BAGIAN 1

1K 29 0
                                    

"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking terdengar menyayat, memecah kesunyian pagi buta ini. Jeritan itu datang dari balik sebuah batu yang begitu besar di tengah-tengah hutan lebat ini. Belum lama suara jeritan itu menghilang, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat melesat keluar dari balik batu itu.
Tapi, mendadak saja puluhan anak panah berhamburan keluar dari balik pepohonan ke arah bayangan putih itu. Sosok berbaju serba putih itu berjumpalitan di udara, menghindari panah-panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya.
Cring!
Panah-panah langsung berguguran saat orang berpakaian serba putih itu mengibaskan pedangnya yang telah tercabut dari warangkanya. Pedang itu seakan-akan melindungi tubuhnya dari hujan anak panah. Tak ada satu batang anak panah pun yang berhasil menyentuh tubuhnya. Kakinya kemudian mendarat lunak sekali di tanah, begitu puluhan anak panah berhenti berhamburan mengancamnya. Dia berdiri tegak dengan sinar mata tajam memandangi sekitarnya.
"Keluar kalian, Tikus-tikus Busuk...!" Lantang sekali suaranya. Begitu keras dan menggelegar, membuat pepohonan di sekitarnya bergetar, sehingga daun-daunnya berguguran.
Pada saat itu, dari atas sebatang pohon yang cukup besar dan tinggi meluruk turun seorang laki-laki berperawakan tinggi besar. Bajunya berwarna hijau, dipadu manik-manik dari batu merah. Sebilah golok bergagang gading terselip dipinggangnya. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang. Tatapan matanya begitu tajam, menyorot lurus ke bola mata pemuda berbaju serba putih di depannya. Beberapa saat mereka terdiam tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Keadaan begitu sunyi, hanya desir angin saja yang terdengar.
Sementara di ufuk timur, semburat merah sang surya terlihat sudah membias. Di pagi yang seharusnya cerah dan ramai oleh kicauan burung ini jadi terasa begitu sunyi. Seakan-akan, burung-burung pun ikut merasakan ketegangan yang saat ini terjadi. Begitu sunyinya, hingga detak jantung dua orang yang saling berhadapan itu terdengar jelas.
Perlahan mereka sama-sama menggeser kaki lebih mendekat, dan baru berhenti setelah di antara mereka berjarak beberapa langkah lagi. Saat itu dari balik pohon dan bebatuan bermunculan orang-orang bersenjata. Sebentar saja, hutan yang semula sunyi sepi, sudah banyak dipenuhi orang yang menghunus senjata berbagai bentuk. Dan mereka semua mengepung pemuda berbaju putih itu. Tak ada celah sedikit pun bagi pemuda itu untuk meloloskan diri. Jumlah mereka begitu banyak. Herannya, pemuda berbaju putih itu kelihatan tenang, walaupun tatapan matanya semakin menyorot tajam.
"Kau sudah terlalu banyak membuat kekacauan, Birawa. Sudah saatnya pertumpahan darah ini kau hentikan," dingin sekali nada suara orang berbaju hijau itu.
"Aku juga sudah muak oleh tingkah kalian yang memaksaku mengotori tangan dengan darah!" balas pemuda berbaju putih yang dipanggil Birawa, tidak kalah dinginnya.
"Apa pun alasannya, kau harus ikut mempertanggungjawabkan perbuatanmu!"
"Apa yang harus kupertanggungjawabkan...? Justru kau yang harus bertanggung jawab atas nyawa-nyawa mereka, Gagak Ireng!" keras sekali suara Birawa. Ujung jari pemuda itu agak bergetar menuding laki-laki tegap berbaju hijau di depannya.
Mendapat tudingan begitu, wajah laki-laki berbaju hijau yang bernama Gagak Ireng jadi memerah. Gerahamnya bergemeretak, menahan kemarahan yang amat sangat dada. "Kau memang keras kepala, Birawa. Jangan menyesal kalau aku terpaksa harus menggunakan kekerasan!"
Gagak Ireng segera menjentikkan jari tangannya. Saat itu juga, orang-orang yang sudah mengepung tempat itu segera bergerak semakin rapat. Golok dan pedang mereka berkilatan tertimpa cahaya matahari yang baru saja muncul di ufuk timur.
"Tunggu! Kalian tidak perlu mengorbankan nyawa untuk orang gila ini!" sentak Birawa, lantang menggelegar.
"Jangan takut! Serang saja bocah edan itu...!" seru Gagak Ireng tampak berang.
Orang-orang yang sudah mengepung rapat tempat itu segera berlarian, meluruk ke arah pemuda berbaju putih ini Pekik dan teriakan-teriakan pembangkit semangat bertempur, terdengar dahsyat bagai hendak meruntuhkan hutan yang tidak begitu lebat ini. Mereka bergerak cepat bagai serombongan semut yang melihat gula.
"Edan...! Kalian semua sudah buta!" geram Birawa melihat lebih dari lima puluh orang meluruk hendak mengeroyoknya.
Memang tak ada pilihan lain lagi bagi Birawa. Melihat begitu banyak orang berlarian dari segala penjuru dengan senjata terhunus di tangan, maka dia harus bertindak. Birawa langsung merapatkan kedua tangannya di depan dada. Lalu cepat sekali tangannya dihentakkan hingga merentang lebar ke samping.
"Yeaaah...!"
Begitu tubuhnya memutar dan kembali merapatkan kedua telapak tangan di depan dada, seketika itu juga bertiup angin kencang. Badai topan yang sangat dahsyat seketika itu juga terjadi. Akibatnya, orang-orang yang tadi berlarian hendak mengeroyok pemuda itu jadi berpelantingan bagai daun-daun kering terhempas angin.
Jeritan-jeritan panjang dan keluhan kesakitan terdengar saling susul di antara deru angin topan yang semakin dahsyat. Tubuh-tubuh berpentalan dan beterbangan bersama batu-batu serta pepohonan yang tercabut dari akarnya. Tidak sedikit pula yang sudah menggeletak tertindih batu atau pepohonan. Saat itu juga, hutan yang semula tenang berubah bagai neraka.
"Hep!"
Birawa kembali merentangkan kedua tangan ke samping. Kemudian dia melakukan beberapa gerakan di depan dada. Dan begitu kedua telapak tangannya kembali merapat di depan dada, badai dahsyat itu seketika berhenti. Perlahan Birawa melepaskan kedua telapak tangannya yang menyatu rapat di depan dada tadi.
"Kalian memaksaku bertindak demikian," desah Birawa seakan menyesal. Pemuda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Hutan yang semula kelihatan tenang dan damai, kini jadi hancur berantakan dalam beberapa saat saja. Pepohonan bertumbangan saling tumpang tindih. Tak sedikit tubuh bergelimpangan terhimpit pohon dan bebatuan. Pandangan Birawa kemudian terpaku pada Gagak Ireng yang masih tetap tegak, meskipun berdirinya sudah bergeser sekitar sepuluh langkah dari tempat semula.
"Sungguh dahsyat aji 'Badai Membelah Bumi' yang kau miliki, Birawa. Tapi belum cukup untuk mengurungkan niatku," desis Gagak Ireng dingin menggeletar.
"Hm...," Birawa hanya menggumam saja. Kembali pandangan pemuda itu beredar ke sekeliling.
Tak ada seorang pun yang bangkit berdiri lagi. Lebih dari lima puluh orang sudah bergeletakan tak bernyawa lagi. Mereka tewas karena tidak kuat menahan gempuran angin topan yang diciptakan Birawa tadi. Sungguh suatu pemandangan yang tidak sedap dinikmati. Birawa menghembuskan napas panjang, lalu kembali mengarahkan perhatiannya pada Gagak Ireng yang kini sudah melangkah mendekatinya. Dan jarak mereka sekarang tinggal beberapa langkah lagi.
"Sudah cukup banyak korban yang kau timbulkan, Birawa. Dan akulah yang akan menghentikanmu," desis Gagak Ireng lagi. Masih tetap dingin nada suaranya.
"Kau yang harus bertanggung jawab atas kematian mereka," desah Birawa.
"Kita tentukan sekarang, Birawa. Kau, atau aku yang akan menyusul mereka." Setelah berkata demikian, Gagak Ireng segera membuka jurus kembangan penyerangan.
Sedangkan Birawa masih tetap berdiri tegak. Sedikit pun matanya tidak berkedip memperhatikan laki-laki separuh baya bertubuh tegap itu.
"Tahan seranganku, Birawa! Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!" Begitu Gagak Ireng melompat menerjang, Birawa langsung melesat cepat sekali ke depan. Kedua tangannya menjulur lurus, mengancam ke arah lawan. Mereka sama-sama melayang di udara dengan kedua telapak tangan terbuka menjulur lurus ke depan. Dan pada satu titik tengah....
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Glarrr!
Satu ledakan keras menggelegar dahsyat terjadi begitu dua pasang telapak tangan beradu keras di udara. Bunga-bunga api memercik ke segala arah akibat benturan itu. Tampak keduanya terpental balik ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Hampir bersamaan, mereka mendarat kembali.
Kemudian, dua orang yang bertarung itu kembali berlompatan berputar saling mendekat. Hampir bersamaan pula mereka berhenti berlompatan memutar, lalu sama-sama menghentakkan kedua tangan ke depan. Kembali terdengar ledakan keras menggelegar saat dua pasang telapak tangan bertemu pada titik tengah.
"Hih!" Gagak Ireng cepat menarik pulang tangannya, lalu cepat melontarkan satu pukulan keras menggeledek ke arah dada Birawa.
Tapi manis sekali pemuda itu mengegoskan tubuhnya, sehingga pukulan yang dilepaskan Gagak Ireng tidak menemui sasaran. Dua langkah Birawa mundur ke belakang. Dan pada saat itu, langsung dilepaskannya serangan balasan berupa tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Uts!" Gagak Ireng segera memiringkan tubuh ke kanan, menghindari tendangan kaki kiri Birawa. Bergegas kakinya digeser ke kanan sebelum Birawa sempat menarik kembali tendangannya. Dan dengan kecepatan bagai kilat, tangannya dihentakkan ke arah kaki yang berada di samping tubuhnya.
"Hih!" Bet!
Birawa yang menyangka bakal menerima serangan, cepat-cepat menarik kakinya sedikit. Lalu tanpa diduga sama sekali, kakinya berputar ke depan. Langsung kakinya dihentakkan kembali ke arah dada tanpa menyentuh tanah lebih dulu. Tentu saja gerakan yang begitu cepat dan sulit itu membuat Gagak Ireng jadi terperangah tidak percaya.
Desss!
"Akh...!" Gagak Ireng terpekik keras agak tertahan.
Deras sekali tubuh Gagak Ireng terpental ke belakang, dan menghantam sebatang pohon yang sudah doyong hampir roboh. Pohon itu seketika ambruk menimbulkan gemuruh menggetarkan. Gagak Ireng kembali bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang mendadak jadi terasa sesak.
"Setan...! Huh!" dengus Gagak Ireng. Sebentar napasnya ditarik dalam-dalam, dan dihembuskan kuat-kuat. Lalu dilakukannya beberapa gerakan tangan di depan dada, untuk mengusir rasa sesak yang memenuhi seluruh rongga dadanya.
Sementara Birawa berdiri tegak, seperti memberi kesempatan pada lawan untuk kembali siap melakukan pertarungan kembali.
Sret! Gagak Ireng mencabut senjatanya yang sejak tadi terselip di pinggang. Senjatanya berupa pedang berwarna hitam, tapi ujungnya bercabang dua seperti lidah ular. Mata pedang itu juga berkeluk seperti keris, dan pada satu sisinya tampak bergerigi. Segumpal asap tipis kehitaman tampak mengepul dari seluruh mata pedang itu.
"Hm...," Birawa menggumam perlahan. Pemuda itu menggeser kakinya beberapa langkah ke samping. Matanya tidak berkedip memandangi pedang hitam yang ujungnya bercabang dua itu. Dia tahu, pedang berkeluk seperti keris itu sangat dahsyat dan tidak bisa dianggap enteng. Terlebih lagi, asap yang mengepul dari mata pedang itu. Jelas, mengandung racun yang bisa membuat pernapasannya jadi tersumbat.
Dengan pedang anehnya yang mengepulkan asap beracun, Gagak Ireng jadi dikenal berjuluk Raja Pedang Racun. Dan tidak sedikit lawannya yang tewas di ujung pedangnya ini. Kebanyakan dari lawannya tidak sanggup menghadapi lebih dari sepuluh jurus. Bila asap hitam itu sudah sampai merasuk ke dalam paru-paru, tak ada yang sanggup lagi bertahan. Pertahanannya jadi goyah, karena napas terganggu. Maka dengan mudah Gagak Ireng akan menghentikan perlawanan lawan-lawannya.
Dan semua itu sangat disadari Birawa. Pemuda itu tidak sudi mati konyol di ujung pedang Gagak Ireng yang sudah terkenal kedahsyatannya. Tapi, dia juga tidak ingin Gagak Ireng terus mengejarnya seperti hewan buruan. Birawa sudah jemu menjadi buronan, dan senantiasa selalu menghadapi orang-orang yang ingin membunuhnya. Padahal, dia tidak ingin lagi tangannya berlumuran darah.
Sret! Cring!
Birawa juga segera mencabut pedangnya. Sebatang pedang yang memancarkan sinar putih keperakan. Pedangnya langsung disilangkan di depan dada. Sementara itu, Gagak Ireng sudah melangkah mendekati. Sesaat mereka saling menatap dalam jarak yang tidak begitu jauh. Kemudian....
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan mereka saling berlompatan menerjang. Masing-masing mengebutkan pedang ke depan, sehingga dua senjata yang memiliki pamor dahsyat saling beradu keras di udara. Denting senjata terdengar memekakkan telinga, disertai ledakan keras menggelegar. Bunga api memercik dari benturan kedua pedang itu, dan menyebar ke segala arah.
Kembali mereka bertarung dalam jarak rapat. Pedang mereka berkelebat cepat, saling sambar dan menangkis. Masing-masing mengerahkan seluruh kemampuan untuk menjatuhkan secepatnya. Jurus-jurus dahsyat dan andalan dikeluarkan. Begitu cepatnya gerakan-gerakan yang dilakukan, sehingga tubuh mereka seperti lenyap. Yang ada kini tinggal dua bayangan berkelebat saling sambar.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa, mereka sama-sama telah menghabiskan sepuluh jurus. Dan tampaknya, Birawa mulai terpengaruh asap kehitaman yang keluar semakin banyak dari pedang Gagak Ireng. Birawa juga merasakan pernapasannya mulai terganggu. Sehingga pemuda itu jadi tidak bisa lagi mengendalikan jurus-jurusnya.
"Mampus kau! Yeaaah...!" Sambil berteriak nyaring, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke dada Birawa. Dengan cepat sekali pedang pemuda berbaju putih itu ditarik dan dilintangkan di depan dada.
Trang! "Akh...!" Birawa tak dapat lagi menguasai pedangnya. Seketika itu juga pedangnya terpental jauh ke udara. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah mengebutkan pedangnya kembali ke arah perut. Begitu cepat serangannya, sehingga Birawa tak sempat lagi menghindar.
Cras!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Birawa terpekik. Darah langsung mengucur keluar dari perutnya yang sobek terbabat pedang Gagak Ireng. Birawa terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya yang sobek berlumuran darah. Kepalanya digeleng-gelengkan karena rasa pening mulai menghinggapi. Entah sudah berapa banyak asap hitam beracun itu dihirupnya. Dan pandangannya juga jadi nanar.
"Hiyaaat...!" Pada saat itu Gagak Ireng sudah melompat cepat sambil mengebutkan pedangnya. Sementara tak ada lagi waktu bagi Birawa untuk menghindar. Dan....
Crak!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar memecah kesunyian hutan ini, begitu ujung pedang Gagak Ireng kembali membelah dada Birawa. Maka darah pun kembali muncrat deras sekali. Tubuh pemuda itu semakin terhuyung limbung tak terkendali lagi. Sementara asap hitam beracun semakin banyak masuk ke dalam dada, sehingga membuatnya semakin sulit bernapas.
"Hih!" Meskipun lawannya sudah tidak berdaya lagi, tapi Gagak Ireng tidak puas sampai di situ saja. Pedangnya langsung dihunjamkan ke dada pemuda berbaju putih itu.
Tak ada lagi suara yang keluar dari mulut Birawa. Pedang berwarna hitam yang berkeluk bagai keris itu menghunjam dalam di dadanya, hingga tembus ke punggung. Birawa masih bisa berdiri beberapa saat. Dan begitu satu tendangan mendarat di dada, seketika tubuhnya jatuh tersungkur. Darah semakin banyak membanjiri tubuhnya. Sebentar tubuhnya menggelepar di tanah, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng berdiri tegak memandangi lawan yang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Pedangnya kemudian disarungkan kembali. Asap hitam pun langsung menghilang begitu pedang itu kembali tersimpan di dalam warangkanya.
"Hup!" Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat ke atas batu yang menjulang bagaikan bukit. Sebentar kakinya hinggap di atas batu itu, lalu cepat meluruk turun. Gerahamnya bergemeletuk melihat dua sosok tubuh tergeletak di tanah, di balik batu besar bagai bukit ini.
"Tenanglah kalian di sana. Si keparat itu sudah kubereskan," ujar Gagak Ireng perlahan.
Sebentar Gagak Ireng berdiri tegak di samping kedua tubuh tak bernyawa lagi itu, kemudian melangkah pergi dengan ayunan kaki cepat. Gagak Ireng terus berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja sudah jauh meninggalkan tempat pertarungan itu.

***

62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak IrengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang