya sudah demikian jauh dan tak mungkin lagi dikejar.
"Setan...! Jangan diam saja! Kejar dia, Braga...!" sebuah suara keras menggelegar, terdengar dari atas benteng.
Penunggang kuda yang dipanggil Braga itu menoleh ke atas sebentar. Setelah tahu siapa yang mengeluarkan suara itu, cepat kudanya digebah untuk mengejar Swani yang sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Kudanya dipacu cepat seperti kesetanan, sehingga tubuhnya tampak terguncang-guncang.***
Sementara itu, Swani sudah cukup jauh meninggalkan benteng di tengah-tengah lembah. Gadis itu berhenti setelah merasakan tidak ada seorang pun yang mengejar. Napasnya tersengal, dan kedua matanya dipenuhi linangan air bening. Beberapa kali air matanya disusut dengan punggung tangan. Dari tempat yang cukup tinggi ini, dia bisa melihat jelas benteng di tengah-tengah lembah itu yang semakin hancur. Asap hitam membumbung tinggi, dan api semakin besar berkobar melahap bangunan itu.
"Ayah...," desis Swani lirih, agak tersendat suaranya. "Maafkan aku, Ayah. Aku tidak bisa membawamu keluar dari sana."
Swani terus memandangi benteng yang semakin hancur terbakar. Tampak puluhan orang mengelilingi benteng. Kalau dia dapat mendengar, pasti mereka tengah bersorak-sorai bergembira atas kemenangan itu. Swani menarik napas dalam-dalam, dan mengeringkan air mata dengan selembar saputangan dari kain sutra halus berwarna merah muda.
"Aku harus membalas kematianmu. Ayah. Akan kubunuh mereka satu persatu," tekad Swani.
Tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah di depan gadis itu. Dan tahu-tahu, sekitar dua tombak di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Sebatang tombak panjang berwarna merah darah, tergenggam di tangannya. Swani tahu, orang itulah yang tadi berusaha mencegahnya keluar dari benteng.
"Rupanya tidak sulit mengejarmu, Bocah Ayu," ujar laki-laki yang bernama Braga.
"Hm..." Swani menggumam. Sorot matanya tajam, penuh kebencian dan dendam yang membakar di dada. Perlahan gadis itu menarik keluar pedangnya, dan digenggam erat-erat melintang di depan dada.
"Kau juga harus mampus seperti yang lain, Bocah! Hiyaaat..!"
Cepat sekali Braga melompat menyerang. Tombaknya yang berwarna merah bagai berlumur darah ditusukkan ke arah dada Swani. Tapi dengan gerakan manis sekali, gadis itu berkelit menghindar. Bahkan dengan kecepatan luar biasa, pedangnya di kebutkan untuk membalas serangan itu.
Bet! "Ups!"
Braga cepat-cepat menarik dirinya ke belakang, sehingga tebasan pedang Swani tidak sampai mengenai tubuhnya. Dan kembali tombaknya dihentakkan cepat sambil melompat ke atas. Swani membanting tubuhnya ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka ujung tombak Braga hanya menancap di tanah kosong. Pada saat itu, Swani cepat melompat bangkit. Langsung diberikannya satu tendangan menyamping yang keras dan menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" Braga memekik keras begitu punggungnya terkena tendangan keras gadis itu. Laki-laki itu terhuyung-huyung ke depan, lalu cepat-cepat mencabut tombaknya yang menancap di tanah. Tubuhnya kemudian cepat berputar sambil mengebutkan tombaknya. Tapi Swani lebih cepat lagi melentingkan tubuh ke udara. Bahkan pedangnya kembali bergerak cepat berkelebat ke arah kepala laki-laki separuh baya itu.
"Hih!"
Tak ada lagi kesempatan bagi Braga untuk berkelit menghindar. Maka cepat tongkatnya diangkat untuk menangkis tebasan pedang gadis itu. Dua senjata seketika beradu keras di atas kepala Braga.
Trak!
"Heh...?!"
Lagi-lagi Braga terkejut, begitu mendapati kenyataan yang tidak diduga sama sekali. Ternyata tombak kebanggaannya terpenggal jadi dua bagian. Sungguh tidak disangka kalau gadis ini memiliki kepandaian dan kekuatan luar biasa. Dan sebelum keterkejutannya menghilang, mendadak saja Swani sudah memberi satu serangan lagi dengan pedangnya.
"Hiyaaat!"
Wuk!
Cras!
"Akh...!"
Untuk kedua kalinya Braga memekik keras agak tertahan. Darah seketika muncrat keluar dari bahunya yang terbabat ujung pedang Swani. Kembali rubuh Braga terhuyung-huyung ke belakang. Tapi sebelum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Swani sudah kembali bergerak cepat.
"Hiyaaat..!"
Gadis itu melompat cepat bagaikan kilat. Pedangnya tertuju lurus, dan langsung ditusukkan ke dada lawan. Sedangkan Braga sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan begitu gencar dan dahsyat Laki-laki separuh baya itu hanya dapat mendelik, dan....
Crab! "Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri perlawanan Braga. Pedang Swani menembus dadanya begitu dalam, rangga tembus ke punggung. Swani mencabut pedangnya dari tubuh laki-laki setengah baya itu. Sebentar Braga bisa berdiri dengan sorot mata seakan tidak percaya, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari dada yang berlubang akibat tusukan pedang Swani.
"Huh! Kau pikir mudah menaklukkan aku, Keparat..?!" dengus Swani sengit.
Cring!
Sambil menghembuskan napas kencang, Swani memasukkan kembali pedangnya ke dalam warangka di punggung. Sebentar dipandanginya Braga yang masih berkelojotan meregang nyawa. Kemudian laki-laki setengah baya itu mengejang kaku, lalu diam tak berkutik lagi.
"Teman-temanmu akan segera menyusul. Keparat..!" desis Swani terselimut dendam di hatinya.
Gadis itu masih memandangi Braga yang sudah tidak bernyawa lagi, kemudian mengalihkannya ke arah lembah. Tampak asap hitam dan tebal masih membumbung tinggi ke angkasa dari bangunan benteng yang terbakar habis. Sementara, orang-orang yang menghancurkan benteng di lembah itu sudah tidak terlihat lagi di sana. Swani tidak tahu, ke mana mereka pergi. Tapi dia tidak mau gegabah pergi ke sana. Kembali ditatapnya Braga yang tergeletak tak bernyawa lagi di dekatnya.
"Mereka pasti akan datang ke sini. Hm.... Aku harus mencari tempat yang aman dulu," gumam Swani perlahan.
Bagaikan kilat, gadis itu cepat melesat pergi masuk ke dalam hutan yang cukup lebat. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki. Sehingga dalam sekejapan saja, Swani sudah lenyap tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.***
KAMU SEDANG MEMBACA
59. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Goa Ular
ActionSerial ke 59. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.