BAGIAN 2

644 29 0
                                    

Entah sudah berapa lama Swani berlari menembus lebatnya hutan. Sampai hari gelap, gadis itu baru berhenti berlari. Dan kini punggungnya disandarkan di sebatang pohon yang cukup besar. Napasnya terengah-engah, dan keringat bercucuran deras membasahi sekujur tubuhnya. Kemudian Swani mengedarkan pandangan ke sekeliling. Hanya kegelapan saja yang ada di sekitarnya. Begitu pekat, sehingga tidak bisa melihat jarak jauh. Terlebih lagi, disekitarnya kabut begitu tebal. Sehingga, menimbulkan udara dingin yang menggigilkan tubuh.
"Hhh...!"
Swani sedikit menggigil begitu angin dingin menerpa. Tubuhnya semakin dirapatkan ke pohon yang cukup besar itu, untuk melindungi diri dari terpaan angin yang begitu dingin menggigilkan. Tiba-tiba saja tatapan matanya tertumbuk lurus ketika kepalanya berpaling ke kanan. Kelopak matanya agak menyipit, agar bisa lebih Jelas lagi melihat di dalam kegelapan malam yang begitu pekat.
"Goa...?!" desis Swani begitu bisa memastikan.
Perlahan gadis itu mengayunkan kakinya, melangkah mendekati mulut goa yang dilihatnya agak samar-samar tadi. Mata gadis itu semakin menyipit begitu mulut goa yang cukup besar ukurannya sudah terlihat jelas di depannya. Benar-benar sebuah mulut goa yang berukuran besar. Malam yang begitu gelap, membuat goa itu kelihatan hitam, bagai menyimpan sejuta teka-teki dan bahaya yang siap mengancam.
"Jangan ragu-ragu, masuklah. Cukup hangat di dalam sini."
"Heh...?!"
Swani tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema berat dari dalam goa di depannya. Gadis itu jadi tertegun, mencoba memastikan kalau suara yang barusan didengarnya bukan khayalan belaka. Tapi suara yang datang memang dari dalam goa ini.
"Kau tidak perlu ragu, Nisanak. Di luar begitu dingin, dan sebentar lagi akan turun hujan. Kau bisa mati kedinginan kalau terus berada di luar sana," kembali terdengar suara yang bernada berat dan menggema.
"Oh...?! Siapa itu yang bicara? Apakah kau manusia...?" agak bergetar suara Swani.
"Hanya manusia yang bicara, Nisanak. Masuklah. Kau perlu tempat berlindung, bukan...?"
"Eh...?!" lagi-lagi Swani terkejut.
Dan belum lagi lenyap rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja dari dalam goa itu melesat sebuah bayangan putih yang begitu cepat bagaikan kilat. Tahu-tahu, di depan Swani sudah berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Rambutnya juga sudah memutih semua. Janggutnya yang panjang, menyatu dengan kumis. Juga sudah berwarna putih bagai kapas. Bibir yang hampir tertutup kumis, menyunggingkan senyum manis dan ramah. Sinar matanya begitu bening dan sejuk, bagaikan bola mata seorang bayi yang baru dilahirkan.
Swani memandangi tanpa berkedip. Dia seperti tidak percaya dengan pandangan matanya sendiri. Seekor ular belang yang melilit di tangannya membuat Swani saat itu juga bisa mengenali, siapa laki-laki tua berjubah putih yang baru keluar dari dalam goa itu. Dan semua orang dari kalangan persilatan, pasti mengenalnya. Karena, orang tua itu memang sudah dikenal di kalangan persilatan sebagai Pertapa Goa Ular. Swani hampir tidak percaya kalau sekarang ini berada di depan Goa Ular.
"Terimalah salam hormatku, Eyang," ucap Swani seraya membungkukkan tubuh memberi hormat.
"Bocah bagus. Aku terima salam hormatmu," sambut Pertapa Goa Ular lembut "Kenapa kau tadi ragu-ragu. Anak Manis?"
"Maafkan aku. Eyang. Aku harus berhati-hati pada setiap undangan yang tidak kukenal," sahut Swani memberi alasan.
"Sikap yang bagus," puji Pertapa Goa Ular. "Nah! Sekarang, maukah kau menerima undanganku? Sudah cukup lama aku tidak kedatangan tamu."
"Terima kasih. Eyang. Kalau tidak merepotkan, dengan senang hati undanganmu kuterima," sahut Swani.
Tentu saja Swani senang mendapat undangan dari seorang tokoh tua yang sakti dan sangat disegani di kalangan rimba persilatan ini. Meskipun baru kali ini bertemu, tapi cerita tentang Pertapa Goa Ular sudah sering didengarnya. Bahkan ayahnya sering menceritakannya hampir setiap saat.
"Mari, masuklah. Sebentar lagi hujan akan turun," ajak Pertapa Goa Ular ramah.
"Terima kasih," ucap Swani.
Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam goa ini. Swani sempat mendongakkan kepala ke atas. Langit malam ini memang begitu pekat, terselimut awan hitam tebal. Dan begitu mereka berada di dalam goa, hujan langsung jatuh turun bagai ditumpahkan dari langit. Begitu derasnya, membuat suara menggemuruh bagai hendak meruntuhkan seluruh jagat raya.
Swani jadi bergidik saat sudah berada di dalam goa yang cukup terang dan hangat ini. Tak ada api di dalam goa ini, tapi keadaannya cukup terang. Hal ini disebabkan batu-batu di sekitar goa ini mengeluarkan cahaya bagaikan intan. Yang membuat Swani bergidik, bukan batu-batu yang mengeluarkan cahaya itu. Melainkan, sekitar goa ini dipenuhi ular dari berbagai jenis. Dan kebanyakan dari jenis ular berbisa!
Binatang-binatang melata itu mendesis saat melihat Swani, tapi tak ada seekor pun yang bergerak. Mereka semua diam hanya memandangi gadis itu saja. Bau amis yang memualkan langsung menyeruak, menyengat hidung. Swani mencoba bertahan, meskipun perutnya mendadak jadi begitu mual.
"Silakan duduk, Nisanak," Pertapa Goa Ular mempersilakan dengan ramah.
"Terima kasih," ucap Swani perlahan, hampir tidak terdengar suaranya.
Mereka kemudian duduk bersila saling berhadapan. Sebongkah batu pipih berwarna putih dan mengeluarkan cahaya kemilau, menjadi pembatas di antara mereka. Ular belang yang melingkar di tangan kanan Pertapa Goa Ular itu berpindah, dan melingkar di atas batu pipih bercahaya kemilau itu.
Sementara hujan di luar semakin deras saja. Meskipun angin yang berhembus menerobos masuk ke dalam goa ini begitu kencang, tapi Swani sama sekali tidak merasakan dingin. Padahal, angin itu menerpa tubuhnya demikian kuat. Di hatinya, memang masih terselip keanehan.
Di dalam goa ini keadaannya begitu terang, tapi sama sekali tidak terlihat cahayanya dari luar. Goa ini kelihatan gelap gulita dari luar sana. Dan Swani juga merasa heran pada dirinya sendiri, karena tidak lagi merasa mual. Bahkan jadi tidak peduli meskipun di sekitarnya begitu banyak ular dari berbagai jenis. Padahal, tadinya dia paling jijik melihat ular.
"Aku melihat ada guratan kedukaan di matamu...," tebak Pertapa Goa Ular memecah kesunyian yang terjadi di antara mereka. "Bahkan detak jantungmu, dengus napasmu, aliran darahmu juga memancarkan suatu gejolak dendam. Kalau boleh kutahu, kenapa kau bisa berada di depan goa ini tadi?"
"Maaf, Eyang. Mungkin aku mengganggu istirahatmu. Tapi, aku sama sekali tidak sengaja. Bahkan aku tidak tahu kalau tadi berada di depan tempat tinggalmu ini," sahut Swani.
"Kau lari dari seseorang, Nisanak?" tanya Pertapa Goa Ular lagi.
"Benar, Eyang. Bukan hanya satu orang. Tapi banyak," jawab Swani berterus terang.
"Hm...," gumam Pertapa Goa Ular perlahan. Sinar mata orang tua itu jadi tajam memperhatikan raut wajah gadis cantik di depannya. Sedangkan yang dipandangi hanya diam saja, agak tertunduk. Sungguh Swani tak sanggup menentang sinar mata orang tua itu. Begitu tajam, dan memancarkan sinar yang sangat kuat. Rasanya memang sulit ditentang.
"Ceritakan, apa yang terjadi pada dirimu sehingga sampai ke sini," pinta Pertapa Goa Ular.
Tanpa diminta dua kali, Swani menceritakan semua peristiwa yang terjadi Juga, disebutkannya beberapa nama yang menyerang tempat tinggalnya. Sampai ayahnya tewas, dan dia terpaksa lari dari lembah itu. Dia juga tidak tahu, kenapa laki-laki tua berjubah biru menyerang dan menghancurkan padepokan ayahnya.
Sementara itu Pertapa Goa Ular mendengarkan semua cerita Swani penuh perhatian. Sedikit pun cerita itu tidak diselak, sampai Swani selesai. Bahkan orang tua itu masih tetap diam, meskipun Swani sudah selesai dengan ceritanya.
Sampai beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam. Dan Swani memang tidak punya bahan lagi untuk diceritakan. Semua yang diketahuinya sudah diceritakannya. Tak ada yang dikurangi, bahkan sedikit pun tidak ada yang ditambah. Semua yang dikatakan sama persis dengan kejadian sebenarnya.
"Hm.... Jadi kau putri tunggal Ki Sanggala, Ketua Padepokan Pedang Perak...?" pelan sekali suara Pertapa Goa Ular.
"Benar, Eyang," sahut Swani.
"Sudah lama pertentangan antara ayahmu dengan Eyang Gorak si Iblis Tombak Baja kudengar. Hmm...! Tidak kusangka kalau dia bisa mengumpulkan tokoh-tokoh persilatan untuk menghancurkan padepokan ayahmu," desah Pertapa Goa Ular.
"Aku sendiri tidak tahu, Eyang. Apa yang diinginkan Eyang Gorak, sampai-sampai begitu tega membumi-hanguskan padepokan ayahku. Bahkan tak seorang murid pun yang dibiarkan hidup. Mereka semua dibantai habis, dan Padepokan Pedang Perak juga dibakar hangus." jelas Swani lagi.
"Pertentangan itu sudah ada sejak mereka sama-sama masih muda. Dan sebenarnya pula, mereka berasal dari satu perguruan. Tapi, memang tidak semua orang dalam satu perguruan bisa punya jalan sama. Jadi tidak heran hal seperti itu sering terjadi. Perselisihan yang panjang, bahkan tidak jarang diakhiri oleh pertumpahan darah," kembali Pertapa Goa Ular menggumam perlahan.
"Pertentangan apa, Eyang?" tanya SwanJ yang memang tidak tahu.
"Perempuan," sahut Pertapa Goa Ular.
"Perempuan...?!"
"Ya! Guru mereka punya anak gadis yang cantik. Mereka memperebutkannya. Tapi, ayahmulah yang beruntung hingga mereka menikah dan kau lahir. Hm..., rupanya Iblis Tombak Baja masih juga menyimpan dendam pada ayahmu," kata Pertapa Goa Uar menjelaskan dengan singkat.
"Aku harus membalas, Eyang," tegas Swani penuh semangat.
"Kau tidak akan mampu menandingi iblis Tombak Baja, Anakku. Kepandaian yang kau miliki sekarang ini, belum ada seujung kukunya. Terlebih lagi, sekarang dia memiliki senjata yang sangat ampuh dan sulit dicari tandingannya. Hm.... Dia sudah berhasil menumpas penghalang utamanya. Pasti dia akan semakin merajalela dengan para begundalnya."
Swani jadi terdiam. Memang kepandaian yang dimilikinya sekarang ini tidak seberapa bila dibanding Eyang Gorak yang dikenal di kalangan persilatan berjuluk Iblis Tombak Baja. Bahkan ayahnya sendiri tidak mampu menandinginya. Si Iblis Tombak Baja jadi begitu tangguh dan digdaya setelah mendapatkan senjata tombak pendek bercabang dua pada kedua ujungnya. Senjata itu memang sangat dahsyat, dan sukar dicari tandingannya saat ini. Terlebih lagi Iblis Tombak Baja sudah menyempurnakan ilmu olah kanuragan dan kesaktiannya.
Bahkan untuk menandingi kaki tangan si Iblis Tombak Baja yang berjumlah lima orang saja, mungkin Swani tidak akan mampu. Gadis itu jadi termenung menyadari keterbatasan yang ada pada dirinya. Kalaupun harus bertindak nekat, pasti hanya akan mengantarkan nyawa sia-sia saja. Dan ini pasti tidak diinginkan mendiang ayahnya yang tewas di tangan si Iblis Tombak Baja.
"Seberapa besar keinginanmu untuk menumpas mereka, Anakku?" tanya Pertapa Goa Ular memecah kesunyian lagi.
"Nyawa pun akan kupertaruhkan, Eyang." sahut Swani mantap.
"Dengan kepandaian yang kau miliki sekarang, rasanya akan sia-sia saja. Bahkan aku tidak yakin kau bisa bertemu Iblis Tombak Baja. Dan kau pasti sudah tewas dibantai kaki tangannya yang pasti berkepandaian lebih tinggi darimu." jelas Pertapa Goa Ular lagi.
"Mereka memang pesilat-pesilat tangguh. Eyang," pelan sekali suara Swani. "Ada lima orang yang sulit kutandingi. Sedangkan yang lainnya, mungkin bisa kuatasi."
"Aku percaya, ayahmu pasti sudah membekalimu lebih dari cukup. Tapi, itu saja tidak cukup untuk memenuhi keinginanmu, Anakku. Kau harus membekali dirimu lebih mantap lagi," tegas Pertapa Goa Ular.
"Maksud, Eyang...?" tanya Swani tidak mengerti.
"Sebenarnya, aku juga ingin meninggalkan goa ini. Aku sendiri sudah muak melihat sepak terjang Ibtis Tombak Baja. Tapi, aku sudah terlalu tua untuk kembali terjun dalam kehidupan yang keras. Aku bermaksud mengundurkan diri dari dunia persilatan. Hanya saja, aku tidak ingin pergi begitu saja tanpa berbuat sesuatu yang bisa melanjutkan harapan dan keinginanku," jelas Pertapa Goa Ular lagi.
Swani terdiam. Dalam hatinya, dia menduga-duga maksud ucapan pertapa tua ini. Memang sudah lebih dari dua tahun ini Pertapa Goa Ular tidak lagi terdengar kabar beritanya lagi. Bahkan banyak orang di kalangan persilatan yang merasa kehilangan dengan ketidakmunculan pertapa tua ini.
"Selama ini, tak ada seorang pun yang tahu tempat tinggalku. Bertahun-tahun aku di sini, dan baru seorang saja yang mengunjungiku. Itu pun sudah lebih tiga purnama yang lalu. Dan orang kedua yang datang adalah kau, Swani," lanjut Pertapa Goa Ular.
Swani masih tetap diam.
"Sebenarnya, aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku padanya. Tapi ternyata dia lebih tangguh dariku, meskipun usianya jauh lebih muda dariku." jelas Pertapa Goa Ular lagi.
Sedangkan Swani masih tetap diam.
"Semula aku sudah putus asa. Tapi, rupanya Dewata mengabulkan juga permohonanku. Kau datang ke sini mungkin atas petunjuk Dewata, Swani."
"Oh...?!" Swani jadi terlongong tidak menyangka. Sama sekali tidak diduga kalau pada akhirnya Pertapa Goa Ular akan berkata demikian. Tidak pernah dibayangkan, apalagi memimpikan bisa menjadi murid Pertapa Goa Ular ini. Malah memimpikan untuk bertemu saja, rasanya belum pernah. Tapi saat didengarnya kalau orang tua yang sudah ternama di kalangan persilatan ini hendak mengangkatnya jadi murid. Swani seakan-akan tengah bermimpi.
"Aku harap kau bersedia menerima warisan ilmu-ilmuku, Swani," ujar Pertapa Goa Ular.
"Oh...! Apakah aku pantas menjadi muridmu. Eyang...?" Swani masih tidak percaya.
"Kau sudah memiliki ilmu olah kanuragan dari ayahmu. Aku rasa, tidak ada kesulitan bagiku untuk menurunkan ilmu-ilmuku padamu, Swani. Aku yakin, tidak lebih dari tiga tahun kau sudah bisa menguasai sebagian ilmu-ilmuku. Paling tidak, kau bisa menguasai beberapa jurus dan ilmu kesaktian pamungkasku," tegas Pertapa Goa Ular begitu yakin.
"Oh... Terimalah sembah hormatku. Eyang," Swani langsung membungkuk, menempelkan keningnya di lantai goa dari batu yang dingin dan keras ini.
Pertapa Goa Ular tersenyum senang melihat kesediaan Swani menjadi muridnya. Tangannya kemudian terulur, dan mengusap kepala gadis itu. Tiba-tiba saja dari telapak tangannya mengepulkan asap putih agak kebiruan. Saat itu juga, Swani merasakan tubuhnya bagai tersiram air yang begitu sejuk, merasuk dari ubun-ubun kepalanya.
"Bangunlah, Anakku." ujar Pertapa Goa Ular.
Perlahan Swani mengangkat tubuhnya, dan kembali duduk bersila. Namun kepalanya masih tetap tertunduk. Hati gadis itu begitu bahagia, karena tidak menyangka akan diangkat menjadi murid seorang tokoh sakti dan digdaya seperti Pertapa Goa Ular ini. Ternyata, pelariannya ini membawa suatu keberuntungan yang tidak pernah dibayangkan selama hidupnya.
"Istirahatlah sekarang. Besok, kau harus sudah mulai berlatih," ujar Pertapa Goa Ular lagi.
"Baik, Eyang," sahut Swani hormat.

***

Setiap hari, Swani digembleng dengan latihan-latihan berat dan menguras tenaga. Tapi, gadis itu menjalaninya penuh semangat, sehingga membuat Pertapa Goa Ular jadi senang melihat kesungguhannya dalam menerima setiap ilmu yang diturunkan. Bahkan bila malam hari. Swani tekun mempelajari kitab-kitab yang ada di Goa Ular. Hampir semua kitab yang ada, sudah dibacanya.
Bahkan Swani bukan hanya menerima ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian saja. Tapi juga mengurus segala kebutuhan Pertapa Goa Ular itu. Sehingga, orang tua itu semakin bertambah senang dan sayang. Dia tidak lagi harus bersusah payah mencari makanan dan segala kebutuhannya, karena semua sudah disediakan Swani. Pagi hari, sebelum orang tua itu bangkit, Swani sudah menyiapkan makanan untuknya. Gadis itu bukan saja menganggap Pertapa Goa Ular sebagai gurunya, tapi juga menganggap sebagai pengganti ayahnya.
Entah sudah berapa lama Swani tinggal bersama Pertapa Goa Ular. Dia sama sekali tidak menghitung hari. Dan duka yang diderita atas kematian ayahnya pun sudah terhapus dari hatinya. Bahkan dendamnya juga seperti terlupakan terhadap Iblis Tombak Baja yang membunuh ayahnya, membakar hangus padepokan, dan membantai semua murid-murid Padepokan Pedang Perak.
Swani begitu tekun mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkan Pertapa Goa Ular. Tapi, apa benar Swani melupakan semuanya...? Tidak! Gadis itu tidak lupa. Ternyata di hatinya tetap tersimpan api dendam. Dan dia tetap bertekad membalas kematian ayahnya pada saatnya nanti. Hanya saja dia tidak tahu, kapan saat pembalasan itu datang. Seperti hari ini, tanpa bimbingan Pertapa Goa Ular pun, Swani tetap berlatih keras. Tapi tiba-tiba saja latihannya dihentikan ketika mendengar ledakan dahsyat.
"Ledakan apa itu...?" desah Swani bertanya sendiri.
Tampak asap hitam mengepul di udara dari pucuk-pucuk pepohonan. Sesaat Swani tertegun. Tampaknya asap hitam itu datang dari arah goa tempat tinggal Pertapa Goa Ular. Maka, seketika kecemasan menyelinap ke hatinya.
"Hup!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Swani langsung melesat cepat bagaikan kilat begitu teringat kalau Pertapa Goa Ular saat ini sedang bersemadi di dalam goa. Selama berada dalam bimbingan Pertapa Goa Ular. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Swani memang semakin meningkat pesat. Sehingga, gadis itu bisa berlari secepat kijang. Bahkan kedua kakinya bergerak cepat bagai tidak menyentuh tanah sama sekali. Sebentar saja Swani sudah sampai di depan mulut Goa Ular. Gadis itu jadi tertegun melihat goa itu runtuh, bahkan bongkahan-bongkahan batu menyumbat mulut goa berukuran besar itu. Api tampak berkobar melahap pepohonan di sekitar goa.
"Eyang...," desis Swani.
Bergegas gadis itu berlari menghampiri goa yang runtuh. Swani berhenti setelah dekat dengan mulut goa yang hampir tertutup bongkahan batu. Sementara api di sekitarnya semakin besar saja berkobar menimbulkan asap tebal menghitam pekat, membuat napas gadis itu jadi sesak.
"Eyang...!" panggil Swani sekuat kuatnya. Tak ada sahutan sama sekali. Swani bergegas mengangkat bongkahan batu yang menutupi mulut goa itu. Satu persatu batu-batu sebesar domba itu dilemparkannya. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam yang dimiliki, batu-batu yang berat itu dapat diangkatnya dengan mudah. Cepat sekali gadis itu bekerja, sehingga sebentar saja sudah terbentuk celah yang cukup besar untuk masuk.
"Hup!"
Swani langsung melompat masuk ke dalam goa itu. Tapi hatinya jadi tertegun, karena tidak mendapatkan apa-apa di dalamnya. Gadis itu hanya mendapatkan bangkai-bangkai ular saja yang sudah hangus seperti terbakar, tersebar hampir memenuhi lorong goa ini. Swani mengedarkan pandangan dengan tajam. Asap yang memenuhi goa ini agak menghambat pandangannya.
"Eyang...!" panggil Swani.
Suara Swani menggema terpantul dinding goa. Tapi hanya suaranya saja yang terdengar, dan tak ada sahutan sama sekali. Perlahan Swani mengayunkan kakinya. Dia sudah hafal betul seluk beluk goa ini. Bahkan tidak sedikit pun merasa gentar kalau di dalam goa ini dipenuhi ular. Tapi ular-ular itu sudah jadi bangkai, hangus bagai terbakar. Swani memeriksa setiap lorong goa, namun tetap saja tidak menemukan Perupa Goa Ular.
Swani bergegas kembali keluar begitu mendengar suara berderak. Dan ketika berada di luar, seluruh atap dan dinding goa itu runtuh, hingga tanah yang dipijaknya jadi bergetar. Suaranya begitu bergemuruh, bagai letusan gunung berapi yang mengamuk kelebihan lahar. Swani melentingkan tubuhnya berputaran beberapa kali ke belakang. Asap semakin banyak menggumpal di sekitarnya. Dan api juga semakin besar berkobar membakar hutan di sekitar Goa Ular ini.
"Heh...?!" Swani tersentak kaget ketika kakinya menjejak tanah kembali. Hampir saja seekor ular belang terinjak kakinya. Cepat dia melompat sehingga ular belang itu tidak sampai terinjak kakinya. Swani bergegas membungkuk mengambil ular yang dikenalinya sebagai peliharaan Pertapa Goa Uar.
"Belang..., kenapa kau?" tanya Swani. Tentu saja ular itu tidak basa menjawab. Swani memperhatikan beberapa saat. Sementara ular belang hitam kuning itu menggeliatkan tubuhnya. Swani kembali menaruh ular belang itu ke tanah. Sebentar ular belang itu menoleh menatap Swani, kemudian merayap cepat.
"Mau ke mana kau. Belang...?" tanya Swani. Bergagas Swani mengikuti ular belang itu yang merayap cukup cepat, tidak seperti ular-ular lainnya. Gadis itu terpaksa agak berlari-lari kecil mengikutinya. Ular itu terus merayap cepat menerobos semak belukar, hingga sampai di tempat yang cukup lapang dan berumput tebal.
"Oh...?!"

***

59. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Goa UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang