BAGIAN 3

685 25 0
                                    

Mata Swani jadi terbeliak begitu melihat banyak mayat bergelimpangan di sekitarnya. Darah berceceran di mana-mana, membuat udara yang sudah sesak ini semakin bertambah sesak. Swani meneliti beberapa mayat yang masih tampak hangat. Dia tahu, orang-orang ini belum lama mati.
"Hm.... Mereka orang-orangnya Iblis Tombak Baja," gumam Swani bisa mengenali.
Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling. Sementara ular belang peliharaan Pertapa Goa Ular sudah melingkar di tangan kanan gadis itu. Tapi, tiba-tiba saja ular itu jatuh ke tanah dan tidak bergerak-gerak lagi Swani jadi terkejut, dan cepat-cepat mengambil ular itu.
"Mati...?!"
Lagi-lagi Swani terbeliak mendapati ular belang itu sudah mati. Baru disadarinya kalau ada luka di tubuh ular ini. Perlahan ular itu diletakkan di tanah berumput, kemudian pandangannya kembali beredar berkeliling. Perlahan kakinya terayun melangkah, meneliti setiap mayat yang dijumpai.
"Di mana Eyang Pertapa...?" Swani jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Begitu banyak mayat bergelimpangan, tapi tak ada Pertapa Goa Ular di antara mayat-mayat ini. Swani terus mencari, tapi sampai matahari berada di atas kepala tetap saja tidak bisa menemukan Pertapa Goa Ular. Gadis itu berlompatan seperti tupai, naik ke atas bukit batu yang cukup tinggi. Dia baru berhenti setelah sampai di puncak bukit baru itu. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Pandangan gadis itu terpaku pada Goa Ular yang sudah runtuh. Tampak api masih berkobar semakin meluas melahap hutan ini.
"Kenapa dia sampai menjarah ke sini..? Apa sebenarnya yang diinginkan...?" lagi-lagi Swani bertanya pada diri sendiri.
Swani benar-benar tidak menyangka kalau Iblis Tombak Baja bisa mengejarnya sampai ke tempat ini. Bahkan sekarang Pertapa Goa Ular menghilang entah ke mana. Gadis itu kembali seorang diri tanpa ada yang bisa dijadikan sandaran dan pelindung lagi. Sedangkan Pertapa Goa Ular belum tuntas menurunkan ilmunya pada gadis ini.
"Apa yang harus kulakukan sekarang...?"
Perlahan Swani mengayunkan kakinya menuruni bukit batu itu. Dia terus berjalan perlahan-lahan merambah hutan yang lebat bagai tak bertepi ini. Otaknya terus bekerja, berpikir keras.
"Aku tahu, di mana Iblis Tombak Baja berada. Hm.... Dia akan kubuat pusing tujuh keliling. Iblis Tombak Baja..., tunggulah pembalasanku!" desis Swani agak menggeram. "Aku harus ke Bukit Menjangan. Di sanalah Iblis Tombak Baja tinggal."

***

Sementara itu jauh dari Hutan Goa Ular, tampak sebuah bukit menjulang tinggi yang tenang dan damai. Sebuah desa yang berdiri di kaki Bukit Menjangan itu juga bernama Desa Menjangan. Tidak terlalu besar, tapi penduduknya cukup padat. Dan suasananya selalu ramai, baik siang maupun malam. Seakan-akan desa itu tidak pernah tidur.
Seperti malam-malam sebelumnya, malam ini Desa Menjangan juga tampak ramai dan terang benderang. Tampak lampu-lampu dan cahaya obor terpasang di setiap sudut dan sepanjang jalan yang membelah desa itu. Kegembiraan begitu semarak, terlihat di wajah-wajah mereka. Laki-laki perempuan, tua muda, berbaur menjadi satu. Suara gelak tawa dan canda kelakar terdengar di mana-mana. Di jalan, di rumah-rumah, kedai, dan tempat-tempat hiburan atau rumah-rumah penginapan selalu terdengar gelak tawa dan canda kelakar.
"Belum pernah aku melihat suasana desa seperti ini, Kakang," ungkap seorang gadis muda berparas cantik mengenakan baju biru muda yang ketat.
Pemuda tampan berbaju putih tanpa lengan yang berkuda di sampingnya hanya tersenyum saja. Mereka berkuda perlahan-lahan sambil menikmati keramaian di desa ini. Tak seorang pun yang memperhatikan kedua pasangan muda itu. Semuanya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Mereka menghentikan langkah kaki kudanya di depan sebuah kedai yang cukup besar dan ramai oleh pengunjung.
Orang-orang keluar masuk kedai itu sambil berbincang dan tertawa-tawa. Kedua pasangan muda itu kemudian turun dari kudanya masing-masing. Seorang anak berumur sepuluh tahun menghampiri, dan langsung mengambil tali kekang kedua kuda dan menuntunnya ke tempat penambatan kuda. Sedangkan kedua pasangan muda itu terus melangkah masuk ke dalam kedai. Seorang laki-laki tua meng-hampiri mereka sambil terbungkuk-bungkuk hormat dan senyuman ramah tersungging di bibir.
"Silakan masuk, Den" ucap orang tua itu ramah.
"Terima kasih," ucap pemuda berbaju putih tanpa lengan. Juga ramah.
Mereka mengikuti orang tua itu yang menunjukkan jalan menuju meja kosong agak ke sudut. Orang tua itu mempersilakan kedua pasangan muda itu duduk, lalu menanyakan keinginan mereka datang ke sini.
"Tolong siapkan makanan dan minuman yang terbaik di sini," pinta pemuda berbaju putih tanpa lengan itu.
"Baik. Silakan menunggu sebentar," sahut laki-laki tua itu ramah.
Dia bergegas meninggalkan tamunya. Sedangkan gadis berbaju biru muda mengedarkan pandangan ke sekeliling. Cukup padat juga pengunjung kedai ini. Dan suasananya begitu bising, penuh gelak tawa dan canda kelakar. Pandangannya kemudian berhenti, terpaku pada dua orang laki-laki yang duduk tidak jauh darinya. Kedua laki-laki yang di punggung masing-masing menyandang pedang, tidak seperti pengunjung kedai lainnya. Mereka tampak begitu asyik berbicara dan hampir tak terdengar suaranya. Gadis itu jadi ingin tahu, apa yang dibicarakan. Maka pendengarannya ditajamkan, dan dipusatkan pada kedua laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun itu.
"Aku benar-benar tidak mengerti, kenapa tiba-tiba tua bangka itu lenyap. Padahal, semua anak buahku sudah rapat mengepungnya," jelas laki-laki yang mengenakan baju warna hijau daun dengan garis merah pada bagian dadanya.
"Kita terlalu meremehkannya, Kakang Banapati. Orang tua itu memang bukan orang sembarangan, meskipun sudah lama tidak lagi kedengaran namanya di dunia persilatan," laki-laki berbaju hitam menanggapi dengan sungguh-sungguh pula.
"Eyang Gorak pasti marah jika tahu si tua bangka itu belum mati, Jaran Kadung," kata laki-laki berbaju hijau yang dipanggil Banapati.
"Ah! Yang penting, dia tahunya si tua bangka itu sudah mati. Lihat saja tempat tinggalnya sudah rata dengan tanah. Persis sama dengan Padepokan Pedang Perak. Hm... Aku yakin, sebentar lagi Partai Tombak Baja akan menjadi partai terkuat di dunia. Kau lihat saja sendiri, semakin banyak partai-partai kecil yang bergabung," kata Jaran Kadung lagi.
"Benar! Dan persaingan di dalam pun semakin ketat saja. Bisa-bisa kita yang sudah lama, tergeser dari samping Eyang Gorak."
"Itu tidak mungkin? Kakang Banapati. Eyang Gorak sudah mengatakan kalau dia tidak akan mengadakan perubahan di dalam partai. Meskipun kedudukan kita di bawah lima orang pembantunya, tapi sudah cukup kuat dan memiliki anak buah sedikitnya lima puluh orang. Tak ada lagi tambahan, meskipun ada yang datang dengan kepandaian lebih tinggi. Dan orang yang baru datang, tetap saja menjadi bawahan. Aku yakin, Eyang Gorak selalu menepati ucapannya."
Mereka terdiam beberapa saat, dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sepertinya, mereka khawatir ada yang mendengarkan percakapan ini. Mereka sama-sama memandang pada pasangan muda yang duduk tidak jauh darinya. Tapi, gadis baju biru yang tadi mendengarkan percakapan itu sudah berpura-pura sibuk menikmati makanannya, sehingga tidak membuat kedua orang ini curiga.
"Kau lihat mereka, Kakang Banapati...?" pelan sekali suara Jaran Kadung.
"Ya! Tampaknya mereka bukan orang sini," sahut Banapati.
"Akan kutanyakan, apa mereka akan lama di sini atau hanya sekadar singgah saja," kata Jaran Kadung lagi seraya bangkit berdiri.
"Jangan gegabah, Jaran Kadung. Tampaknya mereka bukan orang-orang sembarangan. Lihat saja senjata yang disandang," Banapati memperingatkan.
"Kalau mereka macam-macam, mungkin pedangku bisa minum darah lagi," sahut Jaran Kadung.
Banapati hanya tersenyum saja. Sementara Jaran Kadung sudah melangkah menghampiri pasangan muda itu. Dia berdiri di samping meja, sedangkan pasangan muda itu sendiri tidak mempedulikan kehadirannya. Mereka tetap saja menikmati hidangan yang hampir memenuhi mejanya.
"Maaf, aku mengganggu sebentar," ucap Jaran Kadung mencoba bersikap ramah.
Pasangan muda itu menghentikan makannya. Perlahan mereka mengangkat kepala, menatap Jaran Kadung yang sudah berdiri dekat meja ini. Pemuda berbaju putih tanpa lengan itu menganggukkan kepala sedikit dan memberikan senyum ramah.
"Kalian baru datang ke Desa Menjangan ini?" tanya Jaran Kadung.
"Benar," sahut pemuda berbaju putih tanpa lengan.
"Berapa lama kalian berada di sini?" tanya Jaran Kadung lagi.
"Tidak tahu. Mungkin dua hari, tiga hari, atau mungkin juga satu bulan," sahut gadis berbaju biru, agak tidak peduli sikapnya.
"Kuharap kalian tidak terlalu lama di sini. Dan sebaiknya, besok pagi sudah tidak ada lagi di desa ini," tegas sekali suara Jaran Kadung.
"He...?! Kenapa...? Apakah kau kepala desa ini, dan tidak menginginkan ada pendatang di sini?" gadis berbaju biru itu jadi mendelik.
"Aku tidak ingin membuat masalah, Nisanak. Dan sebaiknya, kalian berdua tidak perlu banyak tanya. Desa ini sebenarnya tertutup bagi para pendatang. Dan jika kalian tidak mengindahkan peringatanku, maaf.... Kalian akan mendapat kesulitan di sini," nada suara Jaran Kadung terdengar mengancam.
"Kau tidak bisa mengancam kami, Kisanak," desis gadis itu.
"Kau terlalu cantik untuk disakiti, Nisanak. Hati-hatilah. Desa ini tidak akan ramah padamu," dengus Jaran Kadung dingin.
Setelah berkata demikian, Jaran Kadung berbalik dan melangkah kembali ke mejanya. Sedangkan gadis berbaju biru muda yang ketat hanya memandangi saja dengan sinar mata memancarkan ketidaksenangan. Gadis itu masih tetap memandangi sampai Jaran Kadung dan Banapati yang beranjak pergi meninggalkan kedai ini. Jaran Kadung sempat memberi senyuman sinis pada gadis itu.
"Huh! Belum apa-apa sudah ada yang ingin cari gara-gara," dengus gadis baju biru itu.
"Selesaikan saja makanmu, Pandan. Kita segera pergi dari sini," kata pemuda berbaju rompi putih.
"Hhh...! Selera makanku sudah hilang!"

59. Pendekar Rajawali Sakti : Dewi Goa UlarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang