BAGIAN 3

640 31 0
                                    

"Hendak ke mana lagi, Rapasak...?" tegur Gagak Ireng melihat adik angkatnya sudah rapi hendak pergi.
"Aku ada janji," sahut Rapasak seraya berbalik memutar tubuhnya.
"Sudah satu pekan ini kau selalu saja keluar rumah malam-malam, dan selalu saja pulang pagi. Ke mana saja selama ini, Rapasak?"
"Kakang pernah jatuh cinta...?" Rapasak malah balik bertanya.
"Ha ha ha...!" Gagak Ireng malah tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan adik angkatnya.
Dihampirinya Rapasak dan dicengkeramnya kedua bahu pemuda itu dengan kuat, sehingga, pemuda itu jadi meringis. Tapi hatinya sudah cukup senang karena Gagak Ireng tidak lagi memasang wajah tegang seperti tadi. Malah sekarang senyumnya terkembang menghiasi bibirnya yang hampir tertutup kumis.
"Gadis mana yang kau pilih, Rapasak?" tanya Gagak Ireng.
"Bukan gadis, tapi janda," jelas Rapasak.
"Gadis atau janda itu bukan masalah. Asal bukan istri orang saja yang kau sambar," gurau Gagak Ireng. Rapasak hanya tersenyum saja. "Kau ingin cepat-cepat, Rapasak?" tanya Gagak Ireng lagi.
"Nanti saja, Kakang. Aku lebih senang kalau kau dulu yang mendapat pendamping."
"Aku sudah terlalu tua untuk punya istri, Rapasak. Jangan terlalu memikirkan diriku. Aku sudah cukup senang kalau kau punya istri dan hidup bahagia."
"Terima kasih, Kakang," ucap Rapasak perlahan. Pemuda itu menundukkan kepala.
Gagak Ireng jadi berkerut keningnya melihat raut wajah adik angkatnya tiba-tiba saja jadi berubah mendung. Diangkatnya wajah pemuda ini, sehingga mereka saling bertatapan.
"Ada persoalan, Rapasak...?" tanya Gagak Ireng lembut.
"Kakang pasti tidak setuju kalau tahu tentang dia," duga Rapasak perlahan.
"Kenapa kau punya pikiran seperti itu?"
"Karena dia...."
"Katakan, Rapasak. Aku tidak akan menghalangi kalau itu membuatmu bahagia."
"Namanya Minati, Kakang. Tinggalnya dirumah Nyi Walang," pelan sekali suara Rapasak, hampir tak terdengar di telinga Gagak Ireng.
Agak terkejut juga Gagak Ireng mendengar pengakuan adik angkatnya ini. Sungguh tidak disangka kalau wanita pilihan adik angkatnya ini berasal dari rumah pelacuran terkenal di kota Kadipaten Wadas Lintang ini. Gagak Ireng menghembuskan napas panjang sambil berbalik memutar tubuhnya. Kakinya melangkah perlahan mendekati jendela.
Sementara Rapasak hanya memandangi saja. Beberapa saat kesunyian menyelimuti mereka berdua. Cukup lama juga Gagak Ireng berdiri di depan jendela, memandang bulan yang menggantung penuh di langit hitam kelam, bertaburkan cahaya bintang. Perlahan tubuhnya diputar, langsung menatap Rapasak yang masih berdiri saja memandang dengan sinar mata sukar diartikan.
"Kau tahu dimana keluarganya?" tanya Gagak Ireng, agak mendesah suaranya.
"Dia tidak punya keluarga lagi. Dia berasal dari daerah selatan," sahut Rapasak memberitahu.
"Tepatnya?"
"Bukit Gantang."
Gagak Ireng menatap Rapasak tajam-tajam begitu mendengar tempat wanita yang menjadi pilihan adik angkatnya ini berasal. Sedangkan Rapasak hanya tertunduk saja, tak sanggup membalas tatapan mata yang tajam itu. Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya. Perlahan Gagak Ireng melangkah mendekati, lalu berhenti sekitar tiga langkah lagi di depan Rapasak yang masih terduduk diam.
"Tatap aku, Rapasak," pinta Gagak Ireng, begitu dalam suaranya.
Perlahan Rapasak mengangkat kepalanya. Mereka langsung bertatapan tanpa berbicara sedikit pun juga. Entah apa yang ada di dalam dada Rapasak saat ini. Dia tahu, Gagak Ireng tidak menyetujui hubungannya dengan wanita yang berasal dari Bukit Gantang.
"Rapasak! Kau tahu, dari mana Birawa berasal, bukan...?" dalam sekali suara Gagak Ireng.
"Ya! Aku tahu, Kakang," sahut Rapasak perlahan seraya menganggukkan kepala.
"Dari mana?"
Cukup lama juga Rapasak tidak menjawab pertanyaan Gagak Ireng. Kepalanya kembali tertunduk dengan bibir masih terkunci rapat. Sedangkan Gagak Ireng memandanginya begitu tajam menusuk. Terdengar hembusan napas berat, bagai hendak melepaskan ganjalan yang ada di rongga dada.
"Kau harus hati-hati dengan setiap orang yang datang dari Bukit Gantang, Rapasak. Kau kan tahu, Birawa berasal dari sana. Dan bukannya tidak mustahil kalau kematiannya sudah tersebar sampai ke sana. Sadarilah hal itu, Rapasak," Gagak Ireng menasihati penuh perhatian.
"Tapi, dia sendiri punya persoalan dengan Birawa, Kakang. Dia juga baru tahu, kalau Birawa sudah tewas. Bahkan merasa bersyukur mendengar kematian si perusuh itu. Dan kudengar, dia ingin mengucapkan terima kasih padamu yang telah melenyapkan Birawa, Kakang," kata Rapasak memberitahu.
"Rapasak..., Rapasak..." Gagak Ireng menggeleng-gelengkan kepala.
Rapasak jadi tidak mengerti atas sikap kakak angkatnya ini. Dipandanginya Gagak Ireng dengan sinar mata minta penjelasan. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Gagak Ireng jadi begitu berhati-hati dan selalu mencurigai setiap orang Bukit Gantang yang datang ke kadipaten ini.
"Segala macam alasan bisa saja dikemukakan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya. Kau harus bisa membedakan antara bunga dan ular berbisa. Perhatikanlah hal itu, Rapasak. Aku tidak ingin kita semua patah sebelum waktunya. Ingatlah tujuan utama kita ke kadipaten ini," kata Gagak Ireng lagi.
"Kenapa Kakang selalu menaruh curiga pada setiap orang yang datang dari Bukit Gantang? Apakah karena Birawa berasal dari sana?" tanya Rapasak jadi ingin tahu.
"Kau adikku satu-satunya, Rapasak. Orang satu-satunya yang kupercaya dan kucintai. Aku tidak ingin kau terjebak. Meskipun Birawa sudah terkubur, tapi persoalannya belum tuntas begitu saja...," Gagak Ireng mencoba memberi pengertian.
"Maksud Kakang...?" Rapasak masih belum mengerti juga.
"Kau tahu di mana Birawa selama ini hidup? Juga, dari mana dia mendapat ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian begitu tinggi...?" Gagak Ireng malah memberikan pertanyaan.
Rapasak terdiam tidak menyahut. Sebelum mengejar Birawa sampai ke hutan, mereka memang sudah menyelidiki asal-usul Birawa. Hingga, mereka tahu betul kelemahan ilmu yang dimiliki Birawa. Inikah yang selama beberapa hari ini membuat Gagak Ireng sering merenung dan menyendiri? Rapasak jadi bertanya-tanya dalam hati. Sungguh tidak pernah terlihat kalau Gagak Ireng tengah memikirkan lawan-lawan yang berhasil dilenyapkan. Tapi...
Rapasak cepat membantah semua yang ada di kepalanya. Dia tidak percaya kalau Gagak Ireng memiliki rasa gentar terhadap asal-usul Birawa. Pemuda itu tidak yakin kalau asal-usul Birawa membuat Gagak Ireng menjadi gentar. Terutama setelah mengalahkan, dan mengirimnya ke lubang kubur.
"Aku akan menyelidikinya, Kakang. Kalau memang dia punya maksud tertentu, aku akan melenyapkannya," tegas Rapasak.
"Sekarang aku akan ke sana. Sudah ada janji dengannya."
"Aku tidak memaksamu, Rapasak. Hanya kuminta, kau berhati-hati pada semua orang yang berasal dari Bukit Gantang," ujar Gagak Ireng.
Rapasak hanya tersenyum saja. Ditepuknya bahu kakak angkatnya ini. Kemudian tubuhnya berputar dan berjalan meninggalkan Gagak Ireng sendirian di dalam ruangan ini.
Gagak Ireng masih berada di dalam ruangan itu meskipun Rapasak sudah tidak terlihat lagi. Kakinya lalu melangkah mendekati jendela dan berdiri di sana. Sekilas Rapasak masih terlihat tengah memacu kudanya meninggalkan rumah besar dan megah yang dikelilingi pagar batu setinggi dua batang tombak. Beberapa orang tampak berada di sudut-sudut yang rawan untuk berjaga-jaga.
"Hm... Aku harus menyelidikinya sendiri. Pengalamannya belum banyak dalam hal seperti ini," gumam Gagak Ireng setelah berpikir beberapa saat.
Bergegas Gagak Ireng melangkah meninggalkan ruangan itu. Tak berapa lama kemudian, kudanya sudah terlihat dipacu cepat meninggalkan rumahnya yang besar, hadiah dari Adipati Bayaga. Sementara malam terus merayap semakin larut. Dan seperti malam-malam sebelumnya, suasana di Kadipaten Wadas Lintang ini selalu saja ramai.
"Hiya! Hiya...!" Gagak Ireng memacu cepat kudanya menuju bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang. Tapi dia tidak memilih jalan utama yang setiap saat dilalui orang. Yang dipilihnya adalah jalan memutar, melalui rumah-rumah penduduk dan perkebunan. Tidak dipedulikan lagi kalau malam telah begitu pekat, meskipun bulan bersinar penuh saat itu. Kudanya terus dipacu dengan kecepatan penuh.
"Hieeek...!"
"Heh...?! Hup...!"
Gagak Ireng terkejut setengah mati begitu tiba-tiba kuda yang ditungganginya meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Cepat-cepat tubuhnya melenting, melompat dari punggung kuda hitam itu. Dan bersamaan kakinya menjejak tanah, kuda hitam itu langsung ambruk menggelepar. Gagak Ireng jadi terbeliak melihat kudanya seketika tewas. Tampak di leher binatang itu tertancap sebuah benda berbentuk mata tombak berwarna hitam pekat.
"Kurang ajar...!" desis Gagak Ireng menggeram.
Suasana sekitarnya begitu sepi. Hanya desir angin saja yang terdengar, menebarkan udara dingin menusuk tulang. Gagak Ireng mengedarkan pandangan tajam-tajam. Telinganya juga dipasang begitu tajam, mendengarkan setiap suara sekecil apa pun yang ada di sekitarnya. Tapi setelah begitu lama, tak juga terdengar sesuatu yang mencurigakan. Sekitarnya begitu sunyi. Hanya pepohonan saja yang terlihat menghitam pekat di sekitarnya.
"Hm.... Siapa yang mau main-main denganku...?" gumam Gagak Ireng bertanya-tanya sendiri di dalam hati.
Perlahan Gagak Ireng mengayunkan kakinya sambil tetap memasang mata dan telinganya tajam-tajam. Sikapnya begitu hati-hati dan waspada. Gagak Ireng baru berhenti melangkah setelah dekat disamping bangkai kudanya. Tubuhnya membungkuk sedikit, lalu mencabut mata tombak hitam yang menancap di leher kudanya.
"Hm..., beracun," desis Gagak Ireng menggumam perlahan. Sebentar diamatinya benda berbentuk mata tombak hitam itu. Sebuah benda terbuat dari bahan hitam yang keras, dan mengandung racun jahat mematikan. Tidak heran kalau kuda itu mati seketika.
"Hih...!" Tiba-tiba saja Gagak Ireng mengebutkan tangan kanannya ke samping begitu sekilas terdengar suara mencurigakan dari arah samping kanannya. Benda berbentuk mata tombak hitam yang berada di tangannya, seketika itu juga melesat cepat bagaikan kilat.
Srak!
"Hiyaaa...!" Gagak Ireng cepat melesat begitu dari semak yang tertembus mata tombak hitam melesat sebuah bayangan hitam keatas pohon.
Hampir bersamaan, mereka menjejakkan kakinya di atas dahan pohon yang cukup tinggi. Dan secara bersamaan pula, masing-masing menghentakkan kedua tangannya ke depan.
Glarrr...! Satu ledakan keras terdengar menggelegar ketika dua pasang telapak tangan beradu. Tampak dua orang itu saling melentingkan tubuh ke belakang. Mereka sama-sama mendarat ringan sekali. Kini satu sama lain berdiri saling berhadapan berjarak sekitar dua batang tombak.
"Hm...," Gagak Ireng menggumam perlahan. Kelopak matanya sedikit menyipit memperhatikan sosok tubuh hitam yang berdiri sejauh dua batang tombak di depannya.
Sosok tubuh ramping, terbungkus baju hitam pekat yang sangat ketat. Dari bentuk tubuhnya sudah dapat dipastikan kalau sosok itu adalah wanita. Juga dari rambutnya yang panjang teriap hingga hampir menutupi wajahnya.
"Siapa kau...?!" tanya Gagak Ireng, agak membentak suaranya.
"Aku Pendekar Bukit Gantang yang hendak menuntut balas padamu!" sahut orang berbaju serba hitam itu, tegas dan dingin suaranya.
Hampir tak ada tekanan dalam nada suaranya. Tapi Gagak Ireng sudah bisa memastikan kalau orang berbaju serba hitam itu adalah wanita. Dan dari segebrakan tadi, juga sudah bisa diukur tingkat kepandaian wanita itu. Yang jelas, dia tidak bisa dipandang sebelah mata. Dan Gagak Ireng tahu, apa yang diinginkan wanita berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu.
"Apa yang hendak kau tuntut dariku, Nisanak? Di antara kita tidak ada persoalan apa pun," tanya Gagak Ireng.
Sungguh dia baru kali ini bertemu orang yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang. Tapi Gagak Ireng sudah bisa menebak maksud kemunculan wanita berbaju serba hitam ini. Terlebih lagi, setelah mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang yang pasti berasal dari Bukit Gantang, tempat tanah kelahiran Birawa.
"Kau sudah berhutang nyawa, Gagak Ireng. Dan ini harus dibayar dengan nyawamu juga! Malam ini, aku menagih hutang padamu!" tegas Pendekar Bukit Gantang.
"Hutang nyawa...? Ha ha ha...! Mengenalmu saja aku belum. Lalu, bagaimana bisa berhutang nyawa padamu?" Gagak Ireng jadi tergelitik tenggorokannya mendengar tuntutan wanita serba hitam itu.
"Kau pasti tidak lupa peristiwa di Hutan Cagar Mayit, Gagak Ireng..."
"Hm...?!" gumam Gagak Ireng tidak kaget lagi mendengarnya, karena memang sudah menduga demikian. Mana mungkin Gagak Ireng bisa melupakan peristiwa yang baru saja terjadi sebulan lalu itu? Maka, matanya semakin tajam memperhatikan wanita berbaju serba hitam di depannya. Berbagai pertanyaan langsung memenuhi kepalanya. Siapa wanita ini sebenarnya...?
"Apa hubunganmu dengan Birawa, Nisanak?" tanya Gagak Ireng, agak ditekan suaranya.
"Dia saudaraku. Dan kematiannya harus kau balas dengan nyawamu!" sahut Pendekar Bukit Gantang tegas.
"Hm...," Gagak Ireng jadi menggumam perlahan.
"Bersiaplah, Gagak Ireng...!" desis Pendekar Bukit Gantang dingin. "Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, wanita berbaju hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang itu melompat cepat menerjang. Satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan lurus mengarah ke dada.
"Hup!" Gagak Ireng cepat-cepat mengegoskan tubuhnya menghindari serangan itu. Tapi sebelum sempat menarik tubuhnya tegak kembali, Pendekar Bukit Gantang sudah kembali melepaskan pukulan tangan kirinya. Begitu cepat serangan susulannya, membuat Gagak Ireng jadi terperangah.
"Hih!" Tak ada lagi kesempatan bagi Gagak Ireng untuk mengelak. Cepat-cepat tangan kanannya menghentak untuk menangkis pukulan itu.
Satu benturan kekuatan tenaga dalam terjadi, hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Gagak Ireng cepat-cepat melompat ke belakang, dan melakukan putaran dua kali. Pendekar Bukit Gantang juga segera melentingkan tubuh beberapa kali ke belakang. Dan kini kembali mereka berdiri saling berhadapan.
"Edan...!" dengus Gagak Ireng merasakan nyeri pada pergelangan tangannya, akibat benturan keras dengan wanita berbaju serba hitam tadi. Sungguh tidak disangka kalau kekuatan tenaga dalam wanita ini begitu dahsyat. Bahkan hampir saja Gagak Ireng tidak kuat menahannya. Tapi dari benturan itu sudah membuatnya merasa yakin kalau kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih lebih tinggi.
Lain halnya yang dirasakan Pendekar Bukit Gantang. Dari benturan tadi, seluruh tangan kirinya jadi bergetar hebat. Bahkan terasa begitu panas! Terlebih lagi, detak jantungnya seakan-akan berhenti seketika.
Sret!
"Hm...!"
Gagak Ireng menggeser kakinya sedikit ke kanan begitu lawan mencabut pedangnya. Agak terkejut juga hatinya melihat pedang yang berwarna kehijauan. Pedang itu sama persis dengan milik Birawa. Bahkan bentuk dan ukurannya begitu sama. Gagangnya pun tak ada perbedaan sama sekali. Seakan-akan wanita itu memegang pedang milik Birawa. Padahal, Gagak Ireng begitu yakin kalau pedang Birawa sudah terkubur bersama jasadnya di Hutan Cagar Mayit.
"Hiyaaat...!" Bet! Cring!
Gagak Ireng langsung mencabut pedang kebanggaannya begitu wanita yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang melakukan serangan cepat menggunakan pedang berwarna kehijauan. Secepat kilat Gagak Ireng mengebutkan pedangnya, menangkis serangan yang mengarah ke dada.
Tring!
Bunga api memercik begitu dua senjata berpamor dahsyat beradu keras di depan dada Gagak Ireng. Tapi Pendekar Bukit Gantang tidak berhenti sampai di situ saja. Kembali dilakukannya serangan-serangan gencar yang cepat dan dahsyat. Setiap kebutan pedangnya mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Pendekar Bukit Gantang sama sekali tidak peduli kalau setiap kali pedangnya beradu dengan pedang Gagak Ireng, tangannya selalu bergetar hebat. Sampai sejauh ini, pedangnya masih bisa dipertahankan hingga tidak terlepas dari genggaman. Bahkan serangan-serangan yang dilakukan semakin bertambah dahsyat saja. Jurus demi jurus berlalu cepat.
"Ugkh!" Pendekar Bukit Gantang mulai mengeluh. Napasnya kini terasa jadi sesak bagai tersumbat sebongkah batu yang begitu besar dalam dadanya. Sama sekali tidak disadari kalau asap kehitaman yang keluar dari pedang Gagak Ireng mengandung racun yang membuat dadanya terasa begitu sesak.
"Lepas...!" seru Gagak Ireng tiba-tiba. Saat itu juga, Gagak Ireng mengebutkan pedangnya ke arah pedang di tangan Pendekar Bukit Gantang. Begitu cepat serangannya, sehingga wanita berbaju serba hitam itu tak sempat lagi menarik pedangnya yang sudah terulur ke depan.
Trang! "Akh...!"
Pendekar Bukit Gantang tidak dapat lagi menahan pedangnya yang mencelat ke udara, begitu terbabat pedang Gagak Ireng yang begitu keras.
"Hup! Hiyaaa...!" Pendekar Bukit Gantang cepat-cepat melenting ke udara mengejar pedangnya yang mencelat tinggi ke angkasa.
"Yeaaah...!"
Pada saat yang hampir bersamaan, Gagak Ireng juga melentingkan tubuh ke udara. Dan secepat kilat, pedangnya dibabatkan ke tangan kanan Pendekar Bukit Gantang yang terulur hendak menangkap pedangnya.
Bet! Cras!
"Akh...!" satu pekikan keras keluar dari bibir wanita berbaju serba hitam itu.
Tebasan pedang Gagak Ireng tak dapat lagi terbendung. Tangan kanan wanita itu seketika buntung terbabat pedang berwarna hitam pekat berbentuk aneh itu. Darah kontan mengucur dari tangan yang buntung sebatas pergelangan. Dan sebelum wanita berbaju serba hitam itu bisa melakukan sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaa...!" Des! "Aaakh...!"
Tak pelak lagi, Pendekar Bukit Gantang terbanting keras ke tanah akibat terhajar tendangan keras di dada. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Dan begitu bisa bangkit berdiri, Gagak Ireng sudah mendarat di depannya. Tanpa dapat dicegah lagi, Gagak Ireng cepat mengebutkan pedangnya ke dada wanita berbaju serba hitam itu.
Bet! Crab!
"Aaa...!" Satu jeritan panjang melengking tinggi mengakhiri pertarungan ini.
Hanya sebentar saja Pendekar Bukit Gantang mampu bertahan berdiri, kemudian ambruk menggelepar di tanah. Dari dadanya mengucur darah akibat sabetan pedang yang ujungnya bercabang seperti lidah ular itu. Pendekar Bukit Gantang mengejang beberapa saat, lalu diam tak bergerak-gerak lagi.
Gagak Ireng memasukkan pedangnya ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah menghampiri lawannya. Sedikit tubuhnya membungkuk, menyibakkan rambut yang menutupi wajah wanita ini. Tampak seraut wajah cantik yang telah memucat, terlihat di balik rambut panjang hitam yang meriap.
"Hm...?" gumam Gagak Ireng jadi berkerut keningnya begitu melihat wajah cantik hampir tertutup rambut panjang. Sebentar dipandangi, kemudian diseretnya tubuh kaku itu ke dalam semak. Gagak Ireng masih berdiri beberapa saat setelah keluar dari dalam semak untuk menyembunyikan tubuh wanita itu. Keningnya masih berkerut dalam, seolah-olah tengah berpikir keras tentang wanita berbaju serba hitam yang mengaku berjuluk Pendekar Bukit Gantang.
"Apakah dia Minati...? Hm... Aku harus segera menemui Rapasak."
Gagak Ireng bergegas berlari cepat meninggalkan tempat itu. Digunakannya ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap ditelan kegelapan malam.

***

62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak IrengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang