BAGIAN 3

701 26 0
                                    

Hari masih begitu gelap, meskipun rona merah sudah membias di ufuk timur. Sementara burung-burung sudah ramai berkicau menyambut datangnya sang mentari. Tampak seekor kuda putih dengan belang coklat tua pada keempat kakinya berlari cepat meninggalkan Lembah Tangkar menuju ke arah barat. Penunggang kuda itu adalah seorang laki-laki tua berjubah panjang berwarna putih bersih. Kudanya dipacu begitu cepat, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah jauh meninggalkan Lembah Tangkar.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Laki-laki tua berjubah putih itu terus cepat menggebah kudanya melintasi jalan tanah berdebu dan berbatu kerikil. Lembah Tangkar semakin jauh ditinggalkan, sehingga tak ada satu rumah pun yang terlihat. Hanya pepohonan dan bebatuan yang ada di sepanjang jalan tanah berbatu kerikil itu. Dia meninggalkan jalan itu ketika berbelok ke kanan. Lalu dimasukinya sebuah hutan yang tidak begitu lebat, sehingga masih bisa menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Entah sudah berapa lama kudanya dipacu cepat, menerobos hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan dia baru berhenti saat matahari sudah berada tepat di atas kepala. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling, lalu melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan dan indah, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Perlahan kakinya terayun meninggalkan kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon jati. Dia terus melangkah perlahan, dan baru berhenti setelah di depannya berdiri sebuah bangunan batu berbentuk puri. Tidak begitu besar bangunan puri itu. Dan sekelilingnya terlihat sangat sunyi. Langkahnya berhenti tepat di depan sebuah pintu masuk ke dalam puri ini. Sebuah pintu yang tidak memiliki penutup, sehingga terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya.
"Aku Ki Bargala datang hendak menghadap Gusti Prabu Cantraka," terdengar lantang suara laki-laki berjubah putih itu.
Tak ada sahutan yang terdengar sedikit pun. Tapi tiba-tiba saja dari bagian atas puri, melesat sebuah bayangan merah. Lalu, di depan laki-laki berjubah putih yang mengenalkan dirinya sebagai Ki Bargala itu sudah berdiri seseorang yang mengenakan baju ketat berwarna merah menyala. Wajahnya sulit untuk dikenali, karena kepalanya terselubung kain merah. Hanya dua lubang bulat sebesar mata kucing pada bagian matanya saja untuk penglihatannya. Namun sepasang bola mata itu bersinar tajam, dan agak memerah di balik lubang penutup kepala dan wajahnya itu.
"Terimalah salam sembah dan hormatku," ucap Ki Bargala sambil berlutut dengan meletakkan tangan kanan di depan dada.
"Bangunlah, Ki Bargala," ujar orang itu, terdengar berat nada suaranya.
Perlahan Ki Bargala bangkit berdiri. Badannya dibungkukkan sedikit, dengan tangan kanan tetap berada di depan dada. Jarak diantara mereka hanya sekitar lima langkah saja. Sementara keadaan di sekitar puri itu masih tetap sunyi. Tak terlihat seorang pun disana, kecuali mereka berdua.
"Ada keperluan apa kau datang ke sini, Ki Bargala?" tanya orang berbaju serba merah menyala itu. Suaranya masih tetap terdengar berat sekali.
"Ada yang hendak kulaporkan pada Gusti Prabu Cantraka," sahut Ki Bargala dengan sikap begitu hormat.
"Katakan saja padaku. Gusti Prabu Cantraka sedang tidak berkenan menerima siapa pun," ujar orang berbaju serba merah ini lagi.
Ki Bargala jadi terdiam. Sejak meninggalkan Lembah Tangkar tadi, memang sudah diduga kalau tidak mungkin bisa bertemu langsung dengan Prabu Cantraka. Dan laki-laki tua itu memang belum pernah melihat orang yang dikenal bernama Prabu Cantraka. Setiap kali datang ke puri ini, selalu saja orang berbaju merah menyala itu yang menemuinya. Dan Ki Bargala tahu, orang berbaju serba merah yang selalu muncul menutupi wajahnya itu biasa disebut Bayangan Setan Merah.
"Kemarin ada dua orang anak muda datang ke lembah. Mereka membawa surat dari Sudra. Aku lalu mengirim empat orang pembantuku yang terbaik. Tapi, mereka sangat tangguh, dan berhasil menewaskan dua orang pembantuku. Sedangkan si Iblis Bunga Penyebar Maut sudah tidak sabar lagi menunggu perintah dari Gusti Prabu Cantraka," jelas Ki Bargala melaporkan kejadian di Lembah Tangkar.
"Perintah itu sudah ada. Kau dan orang-orangmu sudah bisa memulainya sekarang. Mengenai dua orang yang datang ke lembah.... Hm, siapa mereka?" masih terdengar berat nada suara orang berbaju merah yang berjuluk Bayangan Setan Merah.
"Mereka mengaku bernama Rangga dan Pandan Wangi. Kedatangan mereka ke sana dengan membawa surat dari Sudra," sahut Ki Bargala memberitahu.
"Lalu, kenapa sampai dua orang pembantu terbaikmu tewas?"
"Aku menyuruh empat orang pembantu terbaikku mengusir mereka dari lembah. Tapi ternyata mereka tidak mau pergi. Maka terpaksa terjadi pertarungan, hingga dua orang pembantuku tewas di tangan mereka."
"Kau melakukan tindakan bodoh, Ki Bargala," dengus Bayangan Setan Merah.
"Tapi surat yang mereka bawa bernada mencurigakan.... Jadi terpaksa harus kuambil tindakan keras. Tapi tidak kusangka kalau mereka memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pembantu-pembantuku," Ki Bargala mencoba membela diri.
"Tapi kenyataannya kau malah kehilangan dua orang pembantumu yang terbaik. Huh...! Kau tahu, siapa mereka sebenarnya, Ki Bargala?"
"Tidak."
"Merekalah yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut."
"Oh...?!" Ki Bargala tampak terkejut bukan main. Sungguh tidak disangka kalau dua orang yang datang semalam adalah dua orang pendekar yang sangat ternama dikalangan persilatan. Terlebih lagi, pemuda yang bernama Rangga dan dijuluki Pendekar Rajawali Sakti. Tingkat kepandaiannya sangat tinggi dan sukar dicari tandingannya saat ini. Ki Bargala jadi kecut hatinya begitu mengetahui siapa dua orang itu sebenarnya.
"Lalu, apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Kembali ke Lembah Tangkar. Biar urusan Pendekar Rajawali Sakti aku yang tangani. Yang penting, sekarang kau harus bisa mengatasi segala sesuatu yang terjadi di Lembah Tangkar. Lembah itu harus bisa dipertahankan sampai Gusti Prabu Cantraka menentukan, kapan kau dan orang-orangmu boleh meninggalkan lembah."
"Baik," sahut Ki Bargala seraya membungkuk memberi hormat.
"Berangkatlah sekarang juga." Ki Bargala kembali membungkuk memberi hormat. Dan begitu tubuhnya tegak, didepannya sudah tidak terlihat lagi orang berbaju serba merah menyala itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga Ki Bargala sama sekali tidak mengetahui kapan perginya. Laki-laki berjubah putih panjang itu bergegas berbalik dan melangkah cepat meninggalkan puri itu.
Ki Bargala memacu cepat kudanya keluar dari dalam hutan yang tidak begitu lebat ini. Dan ketika memasuki jalan tanah berkerikil, mendadak saja terlihat sebatang anak panah berukuran kecil dan berwarna hitam melesat cepat ke arahnya.
"Hup!" Ki Bargala cepat melentingkan tubuh ke udara. Maka, anak panah hitam itu menghantam bagian leher kuda yang ditunggangi Ki Bargala. Kuda putih belang coklat pada kakinya itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara, lalu jatuh menggelepar di tanah. Darah bercucuran dari lehernya yang tertembus sebatang anak panah kecil berwarna hitam. Dan tepat ketika Ki Bargala mendarat, kuda itu sudah tidak bergerak-gerak lagi.
"Panah beracun...," desis Ki Bargala begitu memeriksa panah hitam berukuran kecil yang menancap di leher kudanya. Belum juga Ki Bargala bisa berpikir lebih jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam dari atas sebatang pohon yang tidak begitu jauh dari laki-laki tua berjubah putih itu. Ki Bargala cepat melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Bersamaan menjejaknya kaki Ki Bargala ke jalan tanah berkerikil, sosok tubuh hitam itu juga mendarat manis di dekat bangkai kuda.
"Hm...," kening Ki Bargala berkerut memandangi sosok tubuh berbaju serba hitam didepannya.
Agak lama juga Ki Bargala memandangi laki-laki yang sukar diterka usianya itu. Karena, wajahnya begitu buruk dan hitam penuh benjolan. Sebagian pipi kanannya menggerompal, sehingga memperlihatkan tulang pipinya sampai baris-baris gigi yang putih tak beraturan. Sorot matanya begitu tajam, dan rambutnya teriap tak beraturan. Dia berdiri agak terbungkuk, karena di punggungnya terdapat tonjolan seperti unta. Sebatang tongkat dari kayu hitam tergenggam di tangan kanannya, untuk menyangga tubuhnya yang bungkuk.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa menghadang jalanku?" tanya Ki Bargala. Sinar matanya begitu tajam penuh selidik menatap laki-laki berperawakan buruk di depannya.
"Kau tidak perlu tahu siapa aku, Iblis Jubah Putih!" sahut laki-laki bungkuk itu, dingin nada suaranya.
"Heh...?!" Ki Bargala tersentak kaget mendengar jawaban laki-laki bungkuk itu.
"Kau tahu julukanku...? Siapa kau sebenarnya?"
"Tidak sulit mengenalimu, Iblis Jubah Putih. Dan aku juga tahu tujuanmu berada di Lembah Tangkar ini. Kuperingatkan padamu, Iblis Jubah Putih, sebaiknya segera angkat kaki dari Lembah Tangkar," tegas laki-laki bungkuk itu, bernada mengancam.
"Kau tidak bisa mengancamku, Kisanak," desis Ki Bargala dingin.
"Aku tidak pernah berkata dua kali, Iblis Jubah Putih. Jika tetap membandel, kau akan menyesal pada sisa-sisa umurmu!" kata laki-laki bungkuk itu tidak kalah dinginnya.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Ki Bargala tertawa terbahak-bahak. "Aku tahu siapa kau sekarang, Kisanak. Kau pasti si Bongkok dari Bukit Hantu."
"Kau sudah tahu siapa aku, Iblis Jubah Putih. Sebaiknya jangan keras kepala. Aku tidak segan-segan membuatmu menyesal seumur hidup!" desis laki-laki bungkuk yang dikenal berjuluk si Bongkok itu.
"Ancamanmu tidak ada artinya bagiku, Bongkok!" dengus Ki Bargala. "Aku khawatir, justru kau sendiri yang tidak akan bisa melihat matahari lagi."
"Kau benar-benar keras kepala, Iblis Jubah Putih...!" desis si Bongkok dingin menggetarkan.
"Jangan banyak omong! Menyingkirlah, atau kau rasakan tongkat mautku!" bentak Ki Bargala sengit.
"Hm...."
Bet! Ki Bargala langsung mengebutkan tongkat ke depan. Ujung tongkat yang runcing, tertuju lurus ke dada si Bongkok. Perlahan kakinya bergeser ke depan beberapa langkah. Sedangkan si Bongkok sudah menyilangkan tongkat di depan dada. Kakinya juga ditarik beberapa tindak kekanan. Mereka tidak lagi berbicara. Hanya tatapan mata saja yang saling menyorot tajam, seakan-akan hendak mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Mampus kau! Hiyaaat...!" Bagaikan kilat, Ki Bargala yang berjuluk Iblis Jubah Putih melesat cepat menyerang si Bongkok. Tongkatnya langsung berkelebat mengarah ke kepala laki-laki bungkuk buruk rupa itu. Tapi manis sekali si Bongkok merundukkan kepala, menghindari sabetan tongkat Iblis Jubah Putih.
Wuk!
Dan begitu tongkat Iblis Jubah Putih lewat di atas kepala, cepat sekali tongkat hitamnya dihentakkan ke arah lambung Ki Bargala. Serangan balasan yang begitu cepat, membuat laki-laki tua itu jadi tersentak tidak menyangka. Buru-buru dia melompat ke belakang sambil berputar dua kali. Baru saja Iblis Jubah Putih menjejakkan kakinya ditanah, si Bongkok sudah kembali menyerang. Tongkatnya yang berwarna hitam pekat dikebutkan cepat ke arah dada Ki Bargala. Tak ada lagi kesempatan bagi Iblis Jubah Putih berkelit menghindar. Dan dengan cepat tongkatnya dikebutkan menangkis serangan tongkat si Bongkok.
Bet! Trak!
"Heh...?!" Ki Bargala jadi terkejut bukan main. Tongkatnya yang terkenal maut, seketika itu juga patah jadi dua bagian ketika membentur tongkat hitam laki-laki bungkuk bermuka buruk itu. Maka cepat-cepat dia melompat ke belakang. Sejenak dipandanginya potongan tongkatnya yang masih tergenggam di tangan kanan. Sedangkan potongan lainnya entah berada di mana.
"Setan...!" dengus Ki Bargala geram. Tongkatnya dilemparkan kepada si Bongkok. Lemparan yang disertai pengerahan tenaga dalam itu membuat potongan tongkat melesat bagai anak panah terlepas dari busur.
Si Bongkok mengebutkan tongkatnya, menangkis lemparan tongkat yang meluncur deras ke arahnya. Beberapa kali tongkatnya dikebutkan, sehingga potongan tongkat si Iblis Jubah Putih terpotong-potong menjadi beberapa bagian kecil.
Iblis Jubah Putih semakin terbeliak melihat tongkatnya benar-benar tidak mempunyai arti.
"Keparat...!" Sret!
Ki Bargala benar-benar geram melihat tongkatnya kini tak mempunyai arti lagi, setelah menjadi potongan-potongan kecil yang tak lebih dari seruas jari. Maka pedangnya yang selalu tersembunyi di balik jubahnya cepat dicabut. Sebilah pedang keperakan yang berkilat tertimpa cahaya matahari.
Wuk!
Ki Bargala mengebutkan pedang beberapa kali sambil menarik kakinya hingga terpentang lebar ke samping. Sedangkan si Bongkok telah melakukan gerakan, membuka jurus baru yang pasti tidak kalah ampuhnya dari jurus sebelumnya. Ki Bargala sendiri juga sudah siap dengan jurus barunya. Dan sekarang tampaknya dia begitu berhati-hati menghadapi manusia bungkuk bermuka buruk itu.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Hampir bersamaan waktunya, mereka saling berlompatan menyerang. Dan secara bersamaan pula, mereka sama-sama mengebutkan senjata ke arah yang sama. Sehingga, benturan dua senjata yang diandalkan tak dapat dihindari lagi. Dua senjata itu beradu keras di udara, di saat tubuh-tubuh mereka melayang sekitar dua tombak dari tanah.
Trang! Glarrr...!
Ledakan keras menggelegar terdengar dahsyat membelah udara ketika dua senjata berbentuk pedang dan tongkat itu beradu. Terlihat bunga api memercik dari kedua senjata yang beradu keras itu. Dan pada saat yang sama, mereka sama-sama berpentalan ke belakang. Tubuh mereka berputaran beberapa kali di udara, dan sama-sama mendarat manis sekali. Mereka kembali berdiri saling berhadapan, berjarak sekitar dua batang tombak.
"Hiyaaat...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Ki Bargala yang dikenal berjuluk Iblis Jubah Putih cepat melesat menyerang sambil membabatkan pedang beberapa kali dengan kecepatan luar biasa. Menerima serangan yang begitu cepat dan dahsyat, si Bongkok segera memainkan tongkatnya, sambil berlompatan lincah menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun. Beberapa kali senjata mereka beradu, dan saling memercikkan bunga api.
Tapi serangan-serangan Ki Bargala tidak juga berhenti sampai di situ. Akibatnya, si Bongkok terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan-serangannya. Hanya sesekali saja si Bongkok mampu memberikan serangan balasan, dan itu pun cepat sekali dipatahkan Iblis Jubah Putih. Kini mereka bertarung semakin sengit. Jurus demi jurus berlalu cepat.
Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan tampaknya tidak juga ada tanda-tanda akan berhenti. Bahkan pertarungan semakin meningkat dahsyat. Kebutan-kebutan pedang dan tongkat menimbulkan suara angin menderu, membuat kerikil dan debu jalan itu beterbangan. Bahkan beberapa pohon sudah terlihat bertumbangan, tersambar senjata maut mereka.
"Awas kaki...!" seru si Bongkok tiba-tiba.
Bet!
Begitu cepatnya si Bongkok merunduk sambil mengebutkan tongkat ke arah kaki Ki Bargala. Tapi dengan gerakan cepat, Ki Bargala melenting ke atas. Sehingga, tebasan tongkat hitam itu hanya lewat di bawah telapak kakinya. Namun tanpa diduga sama sekali, si Bongkok bergerak cepat melewati kaki si Iblis Jubah Putih. Dia langsung melesat ke udara sambil memberikan satu tendangan menggeledek secara berputar. Begitu cepat serangannya, sehingga Ki Bargala tidak sempat lagi menyadari kalau serangan ke kaki tadi hanya satu tipuan. Tidak sempat dihindari lagi tendangan laki-laki bungkuk bermuka buruk itu.
Diegkh!
"Akh...!" Ki Bargala terpekik agak tertahan.
Tendangan si Bongkok begitu telak menghantam punggungnya, membuat Iblis Jubah Putih tersungkur mencium tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan ditanah, lalu cepat melompat bangkit berdiri. Tapi, Ki Bargala jadi agak terhuyung. Pada saat itu, si Bongkok sudah kembali melakukan serangan cepat dengan tusukan ujung tongkatnya kearah dada laki-laki tua berjubah putih itu.
"Hiyaaat...!"
"Hih!"
Bet!
Ki Bargala mengebutkan pedang untuk menangkis tusukan tongkat hitam itu. Tapi tanpa diduga sama sekali, si Bongkok cepat memutar tongkatnya, sehingga tangkisan Iblis Jubah Putih itu jadi sia-sia. Dan sebelum Iblis Jubah Putih menarik pulang pedangnya, si Bongkok sudah memberi satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
Begkh!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Ki Bargala memekik keras.
Pukulan yang dilepaskan si Bongkok tepat dan keras sekali menghantam dadanya. Akibatnya, laki-laki tua berjubah putih itu terpental sejauh beberapa batang tombak. kebelakang. Dua batang pohon seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuh tua berjubah putih itu. Dan pada pohon yang ketiga, tubuh Ki Bargala baru berhenti meluncur. Iblis Jubah Putih itu bergelimpangan di antara kepingan reruntuhan pohon yang terlanda tubuhnya. Dia berusaha cepat bangkit berdiri, tapi....
"Hoeeek...!"
Dari mulutnya menyembur darah kental agak kehitaman. Ki Bargala menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Rasa pening cepat sekali menyerang kepala, ditambah lagi rasa sesak yang menggumpal memenuhi dada. Ki Bargala merasakan dadanya bagai terhimpit sebongkah batu besar, membuatnya jadi tersengal tak terkendali.
"Kau sudah memilih jalan kematianmu sendiri, Iblis Jubah Putih. Terimalah kematianmu! Hiyaaat...!"
Si Bongkok rupanya tidak sudi lagi memberi kesempatan pada orang tua berjubah putih itu. Bagaikan kilat, dia melompat sambil menghunjamkan tongkat ke arah dada Ki Bargala yang masih berusaha menguasai keseimbangan diri. Serangan kilat yang dilancarkan si Bongkok tak mungkin lagi dapat dihindari. Dan Iblis Jubah Putih hanya dapat terbeliak, tak mampu berkelit sedikit pun. Pukulan keras bertenaga dalam tinggi yang mendarat di dadanya tadi telah membuatnya seakan akan sulit bergerak.
"Mati aku...," desah Ki Bargala dalam hati.
Tapi ketika ujung tongkat si Bongkok yang berwarna hitam pekat itu hampir saja menghunjam dada Ki Bargala, mendadak saja sebuah bayangan merah menyambar tubuh laki-laki tua berjubah putih itu.
Bles!
"Setan..!" Si Bongkok jadi geram setengah mati begitu tongkatnya hanya menembus sebatang pohon. Sedangkan tubuh Ki Bargala sudah lenyap tak berbekas lagi, bagaikan amblas tertelan bumi. Si Bongkok cepat mencabut tongkatnya yang menembus cukup dalam kebatang pohon. Dan begitu tongkatnya tercabut, seketika pohon itu berasap, lalu hangus menghitam bagai terbakar. Seluruh daunnya cepat sekali rontok berguguran dan warnanya berubah Jadi kuning.
"Phuih! Ke mana iblis tua keparat itu...?!" dengus si Bongkok geram.
Pandangannya beredar ke sekeliling, tapi tidak juga terlihat ada satu bayangan pun berkelebat di sekitarnya. Iblis Jubah Putih benar-benar lenyap tak terlihat lagi. Si Bongkok menggerutu dan memaki dalam hati. Hatinya benar-benar kesal, karena lawan yang sudah tinggal menjelang ajal mendadak saja lenyap tersambar bayangan merah.
"Bayangan merah.... Hm.... Apa mungkin dia Bayangan Setan Merah...?" gumam si Bongkok bertanya-tanya sendiri. "Kalau memang Bayangan Setan Merah, berarti bukan hanya Iblis Jubah Putih saja yang ada di Lembah Tangkar. Hm.... Berapa orang sebenarnya yang ada di balik semua ini...?"
Beberapa saat lamanya si Bongkok masih berdiri mematung di tepi jalan tanah berkerikil itu. Beberapa kali dia menggumam dan bertanya-tanya sendiri. Sambil menghembuskan napas berat, laki-laki bungkuk bermuka buruk itu melangkah cepat meninggalkan jalan itu. Gerakan ayunan kakinya begitu cepat, sehingga sebentar saja sudah jauh, dan lenyap begitu membelok ke kanan yang langsung menuju ke Lembah Tangkar.

***

60. Pendekar Rajawali Sakti : Badai Di Lembah TangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang