BAGIAN 8

600 33 0
                                    

Sementara itu Gagak Ireng sudah tiba di rumahnya yang dikelilingi pagar batu yang tinggi dan tebal bagai benteng. Keningnya jadi berkerut begitu melihat pintu gerbang rumahnya terbuka lebar. Namun, tidak ada seorang pun yang terlihat menjaga di sana. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu melompat turun dari punggung kudanya dengan gerakan indah dan ringan bagai kapas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak di depan pintu gerbang tempat kediamannya.
Perlahan Gagak Ireng melangkah melewati pintu gerbang yang terbuka lebar. Kelopak matanya jadi terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di halaman depan. Bergegas kakinya diayun menuju ke beranda, begitu melihat Rapasak duduk lesu di tepian beranda depan. Pedang yang tergenggam di tangannya penuh berlumuran darah. Rapasak mengangkat kepalanya sedikit begitu mendengar suara langkah kaki menghampiri.
"Rapasak, apa yang terjadi di sini...?" Gagak Ireng langsung bertanya begitu dekat di depan adik angkatnya ini.
"Tidak ada lagi yang tersisa, Kakang...," pelan sekali suara Rapasak seraya mengedarkan pandangan ke sekitarnya.
Gagak Ireng juga mengedarkan pandangannya berkeliling. Entah berapa jumlah tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Di antara mayat-mayat itu terdapat mayat-mayat berseragam prajurit kadipaten. Bahkan ada juga yang berpangkat punggawa. Mereka bercampur saling tumpang-tindih dengan orang-orang berpakaian seperti layaknya kaum persilatan. Bau anyir darah begitu keras menusuk hidung, terbawa angin yang berhembus perlahan.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, Kakang," usul Rapasak, masih pelan suaranya.
Gagak Ireng masih terdiam membisu.
"Kita tidak punya kekuatan lagi. Semua sudah habis. Tak ada lagi yang tersisa," sambung Rapasak seraya bangkit berdiri. "Mereka sudah mengetahui siapa kita sebenarnya. Bahkan sudah tahu tujuan kita yang sesungguhnya di sini."
Gagak Ireng masih tetap diam membisu. Sungguh tidak disangka kalau akhirnya akan seperti ini. Suatu kehancuran siasat yang tidak pernah dibayangkan. Kini tak ada lagi pengikutnya yang tersisa. Dulu ketika gerombolannya digulung para pendekar Bukit Gantang, dia masih memiliki anak buah sedikitnya dua puluh orang. Tapi sekarang.... Tak satu pun yang tersisa lagi. Mereka semua tewas. Hanya Rapasak saja yang masih tetap bertahan hidup.
"Apa yang terjadi di sini, Rapasak? Bagaimana mereka bisa terbunuh semua?" tanya Gagak Ireng meminta penjelasan.
"Pendekar Rajawali Sakti dan pendekar-pendekar Bukit Gantang menyerbu ke sini, tidak lama setelah Kakang pergi. Panggilan itu hanya jebakan saja, Kakang. Tempat ini sudah terkepung prajurit. Kami mencoba bertahan, tapi mereka memang lebih kuat. Terlebih lagi, Pendekar Rajawali Sakti. Aku sendiri tidak sanggup membendung gempurannya," jelas Rapasak.
"Kenapa kau sendiri masih bisa hidup...?"
"Aku menyerah setelah tak ada lagi yang tersisa. Mereka akan menjemputku setelah Kakang tertangkap di istana," sahut Rapasak.
"Menjemput...? Apa maksudmu, Rapasak?"
"Kakang...," agak tersekat suara Rapasak. "Di belakang...."
Gagak Ireng memalingkan kepala begitu melihat pandangan Rapasak tertuju lurus ke belakang punggung melalui bahunya. Gagak Ireng jadi terbeliak begitu di belakangnya tahu-tahu sudah berkumpul puluhan prajurit. Tampak berdiri paling depan, Adipati Bayaga, Pendekar Rajawali Sakti, Kipas Maut, Balung Samodra, dan beberapa orang pendekar Bukit Gantang.
Perlahan Gagak Ireng memutar tubuhnya. Saat itu, Adipati Bayaga sudah melangkah maju didampingi Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka berhenti saat berjarak beberapa langkah lagi di depan Gagak Ireng dan Rapasak. Sedangkan para prajurit kadipaten dan jago-jago Bukit Gantang sudah menyebar, mengepung halaman depan yang cukup luas ini.
"Hanya ada satu pilihan, Gagak Ireng. Tak ada gunanya lagi melawan," tegas Adipati Bayaga.
"Phuih! Penyamun Bukit Tengkorak pantang menyerah!" dengus Gagak Ireng seraya menyemburkan ludahnya.
"Aku paling tidak suka melihat perusuh keras kepala berkeliaran di wilayahku," desis Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Hhh! Orang lain boleh terkencing-kencing mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap aku gentar mendengar gertakanmu!" dengus Gagak Ireng dingin.
"Gagak Ireng! Kuharap kau tidak membuat kesulitan pada dirimu sendiri. Kau tidak punya pilihan lain lagi. Menyerahlah, dan terima hukuman yang akan dijatuhkan pengadilan nanti," ujar Rangga, dingin dan tegas sekali.
"Jangan banyak omong! Majulah kalau ingin menangkapku!" bentak Gagak Ireng nekat.
Sret!
Gagak Ireng langsung mencabut pedang kebanggaannya. Sebilah pedang berbentuk aneh yang bagian ujungnya bercabang dua, dan memiliki tujuh kelukan. Dari mata pedang itu mengepulkan asap tipis agak kehitaman. Rangga sedikit berkerut keningnya melihat pamor pedang si Penyamun Bukit Tengkorak yang begitu dahsyat.
"Mundurlah kalian. Pedang itu mengeluarkan asap beracun," ujar Rangga pelan seraya melirik Pandan Wangi dan Adipati Bayaga.
Tanpa diminta dua kali, Pandan Wangi menarik kakinya ke belakang diikuti Adipati Bayaga. Mereka memang sudah melihat kedahsyatan pedang itu ketika Gagak Ireng bertarung melawan Ki Gandapara. Dan memang, asap hitam yang keluar dari pedang itu membuat pernapasan jadi agak terganggu. Adipati Bayaga memberi isyarat pada prajuritnya untuk menyingkir menjauh. Prajurit-prajurit yang tadinya mengepung rapat, perlahan bergerak menjauhi tempat itu.
Sementara, Rangga masih berdiri di tempatnya tanpa bergeming sedikit pun. Sedangkan Gagak Ireng sudah melintangkan pedang di depan dada. Tampak bibirnya bergerak-gerak mendengungkan suara perlahan seperti lebah.
"Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, Pendekar Rajawali Sakti. Majulah, biar batang lehermu cepat bisa kupenggal," desis Gagak Ireng dingin.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau tidak ada gunanya lagi membujuk Gagak Ireng agar menyerah. Si Penyamun Bukit Tengkorak itu sudah benar-benar nekat, dan tak ada lagi pilihan baginya. Bagi Gagak Ireng, lebih baik mati di dalam pertarungan daripada menyerah menjadi pesakitan yang tak berdaya apa-apa. Dan itu suatu tekad wajar di kalangan rimba persilatan.
Rangga juga bisa menyadari, sehingga tidak lagi mencoba membujuk. Di kalangan persilatan, mati dalam pertarungan lebih terhormat daripada mati di tangan algojo tanpa dapat berbuat sesuatu. Dan rupanya, Gagak Ireng memang memilih bertarung. Sehingga Rangga terpaksa harus melayaninya agar Gagak Ireng lebih terhormat sebagai seorang pesilat sejati.
"Tahan seranganku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
"Hup!"
Bagaikan kilat Gagak Ireng melompat menyerang. Pedangnya dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Tapi hanya sedikit menarik tubuhnya ke belakang, tebasan pedang berujung cabang dua itu berhasil dielakkan Rangga. Ujung pedang itu hanya lewat sedikit saja di depan dadanya. Tapi rupanya Gagak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan cepat dan dahsyat.
Pedangnya berkelebatan cepat dan kuat, sehingga seperti lenyap dari pandangan. Hanya kelebatan bayangan hitam saja yang terlihat mengurung hampir seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Gagak Ireng sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya, tapi tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran.
Pendekar Rajawali Sakti terlalu gesit untuk didekati. Gerakan-gerakannya begitu lincah dan ringan, seakan-akan kedua kakinya tidak menyentuh tanah sama sekali. Belum lagi gerakan tubuhnya yang meliuk-liuk indah bagaikan belut. Begitu sulit dan licin, membuat Gagak Ireng jadi kelabakan sendiri. Apalagi setelah menyadari kalau setiap serangan yang dilakukan tidak membawa hasil sedikit pun.
"Gila...! Dia tidak terpengaruh pada asap racun pedangku!" dengus Gagak Ireng dalam hati.
Entah sudah berapa puluh jurus berlalu. Tapi pertarungan masih juga berlangsung sengit. Sementara Rangga seperti sengaja hendak menguras habis seluruh tenaga dan kemampuan lawannya. Hanya sekali-sekali saja Pendekar Rajawali Sakti melakukan serangan balasan. Itupun sudah membuat Gagak Ireng jadi kelabakan menghindarinya. Bahkan entah sudah berapa kali harus menerima pukulan maupun tendangan yang begitu keras, meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Sehingga Gagak Ireng masih dapat melanjutkan pertarungannya.
"Hup...!" Tiba-tiba saja Gagak Ireng melentingkan tubuh berputar ke belakang. Lalu, manis sekali kakinya mendarat sekitar dua batang tombak dari Rangga.
Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak mengejar, dan hanya berdiri saja memperhatikan. Kini, Gagak Ireng sudah kembali bersiap dengan suatu ajian andalannya. Beberapa kali pedangnya dikebutkan di depan dada. Maka asap hitam yang keluar dari pedang Gagak Ireng semakin banyak menggumpal. Kemudian pedangnya dihentakkan lurus ke depan. Sehingga asap hitam yang keluar dari pedang berbentuk aneh itu menggumpal membentuk bulatan di ujungnya. Perlahan pedangnya diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala. Lalu...
"Hiyaaa...!" Wukkk! Cepat sekali Gagak Ireng mengebutkan pedangnya kembali ke depan sambil berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, bulatan asap hitam di ujung pedangnya terlontar cepat bagaikan kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Namun sedikit pun pemuda berbaju rompi putih itu tidak bergeming. Bahkan tetap berdiri tegak menerima serangan itu. Tak pelak lagi, asap hitam itu menghantam tubuh Rangga. Bahkan kini menyelubunginya, sehingga seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terselimut asap hitam yang pekat dan menggumpal. Tapi beberapa saat kemudian....
"Aji 'Cakra Buana Sukma'. Yeaaah....!" Begitu kedua tangan Rangga merentang lebar ke samping, seketika itu juga membersit kilatan cahaya biru terang menyilaukan. Bersamaan dengan itu, terdengar ledakan keras menggelegar. Asap hitam yang menggumpal menyelimuti tubuh Rangga, langsung berpendar habis bagai tertiup angin. Dan kini seluruh tubuh Rangga berselimut sinar biru menyilaukan.
"Edan....!" desis Gagak Ireng terkejut melihat hasil serangannya dapat mudah dimusnahkan begitu saja. Belum lagi Gagak Ireng bisa menghilangkan keterkejutannya, cepat sekali Rangga menghentakkan kedua tangan ke depan. Maka sinar biru yang menyelubungi tubuhnya langsung berpindah ke telapak tangan. Dan kini malah melesat cepat menghantam tubuh Gagak Ireng yang masih berdiri terpaku, bagai tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
"Aaakh...!" Gagak Ireng menjerit keras begitu cahaya biru menyelubunginya. Tubuhnya menggeliat, berteriak-teriak berusaha keluar dari selubung sinar biru itu. Tapi Rangga terus mengeluarkan aji Cakra Buana Sukma nya. Sinar biru yang terus keluar dari kedua telapak tangannya semakin banyak menyelimuti seluruh tubuh Gagak Ireng.
Perlahan-lahan tubuh Gagak Ireng tertarik mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan namun pasti, Gagak Ireng terus bergerak mendekat sambil menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri. Tapi semakin keras berusaha, semakin kuat pula tenaganya tersedot. Dan Gagak Ireng sama sekali tidak menyadari akibat pengaruh aji 'Cakra Buana Sukma' yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Hingga, tubuhnya semakin dekat dengan pemuda berbaju rompi putih itu, masih juga belum disadarinya.
"Aaakh...!" lagi-lagi Gagak Ireng menjerit kencang melengking tinggi. Kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti kini sudah menempel di dada Gagak Ireng. Dan sinar biru yang keluar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti semakin banyak saja menyelimuti tubuh Gagak Ireng.
"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan tangannya dengan keras. Akibatnya, tubuh Gagak Ireng terlontar jauh ke belakang, lalu keras sekali ambruk ke tanah. Laki-laki separuh baya itu berusaha bangkit berdiri, tapi seluruh tenaganya sudah terkuras habis. Dan dia sama sekali tidak bisa bangkit berdiri. Bahkan untuk menggerakkan tangannya saja begitu sulit.
Sementara, sinar biru kini sudah lenyap begitu Rangga menarik aji 'Cakra Buana Sukma'. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri dan berdiri tegak di samping tubuh Gagak Ireng yang tergeletak tak berdaya lagi.
"Bunuhlah aku, Keparat...!" geram Gagak Ireng.
"Kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu dulu, Gagak Ireng. Pengadilan nanti yang akan menentukan hukumanmu," kata Rangga kalem.
Sementara itu, Adipati Bayaga dan Pandan Wangi sudah menghampiri diikuti beberapa orang berseragam prajurit. Kini Rangga menatap Rapasak yang masih saja berdiri tidak mampu berbuat sesuatu lagi. Hatinya begitu gentar melihat kedahsyatan ilmu kesaktian Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, Gagak Ireng jadi lumpuh. Dia tak mampu lagi menggerakkan tubuhnya sedikit pun.
"Ringkus dia. Masukkan ke dalam penjara!" perintah Adipati Bayaga.
"Baik, Gusti Adipati." Dua orang prajurit mengangkat tubuh Gagak Ireng yang sudah lumpuh tak berdaya lagi.
Sementara, dua orang prajurit lagi segera menggiring Rapasak yang memang sudah menyerah. Mereka melucuti semua senjata yang dibawa Rapasak dan Gagak Ireng.
"Ah! Kalau saja tidak ada Gusti Prabu disini...," desah Adipati Bayaga merasa lega.
"Sudahlah, Paman Adipati. Dan sebaiknya jangan menyebutku Gusti," selak Rangga cepat.
"Maafkan Hamba, Gusti."
Rangga hanya tersenyum saja. Digamitnya lengan Pandan Wangi, dan diajaknya pergi dari tempat ini. Tapi sebelum kakinya terayun melangkah, Adipati Bayaga dan Balung Samodra sudah mencegah. Terpaksa Rangga mengurungkan ayunan kakinya.
Rangga jadi tertegun saat Adipati Bayaga meminta untuk tinggal beberapa hari di Kadipaten Wadas Lintang ini. Matanya melirik Pandan Wangi untuk meminta pendapat gadis itu. Tapi Pandan Wangi hanya mengangkat bahu saja.
"Baiklah. Tapi dengan satu syarat," Rangga menyerah.
"Apa itu, Gusti Prabu?" tanya Adipati Bayaga sudah gembira mendengar kesediaan Pendekar Rajawali Sakti menerima permintaannya untuk tinggal beberapa hari di kadipaten ini.
"Jangan sekali-sekali memanggilku Gusti Prabu. Aku sekarang ini bukan raja, tapi seorang pendekar kelana yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain," kata Rangga mengajukan syarat.
"Hanya itu, Gusti...?"
"Iya! Hanya itu saja. Dan aku juga tidak bisa berlama-lama di sini. Hanya beberapa hari saja. Bagaimana...?"
"Tentu, Gusti. Tapi..., hamba harus memanggil apa?"
"Panggil saja Rangga."
"Ah! Bagaimana mungkin, Gusti. Tidak patut hamba memanggil dengan nama saja."
"Kalau tidak mau, ya sudah. Aku akan melanjutkan perjalanan sekarang juga," Rangga tidak memberi pilihan.
"Oh! Jangan..., jangan, Gusti. Baik! Hamba akan memanggil seperti yang Gusti Prabu inginkan," buru-buru Adipati Bayaga mencegah.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti memang bermaksud tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk beberapa hari sambil melihat-lihat perkembangan kadipaten di wilayah Kerajaan Karang Setra ini. Tapi, tentu saja kehadirannya tidak sebagai raja, yang akan membuatnya repot. Melainkan sebagai orang biasa dan sebagai pendekar kelana yang hanya singgah saja untuk beberapa hari.
"Mari, Rangga. Sebaiknya kita segera kembali ke istana," ajak Adipati Bayaga sudah mulai membiasakan diri memanggil nama saja.
Mereka kemudian melangkah meninggalkan halaman depan rumah kediaman Gagak Ireng. Sementara, para prajurit yang tadi memadati tempat itu sudah lebih dahulu pergi membawa Gagak Ireng dan Rapasak yang berhasil ditawan hidup-hidup.
"Hukuman apa yang pantas untuk Gagak Ireng, Rangga?" tanya Adipati Bayaga sambil terus mengayunkan kakinya keluar dari gerbang rumah ini.
"Mau tidak mau, dia akan menerima hukuman yang dijatuhkan pengadilan nanti. Toh dia sudah tidak lagi memiliki daya. Semua ilmu kepandaian dan kesaktiannya sudah musnah. Bahkan akan tetap lumpuh begitu," Pandan Wangi yang menyahuti.
"Oh! Benarkah begitu...?" tanya Adipati Bayaga.
"Benar. Itu akibat dari aji 'Cakra Buana Sukma'. Untung saja Kakang Rangga tidak mengerahkannya dalam tingkatan terakhir, sehingga dia masih bisa hidup. Walaupun harus menderita kelumpuhan seumur hidup," jelas Pandan Wangi lagi.
"Kalau memang begitu, dia sudah mendapatkan hukuman setimpal. Tidak mungkin lagi perbuatan buruknya bisa diulangi lagi," kata Adipati Bayaga.
"Tapi tidak demikian halnya Rapasak, Gusti Adipati," selak Balung Samodra yang berjalan di samping Pandan Wangi.
"Hm.... Rapasak akan menerima hukuman yang setimpal juga. Entah apa hukuman yang pantas untuknya nanti. Bagaimana menurutmu, Rangga...?" Adipati Bayaga berpaling menatap Rangga yang berjalan di sebelah kanannya.
"Sebaiknya, ikuti saja keputusan pengadilan nanti. Dan kita tidak usah membicarakannya sekarang. Biar pengadilan tinggi kadipaten yang menentukan hukuman untuk mereka," kata Rangga penuh bijaksana.
Mereka tak ada lagi yang bicara. Sementara matahari sudah hampir condong ke arah barat. Sebentar lagi senja akan turun. Kini, tak ada lagi kerusuhan yang terjadi di Kadipaten Wadas Lintang ini.

***

TAMAT

🎉 Kamu telah selesai membaca 62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak Ireng 🎉
62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak IrengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang