BAGIAN 1

1K 31 0
                                    

Dua ekor kuda berpacu cepat menyusuri lereng Gunung Randu. Mereka adalah seorang pemuda berwajah tampan dan seorang gadis cantik. Baju pemuda itu rompi putih. Pedangnya yang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Pemuda itu menunggang seekor kuda hitam pekat berkilat yang gagah dan tegap.
Sedangkan yang gadis berbaju biru muda ketat. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan padat berisi. Di balik sabuk warna emas yang melilit pinggangnya, terselip sebuah kipas baja putih. Dan di punggungnya tersampir sebatang pedang bergagang kepala naga hitam.
Dari pakaian dan senjata yang tersandang, sudah dapat diketahui kalau mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi. Mereka lebih dikenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka memacu cepat kudanya menyusuri lereng gunung yang cukup terjal dan berbatu. Matahari yang siang itu bersinar terik, sama sekali tak dirasakan. Padahal kuda yang mereka tunggangi tampak kelelahan, tapi tetap saja dipacu cepat. Tak peduli jalan yang dilalui semakin sulit dan terjal berbatu.
“Berhenti dulu, Kakang...!” seru Pandan Wangi saat mereka baru saja melewati sebuah tikungan yang cukup tajam.
“Hooop...!” Rangga langsung menghentikan lari kudanya, lalu berpaling menatap gadis di sebelah kanannya. Tampak keringat membasahi wajah yang memerah dan leher jenjang gadis itu. Sementara matahari sudah benar-benar berada di atas kepala. Sinarnya begitu terik, seakan-akan hendak membakar semua yang ada di permukaan bumi ini.
“Istirahat dulu sebentar, Kakang. Aku tidak ingin kuda kita mati kelelahan,” pinta Pandan Wangi seraya melompat turun dari punggung kuda.
Rangga ikut turun dari punggung kudanya. Mereka kemudian menuntun kuda masing-masing, mendekati sebuah sungai kecil yang mengalir jernih di antara bebatuan. Mereka juga membersihkan diri dari debu dan membasahi tenggorokan yang sudah begitu kering mencekik leher. Sementara kuda-kuda itu mereguk air sungai yang jernih sepuas-puasnya.
“Berapa lama lagi kita sampai, Kakang?” tanya Pandan Wangi seraya menghempaskan tubuh di bawah pohon yang hampir habis daunnya.
“Menjelang malam nanti,” sahut Rangga, tetap berdiri di dekat kuda.
“Apa sebenarnya yang terjadi di sana, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.
“Aku sendiri tidak tahu,” sahut Rangga.
“Kau sudah baca suratnya...?”
“Sudah.”
“Hanya itu saja yang tertulis. Tak ada yang lainnya.”
Pandan Wangi bangkit berdiri. Tubuhnya digerak-gerakkan sedikit.
“Sudah istirahatnya?” tanya Rangga.
“Bukan aku, tapi kuda-kuda itu yang perlu istirahat,” sahut Pandan Wangi. “Seharusnya kita bisa lebih cepat kalau menunggang Rajawali Putih.”
“Tidak ada tempat turun untuk Rajawali Putih, Pandan Wangi. Satu-satunya tempat yang cukup hanya lembah itu. Sedangkan disana terlalu banyak orang. Dan aku tidak ingin membuat kegemparan.”
“Aku heran. Biasanya orang-orang tidak suka tinggal di lembah. Tapi mereka malah mendirikan sebuah desa...,” kata Pandan Wangi agak menggumam, seolah-olah bicara pada diri sendiri.
“Bukan desa, tapi kota,” sergah Rangga memberitahu.
“Kota...?!” Pandan Wangi makin tercengang.
“Kau akan tahu nanti kalau sudah sampai disana, Pandan.”
“Aneh... Ada sebuah kota di dalam lembah. Seperti apa kota itu, ya...?”
Rangga hanya tersenyum saja melihat Pandan Wangi tampak kebingungan mendengar ada sebuah kota berdiri di lembah. Memang sulit bisa dipercaya. Karena biasanya, sebuah desa, apalagi sudah berbentuk kota, berada jauh dari lembah. Atau biasanya juga, berada di kaki lereng gunung atau bukit. Tapi yang akan mereka tuju sekarang ini sebuah kota yang terletak dilembah.
“Ayo jalan lagi, Pandan,” ajak Rangga seraya naik ke punggung kudanya.
Pandan Wangi segera melompat naik ke punggung kuda putihnya. Mereka kembali memacu kudanya, tapi kali ini tidak secepat tadi. Dan memang, jalan yang dilalui semakin sulit saja. Mendaki dan penuh batu. Hingga akhirnya, mereka baru bisa memacu cepat kudanya setelah sampai di sebuah padang rumput yang luas bagai tak bertepi.

***

Tepat seperti yang dikatakan Rangga, saat matahari tenggelam di ufuk barat, mereka telah sampai di suatu lembah yang sangat besar dan luas. Pandan Wangi hampir tidak percaya kalau di dalam lembah itu berdiri sebuah perkampungan yang sangat besar. Bangunan-bangunannya tidak kalah padat dan indah dari sebuah kota kadipaten. Kedua pendekar muda itu menjalankan kudanya perlahan-lahan memasuki lembah.
Sementara malam terus merayap turun. Kegelapan kini menyelimuti sekitarnya. Tapi, lembah itu tampak terang benderang oleh cahaya lampu pelita yang menyala di setiap rumah. Rangga dan Pandan Wangi mulai memasuki lembah, lalu melewati sebuah bangunan batu yang merupakan gerbang masuk ke dalam kota di lembah itu. Tak terlihat seorang pun disana. Dan mereka terus memacu kudanya perlahan-lahan, tidak ingin menarik perhatian orang yang menghuni lembah ini.
“Kok sepi, Kakang...?” tanya Pandan Wangi ketika mereka sudah berada di antara rumah-rumah yang rata-rata berukuran cukup besar.
Memang, sejak memasuki lembah ini melalui gerbang, tak seorang pun dijumpai. Keadaan kota di lembah ini begitu sunyi, bagai tak berpenghuni sama sekali. Rangga juga merasakan hal yang sama. Kesunyian yang begitu mencekam. Sepertinya, lembah ini menyimpan suatu teka-teki yang menantang untuk diungkapkan. Bahkan tak ada suara yang terdengar. Hanya desir angin serta jerit binatang malam yang mengganggu gendang telinga.
“Di mana orang itu akan menemuimu, Kakang?” tanya Pandan Wangi memecah kesunyian.
“Seharusnya dia sudah ada sewaktu kita masuk gerbang tadi,” sahut Rangga.
“Jangan-jangan ini....” Ucapan Pandan Wangi terputus ketika tiba-tiba saja sebatang tombak panjang melesat cepat ke arah mereka, dan langsung menancap tepat di depan kuda yang ditunggangi Rangga.
Akibatnya, kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat turun dari atas punggung kuda hitamnya, diikuti Pandan Wangi yang juga terkejut atas datangnya tombak secara tiba-tiba itu. Rangga menjulurkan tangannya meraih tombak berwarna hitam pekat berukuran panjang itu.
Sesaat diperhatikannya tombak yang bermata keperakan itu. Kemudian, matanya menatap lurus ke depan, ke arah tombak itu datang. Tak terlihat seorang pun disekitarnya. Begitu sunyi, bahkan suara jengkerik saja tak terdengar lagi. Seakan akan binatang-binatang malam pun ikut merasakan ketegangan ini. Perlahan Pandan Wangi melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti, lalu berdiri di samping kanannya. Pandangannya pun ikut beredar berkeliling.
“Kau dengar sesuatu, Pandan?” tanya Rangga setengah berbisik, tanpa berpaling sedikit pun pada gadis di sampingnya.
“Tidak,” sahut Pandan Wangi. “Kau sendiri...?”
“Akan kucoba menggunakan aji Pembeda Gerak dan Suara” ujar Rangga agak bergumam.
Tapi belum juga Rangga mengerahkan ajiannya untuk mencari orang yang melemparkan tombak, mendadak saja dari arah depan berkelebat cepat sebuah bayangan putih. Tahu-tahu di depan kedua pendekar muda itu kini sudah berdiri seorang laki-laki berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Laki-laki tua itu mengenakan baju jubah putih berukuran panjang, dengan ikat kepala berwarna putih juga. Sebatang tongkat dari kayu hitam dan berlekuk tak beraturan tergenggam di tangan kanannya. Sinar matanya begitu bening, namun menyorot sangat tajam.
Angin yang bertiup agak kencang di sekitar lembah ini membuat jubahnya yang putih dan panjang berkibar menyibak, seakan-akan ingin memperlihatkan sebilah pedang yang tergantung di pinggang orang tua itu. Ukuran pedang itu panjang, dan gagangnya berbentuk kepala ular.
“Siapa kalian?! Dan untuk apa kalian datang ke Lembah Tangkar ini?” tanya orang tua itu. Suaranya terdengar tajam dan berat sekali, namun bernada penuh wibawa.
“Aku Rangga, dan ini Pandan Wangi,” sahut Rangga memperkenalkan diri. “Kami datang ke lembah ini karena mendapat surat dari seseorang untuk datang ke sini.”
“Coba kulihat suratnya,” pinta orang tua itu sambil menjulurkan tangan kanan setelah memindahkan tongkat ke tangan kirinya.
Rangga merogoh tangannya ke balik sabuk ikat pinggang, lalu mengeluarkan sebuah surat yang tersimpan dalam selongsong dari bambu yang dihaluskan permukaannya. Diserahkannya surat itu kepada laki-laki tua didepannya. Sebentar orang tua berjubah putih itu menatap Rangga dan Pandan Wangi, lalu membuka tutup selongsong surat itu. Lalu dikeluarkannya selembar daun lontar yang tergulung rapi, diikat pita berwarna merah darah.
Kembali orang tua itu menatap Rangga dan Pandan Wangi setelah membaca tulisan di dalam surat daun lontar itu, kemudian menggulungnya kembali dan mengikat dengan pita merah. Setelah memasukkan kembali surat itu ke dalam selongsongannya, lalu diserahkannya kepada Rangga. Pendekar Rajawali Sakti menerimanya, dan menyimpan lagi ke dalam sabuk ikat pinggang.
“Tidak ada gunanya kalian datang ke lembah ini. Sebaiknya segera pergi, dan jangan datang-datang lagi ke sini,” terasa begitu dingin nada suara laki-laki tua berjubah putih itu.
“Maaf. Boleh aku bertemu pengirim surat ini dulu...?” ujar Rangga meminta dengan hormat.
“Tidak ada yang bernama Sudra di Lembah Tangkar ini. Kalian salah alamat jika datang ke sini. Pergilah segera, sebelum terjadi sesuatu yang pasti tidak kalian inginkan,” nada suara orang tua itu terdengar mengancam.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Matanya melirik Pandan Wangi yang berada di sebelah kanannya. Gadis itu hanya diam saja, dan juga mengangkat bahunya sedikit.
“Baiklah. Kami segera pergi. Maaf jika kedatangan kami mengganggu,” ucap Rangga tetap sopan.
“Hm...,” orang tua berjubah putih itu hanya menggumam kecil.
Rangga dan Pandan Wangi segera melompat naik ke punggung kudanya, dan segera cepat menggebahnya. Mereka kini meninggalkan perkampungan dalam Lembah Tangkar ini. Sementara orang tua berjubah putih itu masih berdiri tegak di tengah-tengah jalan memandangi kedua pendekar muda itu yang semakin jauh meninggalkannya.
Setelah Rangga dan Pandan Wangi tidak terlihat lagi, orang tua berjubah putih panjang itu baru memutar tubuhnya. Kemudian kakinya melangkah menuju sebuah rumah yang tampak terang benderang oleh cahaya lampu pelita. Pintu rumah yang semula tertutup rapat, langsung terbuka begitu kaki orang tua berjubah putih itu menginjak lantai beranda. Dari balik pintu, bermunculan empat orang laki-laki berusia setengah baya. Mereka menghampiri orang tua berjubah putih yang berdiri saja di beranda depan rumah ini.
“Siapa mereka, Ki?” tanya seorang yang mengenakan baju warna kuning.
“Rupanya Sudra bisa meloloskan surat keluar. Hm.... Aku tidak ingin ada orang luar yang mencampuri urusan ini,” tegas laki-laki tua berjubah putih itu.
“Apa yang harus kami lakukan, Ki?”
“Aku tidak ingin mereka ada di sekitar lembah ini. Kalian mengerti maksudku...?”
“Kami mengerti, Ki.”
“Lakukanlah sekarang.”
Empat orang laki-laki berusia separuh baya itu cepat-cepat membungkuk memberi hormat, kemudian melangkah meninggalkan rumah berukuran cukup besar dan megah itu. Mereka mengambil kuda-kuda yang tertambat di samping rumah ini. Dengan berkuda, mereka mengejar kedua pendekar muda yang sudah tidak terlihat lagi di sekitar perkampungan Lembah Tangkar.
Sementara laki-laki tua berjubah putih itu masih tetap berdiri, memandangi sampai keempat orang itu lenyap ditelan kegelapan malam. Bergegas orang tua itu melangkah masuk ke dalam rumah. Setelah melewati ruangan depan yang berukuran cukup luas, dia masuk ke dalam ruangan lain. Di dalam ruangan itu ternyata sudah menunggu dua orang wanita yang duduk menghadap sebuah meja bundar berukuran cukup besar. Mereka menoleh, menatap laki-laki tua berjubah putih yang baru masuk itu. Kedua wanita itu kemudian berdiri, dan baru duduk lagi setelah orang tua berjubah putih itu duduk di depan meja bundar beralas dari batu pualam putih ini.
“Keadaan semakin bertambah buruk. Dan akan semakin buruk lagi nantinya,” kata orang tua berjubah putih itu, agak mendesah suaranya.
Kedua wanita yang rata-rata berusia sekitar empat puluh tahun itu hanya diam saja. Satu sama lain hanya saling melemparkan pandang saja. Mereka tahu apa yang dimaksud dari gumaman orang tua berjubah putih ini. Kedatangan dua orang anak muda tadi memang sudah membawa isyarat akan terjadi sesuatu di lembah ini. Lembah Tangkar yang benar-benar akan menjadi suatu neraka bila yang dikatakan orang tua berjubah putih ini menjadi kenyataan.
“Kalian harus lebih waspada lagi. Aku tak ingin seorang pun yang masuk atau keluar lembah ini,” tegas orang tua itu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.
“Apa tidak sebaiknya kita beri sedikit ancaman yang berarti agar si keparat itu menyerah, Ki Bargala?” usul salah seorang wanita yang mengenakan baju warna putih bersih.
Di punggungnya menyembul sebuah gagang pedang berbentuk bunga anggrek. Meskipun usianya sudah mencapai empat puluh tahun, tapi raut wajahnya masih kelihatan cantik. Bentuk tubuhnya pun ramping dan indah. Sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya.
“Tidak semudah itu, Anggrek Putih. Meskipun semua penghuni lembah ini dibantai, dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia tetap akan menuntut agar kita meninggalkan lembah ini, dan menyerahkan padanya,” sanggah orang tua berjubah putih yang ternyata bernama Ki Bargala.
“Lalu, sampai kapan kita akan terus bertahan seperti ini, Ki?” tanya wanita satunya lagi, yang mengenakan baju warna merah tua menyala.
Di punggung wanita berbaju merah tua menyala itu juga terlihat sebuah gagang pedang yang ujungnya berbentuk sekuntum bunga mawar berwarna merah. Julukannya Mawar Merah. Dan memang, kedua wanita ini lebih dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut. Di kalangan persilatan, sepak terjang mereka sudah terkenal. Mereka selalu menyebarkan maut dan malapetaka.
“Sampai Lembah Tangkar ini benar-benar jadi neraka. Bukankah tujuan kita semua datang ke sini begitu...? Namun kita jangan dulu menciptakan satu neraka pun,” kata Ki Bargala, agak mendesis suaranya.
“Aku sudah tidak sabar lagi, Ki,” dengus Anggrek Putih.
“Kapan isyarat itu datang, Ki? Aku tidak ingin menunggu lama dan berdiam diri saja di sini. Aku ingin cepat-cepat selesai dan pergi dari sini,” sambung Mawar Merah.
“Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum si keparat itu mampus. Dan lagi, Prabu Cantraka juga menginginkan lembah ini agar benar-benar bersih dan tak ada satu pun gangguan setelah kita meninggalkan lembah ini,” jelas Ki Bargala lagi.
“Hadiah yang dijanjikan memang menggiurkan. Tapi aku paling tidak suka keadaan seperti ini. Menunggu tanpa ada kepastian sama sekali,” dengus Mawar Merah.
“Sabarlah. Aku yakin, tidak lama lagi isyarat itu datang.”
“Isyarat itu yang datang, atau si keparat itu yang lebih dulu muncul, Ki...?” desis Anggrek Putih sinis.
“Itu lebih baik. Bisa selesai dalam sekali tepuk,” tandas Ki Bargala.
“Aku akan membuat lembah ini benar-benar menjadi neraka, kalau dalam dua hari ini tidak juga ada isyarat, Ki,” desis Mawar Merah dingin.
“Kalian tidak bisa berbuat apa-apa tanpa ada perintah dari Prabu Cantraka. Sebaiknya kalian bersabar saja dulu. Aku akan menanyakan hal itu pada Prabu Cantraka,” kilah Ki Bargala menyabarkan kedua wanita yang dijuluki Iblis Bunga Penyebar Maut itu.
Kedua wanita itu terdiam. Ki Bargala tahu kalau mereka memang tidak pernah bisa bersabar kalau diminta menunggu. Tangan mereka sudah begitu gatal, dan tak akan ada senyum jika tidak membuat malapetaka sedikit pun di mana mereka berada. Mereka selalu tersenyum dan tertawa bila melihat darah dan kesengsaraan terjadi disekitarnya. Mereka seakan-akan memang diciptakan hanya untuk membuat neraka di bumi ini.
“Ayo kita pergi,” ajak Mawar Merah seraya bangkit berdiri. Anggrek Putih ikut berdiri.
“Ke mana kalian akan pergi?” tanya Ki Bargala, masih tetap duduk di kursinya.
“Kami akan mencari si keparat itu, Ki,” sahut Mawar Merah, agak ketus suaranya.
“Ke mana kalian akan mencarinya?” tanya Ki Bargala lagi.
“Di sekitar lembah ini. Dia pasti tidak ada di luar lembah ini. Kami akan terus mencarinya sampai kau mendapatkan isyarat itu, Ki,” tandas Anggrek Putih.
Tanpa berkata apa-apa lagi, kedua wanita yang dikenal berjuluk Iblis Bunga Penyebar Maut itu segera melangkah meninggalkan ruangan ini. Sementara Ki Bargala hanya bisa memandangi tanpa mampu mencegah lagi. Sudah dikenalnya betul akan watak kedua wanita berhati iblis itu. Dan dia tidak mau mencegahnya. Mereka datang ke sini memang punya maksud dan tujuan tertentu.
Dan tinggal menunggu isyarat perintah saja dari seseorang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Tapi, hanya Ki Bargala saja yang bisa berhubungan dengan orang bernama Prabu Cantraka. Hanya saja, Ki Bargala sendiri belum pernah bertemu langsung dan melihat orangnya. Dia hanya bisa mendengar suara orang itu, tanpa dapat melihat orangnya sama sekali. Atau paling tidak, hanya bisa berhubungan dengan orang suruhan Prabu Cantraka.
“Hm... Tampaknya aku harus menemui Prabu Cantraka sebelum terjadi sesuatu dilembah ini. Iblis Bunga Penyebar Maut benar-benar sudah tidak bisa menahan kesabaran lagi,” gumam Ki Bargala berbicara sendiri.

***

60. Pendekar Rajawali Sakti : Badai Di Lembah TangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang