BAGIAN 6

580 25 0
                                    

Brak! Meja dari kayu jati cukup tebal, seketika hancur berkeping-keping terhantam pukulan Rangga yang begitu keras. Bukan hanya Pandan Wangi saja yang terkejut, tapi Ki Kuwu yang berdiri dekat Pendekar Rajawali Sakti juga sampai terlompat kaget. Tampak seluruh tubuh Rangga bergetaran bersimbah keringat. Kedua bola matanya memerah, dan gerahamnya bergemeletuk menahan amarah yang meluap-luap dalam dada.
Kematian Raden Suryapati memang membuat jiwa Pendekar Rajawali Sakti jadi terguncang. Pandan Wangi sendiri tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Sungguh belum pernah dilihatnya Rangga begitu marah seperti ini. Gadis itu merasa kecut juga hatinya, sehingga hanya bisa diam, tak mengeluarkan suara sedikit pun.
"Katakan sejujurnya! Apa sebenarnya yang terjadi di sini, Ki Kuwu...?" desis Rangga, agak bergetar suaranya. Jelas sekali dari nada suaranya, Pendekar Rajawali Sakti menahan amarah yang hampir tak tertahankan lagi.
Sedangkan Ki Kuwu tampak gemetar melihat raut wajah Rangga begitu tegang, dengan sinar mata memerah berapi-api. Sementara, Pandan Wangi yang berdiri agak ke sudut hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat sesuatu untuk meredakan amarah Pendekar Rajawali Sakti. Dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kemarahan Rangga langsung memuncak begitu menyadari orang yang mengaku berjuluk Bayangan Setan Merah ternyata adalah Raden Suryapati, yang telah diangkatnya sebagai saudara. Mengingat persahabatan yang cukup dekat antara kedua orang tua mereka dahulu, jelas membuat hati Rangga terpukul.
"Aku bisa lebih kejam dari mereka, Ki Kuwu," desis Rangga lagi. "Katakan, di mana Sudra berada, dan siapa yang ada dibalik semua ini...?"
"Aku.... Aku...," suara Ki Kuwu tersendat dikerongkongan.
Prak! Lagi-lagi Rangga menghantamkan pukulan ke dinding ruangan ini hingga jebol. Seluruh tubuh Ki Kuwu semakin basah oleh keringat. Dan wajahnya begitu pucat, bagai mayat. Pandan Wangi sendiri jadi bergetar melihat kemarahan Rangga. Baru kali ini dilihatnya Pendekar Rajawali Sakti demikian marah, sehingga bagai tidak mengenal lagi siapa dirinya.
"Kakang...," perlahan sekali suara Pandan Wangi, dan terdengar agak bergetar.
Gadis itu melangkah perlahan menghampiri Rangga yang berdiri kaku membelakangi jendela. Langkahnya baru berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi didepan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa saat mereka saling berpandangan. Dan beberapa kali pula terlihat Rangga menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang terasa begitu sesak, bagai terhimpit beban yang teramat berat.
"Kita tidak bisa menyelesaikan masalah dengan amarah, Kakang. Kendalikan dirimu. Aku bisa mengerti perasaanmu, Kakang," bujuk Pandan Wangi berusaha tenang dan lembut.
"Aku tidak mengerti, Pandan. Kenapa Suryapati memakai julukan Bayangan Setan Merah...? Dari mana ajian yang begitu dahsyat diperolehnya? Dia seperti lupa padaku. Dia tidak kenal lagi denganku. Bahkan begitu bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Apa sebenarnya yang terjadi, Pandan? Kenapa semua...?" ucapan Rangga terputus. Pendekar Rajawali Sakti mendongakkan kepala sambil menghembuskan napas panjang dan terasa begitu berat sekali.
Pandan Wangi hanya bisa menelan ludah saja untuk membasahi tenggorokannya yang mendadak jadi terasa begitu kering, bagai berada di tengah padang pasir yang luas tak bertepi.
"Semua akan jelas kalau orang yang bernama Sudra itu ada di sini...," ujar Rangga lagi. Nada suaranya terdengar begitu gemas saat menyebut nama Sudra.
Memang, kalau tidak karena surat yang dikirim dari orang yang bernama Sudra itu, tidak mungkin mereka berada di Lembah Tangkar ini. Sepucuk surat yang menyimpan suatu teka-teki, dan sudah meminta begitu banyak korban nyawa.
"Apa yang akan kau lakukan jika Sudra ada di sini, Pendekar Rajawali Sakti?" tanya Ki Kuwu tiba-tiba.
Rangga dan Pandan Wangi langsung menatap orang tua itu dalam-dalam. Sedangkan Ki Kuwu malah duduk di tepi dipan bambu yang ada di sudut ruangan ini. Tubuhnya tidak lagi gemetar seperti tadi. Dan raut wajahnya juga sudah tidak memucat lagi. Ki Kuwu rupanya sudah bisa menguasai dirinya.
"Kau tahu di mana dia, Ki?" tanya Pandan Wangi, dibuat lembut nada suaranya.
"Memang tidak ada seorang pun yang tahu, siapa itu Sudra," kata Ki Kuwu, perlahan suaranya.
"Kau bilang dia anakmu. Kenapa sekarang kau katakan tidak ada seorang pun yang tahu...? Mana yang benar, Ki?" desak Pandan Wangi tidak mengerti.
"Sudah lama aku hidup sendiri, setelah istriku meninggal dua puluh lima tahun yang lalu. Istriku sama sekali tidak meninggalkan anak. Sedangkan aku sangat mendambakan keturunan yang bisa mewariskan semua yang kumiliki sekarang ini," masih terdengar pelan suara Ki Kuwu.
Sementara itu Rangga dan Pandan Wangi menghampiri perlahan. Dan mereka duduk didipan bambu yang hanya beralaskan selembar tikar yang sudah agak lusuh. Sedangkan Ki Kuwu masih tetap duduk dipinggir dipan bambu itu. Kepalanya agak tertunduk, tapi sebentar kemudian terangkat. Tatapan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang masih terlihat tajam.
"Kenapa kau membohongi kami, Ki? Kenapa kau tidak berkata terus terang sejak semula...?" tanya Rangga bernada mendesak.
"Maaf, aku terpaksa melakukan itu karena...."
"Karena apa, Ki?" desak Rangga cepat begitu Ki Kuwu memutuskan ucapannya.
Belum juga bisa meneruskan kata-katanya, mendadak saja melesat sebuah benda berwarna kuning kehijauan. Rangga yang melihat benda itu, melesat cepat bagai kilat ke arah Ki Kuwu. Tangan kirinya mendorong dada orang tua itu, dan tangan kanannya mengibas ke arah benda kuning kehijauan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Tap!
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan Rangga, sehingga Ki Kuwu berhasil selamat dari benda yang meluncur cepat bagai kilat itu. Dua kali Rangga berputaran, lalu manis sekali mendarat di lantai ruangan ini. Sekilas matanya melirik Ki Kuwu yang terjajar bersandar ke dinding.
"Tetap di sini, Pandan. Dan tetap waspada!" seru Rangga.
"Hup!"
"Baik, Kakang...."
Belum juga habis sahutan Pandan Wangi, Rangga sudah melesat cepat keluar dari ruangan ini melewati jendela yang terbuka lebar. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga ketika Pendekar Rajawali Sakti melesat hanya bayangan saja yang terlihat. Hanya dengan ujung jari kaki Rangga menyentuh tanah, kemudian kembali melenting tinggi keudara. Pendekar Rajawali Sakti kemudian hinggap di atas atap rumah Ki Kuwu yang berukuran cukup besar. Pada saat itu matanya menatap dua bayangan berkelebat cepat menerobos lebatnya pepohonan dibagian belakang rumah ini.
"Hup! Yeaaah..!"
Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga terus melompat cepat mengejar dua bayangan yang tampak berkelebat hilang di dalam lebatnya pepohonan. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan begitu kakinya menyentuh tanah. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga seakan-akan sepasang kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali.
"Heps! Hiyaaa...!"

60. Pendekar Rajawali Sakti : Badai Di Lembah TangkarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang