BAGIAN 2

661 27 0
                                    

Sementara itu, tidak jauh dari Lembah Tangkar, Rangga dan Pandan Wangi masih berkuda perlahan-lahan meninggalkan lembah yang tampak terang tersiram cahaya pelita. Mereka berkuda perlahan-lahan, tanpa berbicara sedikit pun. Sedangkan beberapa kali Pandan Wangi melirik wajah Pendekar Rajawali Sakti. Jelas sekali kalau kening pemuda berbaju rompi putih itu berkerut agak dalam, seakan-akan tengah memikirkan sesuatu.
"Apa yang kau pikirkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu apa yang dipikirkan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku merasa ada sesuatu yang aneh di Lembah Tangkar itu, Pandan," sahut Rangga.
"Maksudmu...?" tanya Pandan Wangi ingin lebih jelas lagi.
Rangga menghentikan laju kudanya. Pandan Wangi mengikuti, dan terus memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka terdiam, lalu melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Mereka berdiri membelakangi kudanya, dan menatap ke arah lembah yang bermandikan cahaya lampu pelita. Tampak begitu semarak, tapi menyimpan suatu teka-teki yang sukar diungkapkan.
"Surat yang kudapat jelas mengatakan kalau aku diminta datang ke Lembah Tangkar ini. Tapi..."
Belum juga Rangga sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja terdengar derap langkah kaki kuda dari arah depan. Begitu jelas sekali terdengar, dan menuju ke arahnya. Pandan Wangi segera mengarahkan pandangan ke arah derap langkah kaki kuda yang semakin jelas terdengar dari arah depan. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat empat orang penunggang kuda yang berpacu cepat menuju ke arah dua orang pendekar muda itu. Para penunggang kuda itu langsung berlompatan turun begitu berada sekitar dua batang tombak lagi di depan Rangga dan Pandan Wangi. Mereka melangkah tegap, mendekati kedua pendekar muda itu. Mereka baru berhenti, setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi.
"Kalian dua orang yang mendapat surat dari Sudra?" salah seorang yang mengenakan baju kuning langsung bertanya. Suaranya besar dan terdengar berat.
"Benar," sahut Rangga mantap.
"Sudra sudah mati. Dan kalian tidak perlu lagi berada di Lembah Tangkar ini. Tak ada lagi yang bisa kalian lakukan. Maka sebaiknya tinggalkan lembah ini jika tidak ingin mati sia-sia," ancam laki-laki separuh baya berbaju kuning itu lagi.
Rangga jadi berkerut keningnya mendengar kata-kata yang bernada ancaman seperti itu. Sudah dua kali Pendekar Rajawali Sakti mendapat ancaman selama berada di Lembah Tangkar ini. Dan dia tidak tahu, kenapa mereka tidak menginginkan dirinya berada di lembah ini. Sedangkan surat yang didapat dari seseorang yang bernama Sudra menginginkannya datang ke Lembah Tangkar ini.
"Kami tidak ingin ada seorang pun yang datang ke lembah ini. Lembah Tangkar tertutup bagi pendatang sepertimu," tegas laki-laki berbaju kuning itu.
"Kalau boleh aku tahu, di mana kuburan Sudra?" tanya Rangga meminta.
"Dia mati tidak ada kuburannya!" dengus laki-laki berbaju kuning itu sengit.
"Kalau begitu, aku tidak ingin pergi sebelum bertemu Sudra, atau mayatnya kalau memang sudah mati," tegas Rangga.
"Kau tidak boleh tinggal di sini, Anak Muda!" bentak orang berbaju kuning itu kasar.
"Sayang sekali, aku ingin tetap tinggal. Dan tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, termasuk kalian," tegas Rangga.
"Keparat...! Kau mencari mati, Anak Muda!" geram orang berbaju kuning itu berang.
Sret!
Laki-laki setengah baya yang mengenakan baju warna kuning itu segera mencabut senjata yang berbentuk sebatang tongkat pendek dengan bagian ujungnya berbentuk bulan sabit. Tiga orang laki-laki lain yang berdiri di belakangnya juga segera mencabut senjata masing-masing. Dan senjata mereka berbentuk sama persis. Mereka segera menggeser kaki, berdiri sejajar. Senjata masing-masing tampak sudah tersilang di depan dada.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah menarik kakinya beberapa langkah ke belakang. Pandan Wangi segera mengeluarkan senjatanya yang berupa kipas baja putih. Dibukanya kipas itu, dan digerak-gerakkan perlahan di depan dada. Seakan-akan udara sekitar lembah ini jadi panas. Padahal, angin yang bertiup agak kencang begitu terasa dingin hingga menusuk tulang.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka tak ada yang membuka suara. Hanya tatapan mata saja saling menyorot tajam bagai sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
"Kau yang menginginkan kematianmu, Anak Muda," desis laki-laki berbaju kuning itu dingin.
"Aku khawatir, yang terjadi malah sebaliknya," sambut Rangga tidak kalah dinginnya.
"Keparat...! Serang dia...!" geram orang berbaju kuning itu.
Seketika itu juga, empat laki-laki separuh baya yang masing-masing menggenggam senjata tongkat pendek berujung bulan sabit, berlompatan cepat menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Dua orang menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan dua orang lagi langsung merangsek si Kipas Maut. Pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi. Dan tampaknya, empat laki-laki separuh baya itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi juga. Terbukti, serangan-serangannya begitu dahsyat dan berbahaya sekali.
Sementara Rangga bertarung menggunakan tangan kosong saja, Pandan Wangi menghadapi dua orang lawannya dengan senjata maut yang berbentuk kipas baja putih. Beberapa kali senjata si Kipas Maut itu saling berbenturan dengan senjata tombak lawan yang berujung bulan sabit. Dan setiap kali senjata mereka beradu, memercik bunga api yang menyebar ke segala arah, disertai ledakan keras menggelegar.
"Huh! Tenaga dalam mereka cukup tinggi juga...," dengus Pandan Wangi dalam hati.
Beberapa kali terjadi adu senjata yang mengandung pengerahan tenaga dalam. Dan ini sudah cukup bagi Pandan Wangi untuk menilai tingkat kepandaian kedua lawannya ini. Dan disadari, tidak mungkin bisa memenangkan pertarungan ini hanya menggunakan senjata kipas. Menyadari hal itu, Pandan Wangi cepat memindahkan kipasnya ke tangan kiri. Lalu, tangan kanannya segera mencabut pedang yang bertengger di punggung.
Sret!
Cring...!
Bet!
Secepat pedangnya tercabut, secepat kilat pula Pandan Wangi mengebutkan pedang yang bernama Naga Geni ke arah salah seorang lawan yang berada di depan. Begitu cepatnya kebutan yang dilakukan Pandan Wangi, sehingga orang berbaju hijau daun itu jadi terkejut setengah mati. Tak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindar.
"Hih!"
Cepat-cepat tongkatnya dikebutkan, menangkis tebasan pedang berwarna hitam itu. Tak pelak lagi, dua senjata berpamor dahsyat beradu keras, hingga menimbulkan pijaran api disertai ledakan dahsyat menggelegar.
"Akh...!"
Terdengar pekikan keras agak tertahan. Tampak tongkat pendek berujung bulan sabit berwarna kuning keemasan itu mencelat tinggi ke udara. Sementara orang berbaju hijau daun itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi tangan kanannya. Wajahnya seketika jadi memucat. Sementara Pandan Wangi sudah bersiap hendak melakukan serangan. Tapi tiba-tiba saja...
"Hiyaaat...!"
Bet!
Bagaikan kilat, si Kipas Maut melompat cepat sambil mengebutkan pedang ke arah leher laki-laki separuh baya berbaju hijau daun yang sudah tidak bersenjata lagi. Begitu cepat serangannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi orang itu untuk bisa menghindar. Dan....
Cras!
"Aaa...!"
Darah seketika muncrat keluar begitu Pedang Naga Geni membabat dada orang berbaju hijau daun itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang sobek cukup lebar berlumuran darah. Hanya sebentar dia mampu bertahan berdiri pada kedua kakinya, tak berapa lama kemudian jatuh terguling dan menggelepar ditanah meregang nyawa. Darah semakin banyak keluar dari dadanya yang terbelah sangat lebar oleh Pedang Naga Geni andalan si Kipas Maut itu.
"Keparat...!" geram laki-laki setengah baya satunya lagi yang mengenakan baju warna merah.
Sementara Pandan Wangi sudah memutar tubuh sambil menyilangkan kedua senjata mautnya di depan dada. Tatapan mata gadis itu demikian tajam. Dengan dua senjata maut tergenggam di tangan, Pandan Wangi bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Begitu tegar dan angker tampaknya, sehingga membuat laki-laki separuh baya berbaju merah itu jadi bergetar hatinya. Tapi, dia jadi mendesis geram saat melihat temannya sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan dada terbelah bergenang darah.
"Setan...! Kubunuh kau, Keparat...!" geram laki-laki setengah baya berbaju merah itu berang. "Hiyaaat...!"
Dengan hati yang diliputi kemarahan, laki-laki separuh baya itu cepat melompat menyerang Pandan Wangi. Tongkatnya dikebutkan kuat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun si Kipas Maut itu masih tetap berdiri tegak, dengan mata menyorot tajam memperhatikan gerakan tongkat berujung bulat sabit yang berkelebat cepat di depannya.
"Hih!"
Tring!
Begitu ujung tongkat berbentuk bulan sabit itu tepat berada di depan dada, Pandan Wangi langsung menghentakkan kedua senjatanya. Maka, tongkat berujung bulan sabit itu jadi terjepit. Dan secepat itu pula kakinya bergerak menghentak ke depan. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Pandan Wangi, sehingga laki-laki separuh baya itu tidak sempat lagi menghindar.
Diegkh!
"Aaakh...!"
Memang tendangan yang dilakukan Pandan Wangi begitu keras, sehingga membuat lawan terpental ke belakang sekitar dua batang tombak jauhnya. Tubuhnya jatuh terguling di tanah. Sementara Pandan Wangi sudah melompat cepat. Langsung pedangnya dibabatkan di saat laki-laki separuh baya itu bangkit berdiri. Begitu cepat serangannya, sehingga tak ada lagi kesempatan bagi lawan untuk menghindar.
"Hiyaaat...!"
Cras!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar membelah kesunyian malam ini. Ujung pedang Pandan Wangi tepat merobek batang leher laki-laki separuh baya itu. Seketika, darah muncrat deras sekali. Hanya sebentar dia mampu bertahan di atas kedua kakinya, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Darah terus bercucuran dari tenggorokannya. Tak berapa lama kemudian, sudah tak terlihat lagi gerakan apa pun. Sementara Pandan Wangi berdiri tegak menatap tajam lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi.
"Pandan...!"
"Oh...?!"
Pandan Wangi cepat memutar tubuh ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya. Bibirnya tersenyum melihat Rangga sudah berdiri di depannya. Pendekar Rajawali Sakti kelihatan tenang tanpa sedikit pun mengalami kekurangan. Gadis itu cepat mengedarkan pandangan ke belakang Pendekar Rajawali Sakti. Keningnya jadi berkerut dan matanya menyipit begitu melihat wajah Rangga lagi.
"Ke mana lawanmu?" tanya Pandan Wangi.
"Pergi," sahut Rangga kalem.
"Kau biarkan mereka pergi begitu saja, Kakang...?"
"Mereka langsung lari melihat kau berhasil menewaskan dua orang temannya," kata Rangga memberitahu.
"Kau pasti tidak bersungguh-sungguh bertarung tadi," nada suara Pandan Wangi agak mendengus.
Rangga hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak bersungguh-sungguh dalam pertarungannya tadi. Kalau dia mau, tidak lebih dari dua jurus saja sudah bisa melumpuhkan dua orang lawan. Tapi hal itu memang disengaja. Rangga memang tidak pernah menewaskan lawan tanpa diketahui apa sebabnya. Lain halnya dengan Pandan Wangi yang selalu mengambil tindakan tegas pada lawan-lawannya. Terlebih lagi, kalau sudah yakin jika lawannya punya maksud buruk dan ingin membunuhnya. Gadis itu tak segan-segan lagi mengirimkan ke neraka, jika mereka bersungguh-sungguh hendak membunuhnya.
"Dua orang saja yang tewas, rasanya sudah cukup membuat mereka berpikir tentang kita, Pandan," kilah Rangga, terdengar lembut nada suaranya.
"Aku tidak mengerti, kenapa mereka tidak menginginkan kita berada di sini? Bahkan begitu ingin membunuh kita, Kakang?" tanya Pandan Wangi seperti bicara pada dirinya sendiri.
Sedangkan Rangga hanya diam saja sambil mengangkat bahunya sedikit. Kata-kata Pandan Wangi barusan merupakan satu pertanyaan yang belum bisa dijawabnya sendiri saat ini.
"Aku yakin ada sesuatu yang terjadi di Lembah Tangkar ini, Kakang," duga Pandan Wangi.
"Memang itu yang ada di kepalaku saat ini, Pandan," Rangga menanggapi dugaan si Kipas maut itu.
"Dan surat itu...?"
"Semula memang kurang jelas maksudnya. Tapi sekarang aku yakin kalau orang yang bernama Sudra meminta bantuan pada kita. Hanya saja, kita belum tahu bantuan yang diinginkannya," sahut Rangga.
"Aku rasa, kita akan tahu kalau bisa bertemu orang yang bernama Sudra, Kakang."
"Memang. Tapi tampaknya tidak mudah untuk menemuinya," timpal Rangga.
Pandan Wangi terdiam. Disimpannya kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung, dan diselipkan Kipas Maut ke balik sabuk yang melilit pinggang rampingnya. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri. Mereka sama-sama memandang ke arah lembah yang bertaburkan cahaya lampu pelita.
"Rasanya tidak mungkin kita memasuki lembah itu lagi, Kakang," gumam Pandan Wangi.
Rangga hanya diam saja tanpa memalingkan mukanya sedikit pun dari Lembah Tangkar. Dari tempat mereka berada saat ini, memang cukup leluasa memandang ke arah lembah yang berada di bawah sana. Tempat ini memang cukup tinggi, karena berada di lereng bibir lembah, dan tidak seberapa jauh dari bangunan batu yang merupakan sebuah gerbang masuk ke dalam kota di Lembah Tangkar itu.
"Kakang tahu, siapa orang yang bernama Sudra itu?" tanya Pandan Wangi seraya berpaling menatap pemuda tampan berbaju rompi putih di sampingnya.
"Tidak," sahut Rangga, tetap tidak berpaling sedikit pun.
"Kau tidak kenal, tapi kenapa dia mengenal dan mengirimkan surat kepadamu, Kakang? Dari mana dia tahu namamu? Sedangkan kebanyakan orang hanya mengenalmu sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan di dalam surat itu, nama aslimu disebutkan," kata Pandan Wangi lagi menduga-duga.
Sedangkan Rangga hanya diam saja. Terlalu sulit bagi Pandan Wangi menerka jalan pikiran Pendekar Rajawali Sakti saat ini.
"Dari mana sebenarnya kau dapatkan surat itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi.
"Seorang kurir. Dia datang ke Istana Karang Setra, dan Danupaksi yang menerima surat itu. Seorang kurir istana menyampaikannya padaku, ketika menginap di Desa Talang Gati," jelas Rangga tentang surat yang diterimanya.
"Tidak banyak orang yang mengenalmu sebagai Raja Karang Setra, Kakang," ujar Pandan Wangi, agak bergumam nada suaranya.
Rangga berpaling perlahan menatap gadis di sebelahnya. Sedangkan Pandan Wangi tetap memandangi Pendekar Rajawali Sakti, seakan-akan ingin menembus jalan pikiran Rangga dari sorot matanya. Tapi memang terlalu sulit, karena sinar mata Pendekar Rajawali Sakti demikian datar. Sepertinya tidak menyiratkan sesuatu di dalamnya.
"Apa pendapatmu tentang orang yang bernama Sudra, Pandan?" tanya Rangga.
"Sulit menduganya, Kakang," sahut Pandan Wangi. "Tapi mungkin juga punya hubungan di istana, atau pernah melihatmu di Istana Karang Setra. Sehingga dia bisa mengetahui tentang dirimu yang sebenarnya."
"Kemungkinan itu memang ada, Pandan. Tapi siapa orangnya yang bisa bebas keluar masuk di Istana Karang Setra...?" Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Terlalu banyak, Kakang. Bukan hanya para pembesar, para adipati, atau petinggi-petinggi kerajaan yang bisa keluar masuk istana. Bahkan para pekerja rendahan dan rakyat juga bebas keluar masuk istana. Bukankah itu peraturan yang kau berikan, agar tidak ada jurang pemisah di antara petinggi dan rakyat...? Jadi, siapa saja bisa dan mungkin melihatmu sedang duduk di Singgasana. Bahkan mengenalimu sebagai Pendekar Rajawali Sakti," jelas Pandan Wangi, menjabarkan keadaan di dalam Istana Karang Setra.
Sedangkan Rangga hanya diam saja membisu. Tidak dibantah sedikit pun semua uraian yang dikemukakan gadis ini. Apalagi menyalahi. Semua yang dikatakan Pandan Wangi memang benar pada kenyataannya. Dia memang tidak ingin ada jurang pemisah di antara pembesar dan petinggi kerajaan dengan rakyat. Jadi, tidak ada larangan bagi siapa saja, dan dari golongan mana saja, untuk masuk ke dalam istana. Dan itu berarti bisa siapa saja mengenali dirinya sebagai Raja Kerang Setra, juga sebagai seorang pendekar yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebaiknya kita tetap berada di sekitar Lembah Tangkar ini, Kakang. Sambil mencari keterangan, apa sebenarnya yang sedang terjadi di sini," usul Pandan Wangi lagi.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
"Tapi yang lebih penting lagi, kita harus bisa mengetahui siapa Sudra itu. Dan untuk apa mengirim surat yang tidak jelas maksudnya padamu, Kakang," tambah Pandan Wangi lagi.
Rangga tetap diam membisu. Tapi kepalanya terangguk-angguk perlahan sekali, sehingga hampir tidak terlihat gerakannya.

***

60. Pendekar Rajawali Sakti : Badai Di Lembah TangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang