BAGIAN 2

584 27 0
                                    

Waktu terus bergulir seiring peredaran matahari mengelilingi bumi. Satu purnama sudah berlalu. Tak seorang pun yang membicarakan Birawa yang telah tewas di tangan Gagak Ireng. Keberhasilan Gagak Ireng menghentikan kehidupan Birawa, disambut gembira seluruh rakyat Kadipaten Wadas Lintang yang terletak tidak seberapa jauh dari hutan tempat Birawa tewas di tangan Gagak Ireng.
Selama ini, Birawa memang dianggap sebagai biang keonaran oleh semua orang di seluruh wilayah Kadipaten Wadas Lintang. Bukan hanya menggasak harta, tapi juga nyawa orang yang dirampok ikut melayang. Dan sudah tentu hal itu membuat keresahan. Sehingga, Adipati Bayaga terpaksa meminta bantuan Gagak Ireng untuk melenyapkan Birawa. Tapi, apa kematian Birawa sudah menghentikan semua keresahan itu...?
Memang, selama satu purnama ini tidak ada lagi peristiwa perampokan atau pembunuhan di kota kadipaten ini. Hingga, Adipati Bayaga mengangkat Gagak Ireng menjadi kepala pasukan khusus kadipaten. Maka, sudah tentu semua anggotanya adalah pengikut Gagak Ireng. Semua orang di Kadipaten Wadas Lintang ini memang sudah menganggap tak ada lagi persoalan yang akan timbul. Tapi, tidak demikian halnya dengan Gagak Ireng.
"Beberapa hari ini kuperhatikan kau selalu murung dan menyendiri. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Kakang...?"
Gagak Ireng menghembuskan napas panjang. Wajahnya berpaling menatap seorang pemuda bertubuh tegap, dan berkulit kuning langsat. Pakaiannya terbuat dari bahan sutra halus yang indah, berwarna merah muda. Wajahnya juga cukup tampan. Senyumnya cukup menawan menyungging di bibirnya yang agak kemerahan. Dia adalah Rapasak, adik angkat Gagak Ireng.
"Tidak," sahut Gagak Ireng seraya menggeser duduknya. Rapasak menempatkan diri di samping kakak angkatnya ini.
Saat itu, senja sudah merayap turun. Burung-burung sudah kembali ke sarang masing-masing. Tak ada lagi orang lain di taman belakang ini. Sebuah taman indah, terletak di belakang bangunan besar dan megah yang dikelilingi pagar tinggi dari batu yang tebal dan kokoh seperti benteng. Tempat ini memang hadiah dari Adipati Bayaga atas keberhasilan Gagak Ireng menumpas Birawa, yang selama satu bulan lalu dianggap perusuh di Kadipaten Wadas Lintang ini.
"Kakang sudah berhasil meraih keinginan pertama, menjadi orang nomor dua di Kadipaten Wadas Lintang ini di samping Gusti Adipati Bayaga. Apa masih ada hambatan untuk kelanjutannya, Kakang...?" terasa begitu lembut suara Rapasak, seperti suara seorang wanita saja.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Rapasak. Semua akibat yang bakal terjadi nanti sudah kupikirkan. Dan sampai saat ini tak ada yang mengganggu pikiranku," kata Gagak Ireng diiringi senyuman di bibir.
Tapi, senyuman Gagak Ireng terasa hambar sekali. Dan ini dapat dirasakan Rapasak. Hanya saja, dia tidak mau mendesak lagi. Pemuda itu tahu, jika Gagak Ireng sudah mengatakan tidak, selamanya akan tetap tidak. Dan biasanya, Gagak Ireng baru bersedia mengatakannya kalau sudah merasa tidak bisa lagi menghadapinya sendiri. Selama dirinya masih merasa mampu, tak akan ada yang mengetahui persoalan terpendam di dalam hatinya.
"Aku akan ke rumah Nyi Walang, Kakang," pinta Rapasak seraya bangkit berdiri.
"Ada apa kau ke sana?" tanya Gagak Ireng.
"Bosan terkurung terus di sini, Kakang. Aku akan mencari hiburan sedikit," sahut Rapasak.
"Pergilah. Tapi jangan terlalu lama di sana."
"Mungkin besok aku baru pulang, Kakang. Katanya di sana ada yang baru. Nyi Walang tidak akan memberikannya pada orang lain, kecuali aku."
"Ya, sudah.... Asal jangan seperti dulu lagi," pesan Gagak Ireng.
"Aku pergi, Kakang," pamit Rapasak.
Gagak Ireng hanya mengangguk saja. Dia masih duduk di bangku taman ini, memandangi adik angkatnya yang berjalan agak cepat meninggalkannya. Kepalanya menggeleng perlahan, tapi sebentar kemudian raut wajahnya kembali berubah terselimut kabut. Tak lama kemudian, Gagak Ireng bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang.
"Aku harus mempersiapkan diri. Aku yakin, cepat atau lambat pasti ada yang datang menuntut balas atas kematian Birawa. Hhh...!" desah Gagak Ireng seraya mengayunkan kakinya melangkah meninggalkan taman belakang ini. "Hhh..., siapa pun orangnya, aku tidak bisa dianggap remeh."
Sementara itu Rapasak sudah menunggang kudanya, membelah jalan utama Kadipaten Wadas Lintang. Meskipun sudah hampir tengah malam, tapi suasana di kadipaten ini masih terlihat ramai. Kedai-kedai, rumah-rumah penginapan, rumah-rumah perjudian, dan tempat-tempat hiburan lainnya seperti tak pernah menghentikan kegiatannya. Siang malam selalu saja ramai dikunjungi orang.
Rapasak terus memacu kudanya menuju ke bagian selatan Kadipaten Wadas Lintang ini. Pemuda itu tidak bisa memacu cepat kudanya, karena sepanjang jalan yang dilalui masih cukup ramai orang. Kadipaten Wadas Lintang memang tidak pernah sepi. Seakan-akan, kadipaten ini tidak pernah tidur meskipun di malam hari. Suasananya selalu meriah.
Padahal, baru-baru ini mereka semua habis dicekam rasa takut oleh sepak terjang Birawa yang menggasak harta dan membunuh pemiliknya yang mencoba melawan. Mereka benar-benar sudah melupakan peristiwa itu, dan kembali hidup seperti hari-hari yang lalu.
Rapasak baru menghentikan lari kudanya setelah tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu bertingkat dua sehingga tampak tinggi. Beberapa orang keluar masuk rumah itu. Dan mereka yang datang atau pergi, semuanya laki-laki. Seorang anak berumur sekitar dua belas tahun menghampiri Rapasak. Pemuda itu kemudian tersenyum, dan menyerahkan kudanya pada anak laki-laki itu.
"Rawat kudaku dengan baik, ya...?" pinta Rapasak seraya memberi sekeping uang perak.
"Baik, Den," sahut anak itu seraya membungkuk hormat.
Rapasak mengayunkan kakinya, memasuki rumah itu. Suara tawa terkikik dan canda beberapa orang langsung menyergap telinganya, begitu melewati pintu. Rapasak langsung menghampiri seorang perempuan separuh baya yang bertubuh gemuk, sehingga lehernya terlipat bagai menyatu dengan dagu.
Wanita itu tersenyum ramah begitu melihat Rapasak datang. "Kukira kau tidak datang, Rapasak," sambut wanita bertubuh tambun itu dengan keramahan dibuat-buat.
"Aku tidak pernah ingkar janji, Nyi Walang," ujar Rapasak.
"Aku percaya. Mari...."
Rapasak lalu mengikuti langkah wanita gemuk itu. Mereka masuk ke dalam sebuah ruangan lain yang tidak kalah besarnya dari ruangan depan tadi. Beberapa wanita yang berkumpul di sana segera melemparkan senyuman dan kerdipan mata genit pada Rapasak. Tapi pemuda itu hanya membalasnya dengan senyuman tipis saja.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong, setelah melewati ruangan yang terang-benderang itu. Di samping kiri dan kanan lorong ini terdapat beberapa pintu yang tertutup. Tak ada satu pintu pun yang terbuka. Sampai di ujung lorong, mereka berhenti. Nyi Walang membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini, lalu melangkah melewati pintu diikuti Rapasak dari belakang.
Ternyata pintu ini merupakan sebuah penghubung ke bagian belakang bangunan besar dan bertingkat ini. Mereka terus berjalan melintasi taman, menuju beberapa bangunan kecil bagai pendopo yang berjajar rapi mengelilingi taman kecil ini. Nyi Walang membawa Rapasak ke sebuah bangunan yang berada paling tengah. Tanpa mengetuk pintunya lagi, wanita bertubuh gemuk bagai tong air ini langsung saja membuka pintu itu. Kemudian, Rapasak dipersilakan masuk terlebih dahulu.
"Silakan...," ucap perempuan tambun itu, ramah.
Rapasak melangkah masuk, baru Nyi Walang mengikuti dari belakang. Ternyata, bangunan ini hanya terdiri dari dua ruangan yang hanya dibatasi selembar dinding dari bilik bambu. Sebuah pelita tergantung di tengah-tengah ruangan ini. Hanya ada sebuah kursi panjang dan sebuah lemari berukuran kecil dan panjang di sini. Rapasak menghempaskan tubuhnya di kursi panjang dari rotan itu.
Sementara, Nyi Walang terus melangkah masuk ke dalam ruangan satunya lagi. "Kau tunggu sebentar, Rapasak," ujar Nyi Walang sebelum menghilang di balik pintu bilik bambu pemisah ruangan ini.
Rapasak hanya mengangguk saja. Tak lama, Nyi Walang telah kembali lagi diikuti seorang wanita berusia muda yang mengenakan baju warna hijau muda. Rapasak cepat bangkit berdiri. Mulutnya sampai ternganga melihat wanita cantik di samping Nyi Walang yang begitu cantik bagai bidadari baru turun dari kahyangan. Kulitnya putih bersih, sangat pas dengan warna dan potongan baju yang dikenakannya.
"Baru dua hari Minati datang, dan belum ada seorang pun yang mengunjunginya. Dia khusus untukmu, Rapasak," jelas Nyi Walang ramah, disertai senyumnya yang dibuat-buat.
"Minati.... Nama yang cantik, secantik orangnya," desah Rapasak memuji.
"Layanilah dia dengan baik, Minati," pesan Nyi Walang.
"Baik, Nyi," sahut Minati lembut.
"Silakan. Kalian pasti ingin mengenal lebih dekat lagi," kata Nyi Walang lagi. Tanpa menunggu jawaban apa pun juga, wanita bertubuh gemuk itu segera melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.
Masih belum ada yang membuka suara, meskipun Nyi Walang sudah tidak ada lagi di ruangan ini.
"Silakan duduk," ucap Minati lembut dan sopan.
"Terima kasih." Rapasak kembali duduk di kursi yang tadi didudukinya.
Sedangkan Minati hanya berdiri saja. Jari-jari tangannya mempermainkan sehelai sapu tangan hijau muda dari bahan sutera halus. Sedangkan Rapasak tidak lepas-lepasnya memperhatikan wajah dan tubuh wanita di depannya ini. Begitu cantiknya, seakan-akan Rapasak tidak ingin mengalihkan perhatiannya barang sedikit pun.
"Duduklah di sini," pinta Rapasak seraya menepuk tempat disampingnya.
Sambil tersenyum dikulum, wanita cantik berbaju hijau itu melangkah mendekat. Kemudian dia duduk di samping Rapasak. Bau harum yang semerbak langsung menyeruak, menusuk cuping hidung Rapasak. Sehingga membuatnya tak dapat lagi menahan gejolak hati untuk merasakan halusnya kulit tubuh wanita ini.
Rapasak mengambil tangan wanita itu, dan menggenggamnya hangat-hangat. Sedikit pun Minati tak menolak. Dibiarkannya saja jari-jari tangannya diremas penuh kehangatan dan gairah yang menggelora dalam dada Rapasak.
"Nyi Walang selalu cerita tentang Raden...," kata Minati perlahan.
"Jangan panggil raden. Panggil saja Kakang Rapasak," potong Rapasak cepat.
"Nanti Nyi Walang marah."
"Dia tidak akan berani memarahimu."
Minati hanya tersenyum saja seraya menundukkan kepala. Rapasak cepat menggamit dagu wanita itu, lalu membawanya ke atas. Sehingga, wajah mereka begitu dekat. Mau tak mau desah napas mereka terasa hangat menerpa kulit wajah satu sama lain.
"Kau pasti putra bangsawan yang berpengaruh di Kadipaten Wadas Lintang ini, Kakang," tebak Minati lagi.
"Bukan," sahut Rapasak.
"Ah, mana mungkin? Buktinya, Nyi Walang melayani Kakang begitu istimewa. Kalau bukan seorang pembesar, atau putra pembesar di kadipaten ini, mana mungkin Nyi Walang memberi pelayanan yang begitu istimewa...?" Minati tidak percaya.
"Aku adik kandung Gagak Ireng, Kepala Pasukan Khusus Kadipaten Wadas Lintang ini," jelas Rapasak terus terang.
"Kepala Pasukan Khusus? Bukankah itu berarti orang kedua di kadipaten?"
"Benar. Tapi itu baru satu bulan ini. Setelah...," Rapasak tidak melanjutkan.
"Setelah apa, Kakang?" desah Minati ingin tahu.
"Ah, sudahlah...," Rapasak mengelak tidak ingin membicarakan lagi.
"Ayolah, Kakang.... Aku ingin tahu tentang dirimu. Bukankah tadi Nyi Walang mengatakan kalau kita harus saling mengenal lebih dekat...? Aku juga nanti akan mengatakan tentang diriku padamu, Kakang," rengek Minati memaksa.
"Kau pintar sekali merayuku, Minati."
"Ah, Kakang...." Minati jadi tersipu.
Rapasak begitu gemas melihat wajah yang bersemu merah dadu. Dicubitnya hidung yang berbentuk indah dan bangir ini. Minati semakin tersipu seperti seorang gadis yang baru saja disentuh pemuda yang dicintainya. Gadis itu hanya diam saja saat tangan Rapasak melingkar di pinggangnya. Dan dia juga diam ketika Rapasak memberinya satu kecupan lembut di pipi.
"Ke dalam, yuk...?" ajak Rapasak.
"Nanti saja, Kakang. Kau belum mengatakan apa-apa tentang dirimu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi sebelum...," Minati tidak meneruskan ucapannya.
"Nanti juga kau tahu."
"Ah, tidak.... Aku ingin sekarang."
Rapasak mengangkat bahunya sedikit. "Baiklah. Tapi, kau harus janji. Setelah kukatakan, kau harus bersedia ke dalam. Bagaimana...?"
Minati mengangguk dan tersenyum manis. "Kakang Gagak Ireng diangkat menjadi Kepala Pasukan Khusus karena jasanya. Dia berhasil menewaskan seorang pengacau yang telah merugikan banyak orang di kadipaten ini. Orang itu berkepandaian tinggi, sehingga jago-jago kadipaten tak ada yang sanggup menandinginya," Rapasak mulai bercerita.
"Sebelum ini, apa kakakmu juga seorang pembesar kadipaten?" tanya Minati.
"Bukan..."
"Lalu?"
"Aku dan Kakang Gagak Ireng semula hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Ada lima puluh orang anak buah Kakang Gagak Ireng. Sekarang, mereka semua menjadi anggota pasukan khusus itu. Dan kami harus tinggal di Kadipaten Wadas Lintang ini untuk menjaga keamanan seluruh wilayah kadipaten."
"Tugas yang berat...," desah Minati.
"Memang. Tapi Kakang Gagak Ireng menyukainya. Dan ini memang sudah menjadi keinginannya sejak dulu, untuk menjadi orang kedua di sebuah kadipaten. Yaaah..., ternyata Kadipaten Wadas Lintang ini menjadi pilihannya. Dan semua keinginannya selama ini sudah terwujud. Bahkan Gusti Adipati Bayaga sendiri selalu meminta nasihat Kakang Gagak Ireng. Segala keputusan yang akan diambil, selalu dibicarakan pada Kakang Gagak Ireng."
"Hm..., tentu kakakmu sangat tangguh," kembali Minati menggumam, seperti bicara pada diri sendiri.
"Memang. Tak ada seorang pun yang dapat menandingi kepandaiannya," sambut Rapasak bangga.
"Apa kau juga setangguh dia, Kakang?" tanya Minati lagi.
"Masih satu tingkat di bawahnya."
Minati bangkit berdiri, lalu melangkah mendekati jendela. Perlahan tangannya yang halus dan lembut membuka daun jendela itu, sehingga angin malam yang dingin menerobos masuk menerpa tubuhnya. Sedangkan Rapasak masih tetap duduk di kursi panjang dari rotan itu. Perlahan Minati memutar tubuhnya, berbalik membelakangi jendela.
"Boleh kutahu, siapa perusuh yang mengacau kadipaten ini, Kakang?" tanya Minati lagi.
"Namanya Birawa. Tapi, semua orang di kadipaten ini selalu menyebutnya si Setan Jagal," sahut Rapasak.
"Birawa...," gumam Minati, agak mendesah suaranya.
"Ada apa, Minati? Kau kenal?" tanya Rapasak.
"Kedatanganku ke sini sebenarnya juga ada satu urusan yang berhubungan dengan orang yang kau sebutkan namanya tadi, Kakang," kata Minati. Kali ini suaranya terdengar lain.
"Kau ada persoalan dengan Birawa...?" Minati tidak menjawab. Bibirnya mengulas senyum yang begitu manis. Kakinya melangkah perlahan mendekati Rapasak yang masih duduk di kursi rotan panjang ini. Tangannya terulur, dan langsung disambut pemuda ini dengan hangat disertai senyum terkembang di bibir.
Perlahan Rapasak bangkit berdiri, langsung melingkarkan tangannya di pinggang yang ramping dan padat berisi. Tubuh mereka begitu rapat, sehingga tak ada lagi jarak yang tersisa.
"Kau tidak menanyakan tentang diriku, Kakang?" suara Minati kembali terdengar lembut.
"Aku tidak peduli siapa dirimu, Minati. Yang penting, malam ini kau bersamaku," sahut Rapasak.
"Ahhh...." Minati menggeliat begitu Rapasak melumat bibirnya. Wajahnya langsung disembunyikan begitu Rapasak melepaskan pagutannya. Dengan halus sekali, Minati melepaskan rangkulan pemuda ini. Kemudian kakinya melangkah mundur beberapa tindak.
Tapi Rapasak menahan dengan menggenggam tangannya. Tiba-tiba saja, Rapasak menyentaknya kuat-kuat, sehingga Minati terjatuh ke dalam pelukan pemuda ini.
"Auw...!"
Rapasak tidak lagi menyia-nyiakan kesempatan ini. Cepat-cepat dipondongnya tubuh ramping itu, dan dibawanya masuk ke dalam ruangan lain yang berukuran sama dengan yang tadi. Di ruangan ini hanya ada sebuah pembaringan, sebuah meja, dan kursi di depannya. Rapasak langsung membawa ke pembaringan, dan merebahkan wanita itu dengan hati-hati sekali. Sepertinya wanita itu sebuah porselen yang tak boleh tergores kemulusannya.
"Ah, Kakang...," desah Minati begitu Rapasak menghujani wajah dan lehernya dengan ciuman-ciuman hangat penuh gairah menggejolak. Minati hanya dapat menggeliat dan mendesah lirih di bawah himpitan tubuh kekar dan tegap berotot ini.
Sedangkan jari-jari tangan Rapasak sudah begitu liar, menjelajahi seluruh tubuh di bawah himpitannya. Minati kembali menggelinjang saat merasakan tangan Rapasak menggusur pakaiannya. Rapasak mengulurkan tangannya, lalu mematikan pelita yang berada di meja, di samping pembaringan ini.
Seketika itu juga ruangan jadi meremang. Hanya cahaya bulan saja yang coba-coba mengintip dari celah-celah atas jendela. Tak ada lagi yang bicara. Tak terdengar suara apa pun juga, selain desah napas dan erangan lirih diiringi derit pembaringan yang tak kuat menahan berat beban di atasnya.
"Ohhh...."

***

62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak IrengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang