Sementara itu Rapasak sudah tiba di rumah bordil milik Nyi Walang. Yang dituju langsung pondok tempat tinggal Minati yang berada di bagian belakang rumah utama. Tapi Rapasak tidak menemukan wanita itu di dalam pondoknya. Lalu dia kembali ke rumah utama yang berukuran besar dan megah. Pemuda itu menyeret Nyi Walang ke dalam sebuah ruangan. Wanita gemuk itu tampak ketakutan melihat ketegangan di wajah Rapasak.
"Katakan, di mana Minati...?" desak Rapasak.
"Tadi dia ada di kamarnya! Dia tidak pernah menerima tamu lain. Sungguh...!" sahut Nyi Walang, bergetar suaranya.
"Tapi kenyataannya tidak ada."
"Mungkin sedang keluar."
"Kau jangan coba-coba mempermainkan aku, Nyi Walang" gertak Rapasak mengancam.
"Tidak! Aku tidak pernah mempermainkan orang. Dia memang sering keluar."
"Ke mana?"
"Aku tidak tahu. Dia tidak pernah mengatakannya. Aku selalu membebaskan gadis-gadis di sini untuk keluar jalan-jalan."
"Hhh!" Rapasak mendengus berat. Pemuda itu melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Jendela ini memang menghadap langsung ke bagian belakang, sehingga keadaan di belakang rumah bordil ini tampak terlihat jelas. Dari jendela ini dia dapat melihat pondok yang ditempati Minati.
Pondok itu masih tampak sepi, dan pintunya terbuka lebar. Seorang laki-laki berperut gendut tampak keluar dari sebuah pondok lain, diantar seorang wanita cantik yang tubuhnya hanya dililit kain. Wanita itu hanya mengantarkan sampai di ambang pintu.
Rapasak memutar tubuhnya berbalik. Ditatapnya Nyi Walang dalam-dalam. Sedangkan wanita gemuk itu hanya diam dengan tubuh masih gemetar ketakutan. Belum pernah Rapasak dilihatnya marah seperti ini. Sungguh tidak dimengerti, kenapa Rapasak tiba-tiba saja jadi marah. Padahal sebelumnya kalau wanita yang diinginkan tidak ada, Rapasak selalu mencari gantinya. Tapi kali ini Rapasak begitu marah mendapati Minati tak ada lagi di pondoknya.
"Mungkin sebentar lagi dia datang, Rapasak," hibur Nyi Walang mencoba menenangkan langganannya ini. "Sebaiknya kau cari saja yang lain. Masih banyak gadis yang lebih cantik darinya."
Rapasak tidak berkata sedikit pun. Kakinya kemudian terayun meninggalkan kamar ini. Sedangkan Nyi Walang masih tetap duduk dengan tubuh gemetar.
Brak!
Keras sekali Rapasak membanting pintu, hingga Nyi Walang terlonjak terkejut. Rapasak terus mengayunkan kakinya keluar dari rumah pelacuran itu. Seorang anak laki-laki berumur dua belas tahun menghampiri sambil menuntun kuda, begitu melihat Rapasak keluar dari rumah itu.
"Hup!" Rapasak langsung melompat naik ke punggung kuda putihnya dan cepat menggebahnya. Bagaikan anak panah lepas dari busur, kuda putih itu berpacu cepat meninggalkan anak laki-laki yang terbengong tidak mengerti. Dia hanya mengangkat bahunya saja, dan kembali bertugas menjaga kuda-kuda tamu yang datang ke rumah ini.
Sementara Rapasak terus memacu cepat kudanya. Tidak dipedulikan lagi keadaan jalan yang masih dipadati orang. Kudanya terus digebah semakin cepat, membuat orang-orang yang memadati jalan itu menyumpah serapah karena merasa terganggu. Rapasak sama sekali tak mempedulikan. Kudanya malah semakin cepat dipacu melintasi jalan tanah berdebu yang membelah Kota Kadipaten Wadas Lintang ini.
"Rapasak...!"
"Hooop...!"
Rapasak langsung menarik tali kekang kudanya begitu mendengar panggilan keras. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya. Rapasak cepat berpaling ke arah panggilan tadi. Bergegas dia melompat turun begitu melihat Gagak Ireng setengah berlari menghampiri.
"Kakang Gagak Ireng, kenapa ada di sini...?" tanya Rapasak begitu kakak angkatnya sudah dekat.
"Aku sengaja mencarimu," sahut Gagak Ireng.
"Ada apa?" tanya Rapasak lagi.
"Ayo, ikuti aku." Gagak Ireng segera berbalik dan melangkah cepat.
Rapasak jadi berkerut keningnya, lalu bergegas mengikuti sambil menuntun kudanya. Mereka berjalan cepat di antara kerumunan orang yang memadati jalan ini. Mereka berbelok ke jalan kecil, dan masuk ke dalam sebuah perkebunan yang lebat oleh pepohonan.
"Ada apa, Kakang? Kenapa membawaku kesini...?" tanya Rapasak jadi penasaran ingin tahu.
Gagak Ireng tidak menjawab, tapi malah terus saja melangkah cepat menerobos kebun yang gelap ini. Rapasak terus mengikuti di sampingnya sambil menuntun kuda yang mengikuti dari belakang.
"Kau tidak menemui gadismu di sana, bukan...?" Gagak Ireng malah balik bertanya.
"Dari mana Kakang tahu...?" Rapasak terkejut mendengar pertanyaan kakak angkatnya.
"Aku dari sana tadi. Nyi Walang mengatakan, kau marah-marah padanya." Rapasak hanya diam saja. "Kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Dia tidak akan bisa datang lagi ke sana," lanjut Gagak Ireng.
"Kakang..."
Gagak Ireng menghentikan langkahnya. Ditatapnya Rapasak agak dalam, dengan sinar mata sulit diartikan. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sulit diterjemahkan maksud kata-kata Gagak Ireng barusan. Rapasak hanya dapat menduga-duga dalam hati.
"Aku hanya ingin kau memastikan saja. Mungkin dugaanku meleset," kilah Gagak Ireng seraya melanjutkan ayunan langkahnya lagi.
Rapasak hanya diam saja, lalu ikut melangkah di samping kakak angkatnya. Berbagai macam dugaan kembali timbul di kepalanya. Tapi semua dugaan itu tak satu pun yang terlontar menjadi pertanyaan, dan tetap tersimpan di kepalanya sampai mereka tiba di suatu tempat yang rapat oleh pepohonan.
Rapasak semakin tidak mengerti, kenapa kakak angkatnya ini membawanya ke tempat seperti ini. Rapasak hanya memperhatikan saja kakak angkatnya menyibakkan semak belukar. Dan dari dalam semak itu, diseretnya sesosok tubuh berbaju hitam yang berlumuran darah. Keadaan begitu gelap, sehingga Rapasak tidak bisa melihat jelas wajah sosok tubuh berbaju hitam itu. Terlebih lagi, rambut hitam yang meriap panjang hampir menutupi seluruh wajahnya.
"Siapa dia, Kakang?" tanya Rapasak.
"Lihat saja baik-baik."
"Oh...?!" Rapasak mendesah terkejut begitu Gagak Ireng menyibakkan rambut panjang yang menutupi wajah sosok tubuh berbaju hitam itu. Hampir tidak dipercayai penglihatannya kali ini. Bergantian, dipandangi wajah mayat itu, lalu berpindah pada Gagak Ireng beberapa kali. Seakan-akan masih belum dipercayai, apa yang disaksikannya kali ini.
"Kau mengenalnya, Rapasak?" tanya Gagak Ireng dengan suara agak ditekan.
"Bagaimana dia bisa berada di sini?" Rapasak malah balik bertanya. Tentu saja Rapasak kenal. Memang, wanita berbaju serba hitam yang sudah menjadi mayat itu adalah Minati! Wanita yang selama beberapa hari ini selalu menjadi teman penghangat tidurnya di atas ranjang.
"Sudah kuduga, dia adalah teman wanitamu, setelah nama Birawa disebutnya," kata Gagak Ireng.
"Kau yang membunuhnya, Kakang...?" nada suara Rapasak terdengar seperti tidak percaya.
"Hanya ada satu pilihan. Dia atau aku yang terbunuh," sahut Gagak Ireng, agak dalam suaranya.
Rapasak hanya diam saja.
"Hhh.... Sudah kuperingatkan agar kau berhati-hati, Rapasak. Kedatangannya ke sini sengaja untuk membalas kematian Birawa," kata Gagak Ireng lagi.
Rapasak masih tetap diam.
"Maaf. Bukan maksudku untuk...."
"Tidak, Kakang. Aku yang minta maaf padamu," selak Rapasak cepat.
"Aku kurang hati-hati dan terlalu cepat mempercayai kata-katanya."
Gagak Ireng tersenyum dan menepuk pundak adik angkatnya ini. Sedangkan Rapasak hanya diam saja. Sungguh tidak disangka kalau Minati punya maksud untuk membalas kematian Birawa pada kakak angkatnya. Gagak Ireng memang sudah memperingatkan, tapi tidak disangkanya kalau akan begitu cepat bisa terbongkar.
"Ayo, kita pulang," ajak Gagak Ireng.
"Bagaimana dengan mayat ini?" tanya Rapasak.
"Biarkan saja. Besok pagi juga ditemukan orang."
Rapasak tidak berkata-kata lagi ketika melangkah pergi mengikuti kakak angkatnya. Sementara malam terus merayap semakin larut. Tapi suasana di Kadipaten Wadas Lintang masih kelihatan ramai, meskipun sudah agak berkurang. Gagak Ireng dan Rapasak terus berjalan semakin jauh meninggalkan tempat itu.
Tanpa disadari, ada sepasang mata yang sejak tadi mengawasi. Dan begitu kedua orang itu sudah tidak terlihat lagi, muncul seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun dari balik sebatang pohon yang cukup besar. Dia lalu melangkah cepat menghampiri jasad Minati yang tergeletak bersimbah darah. Laki-laki yang mengenakan baju putih keperakan itu berdiri mematung di samping mayat wanita berbaju serba hitam itu.
"Sudah kuperingatkan..., dia bukan lawanmu. Hhh.... Malang sekali nasibmu, Minati," ujarnya pelan. Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar.
Perlahan dia berlutut dan mengambil pedang yang tergeletak tidak jauh dari mayat ini. Kemudian dilepaskannya warangka pedang yang ada di pinggang Minati. Laki-laki berwajah cukup tampan itu memasukkan pedang berwarna kehijauan ke dalam warangkanya. Dia masih berlutut memandangi tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi. Darah yang melumuri mayat itu sudah terlihat agak mengering.
"Maaf. Aku harus meninggalkanmu di sini. Aku harus segera memberi tahu Kakang Gandapara mengenai keadaanmu," katanya lagi masih dengan suara perlahan.
Laki-laki itu bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya tubuh yang terbaring tak bernyawa lagi itu. Kemudian, dia cepat melesat pergi tanpa berpaling lagi. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam. Tak ada lagi orang yang terlihat di tempat yang lebat oleh pepohonan ini, kecuali mayat wanita berbaju serba hitam itu saja. Dia hanya ditemani hembusan angin dingin yang membekukan darah di tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak Ireng
ActionSerial ke 62. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.