BAGIAN 7

523 30 0
                                    

Pandan Wangi cepat-cepat melenting ke udara begitu melihat sebuah benda hitam berbentuk anak panah kecil meluruk deras ke arahnya. Anak panah hitam kecil itu lewat sedikit di bawah kaki Pandan Wangi. Dengan gerakan indah sekali, si Kipas Maut kembali mendarat di atap. Dan pada saat itu, sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambarnya.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi kembali melenting ke udara, menghindari sambaran bayangan yang berkelebat cepat. Beberapa kali dia berputar di udara, dan terus meluruk turun ke bawah. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis itu menjejakkan kaki di atas tanah berumput tebal. Dan sebelum bisa menarik napas, kembali terlihat sebuah bayangan putih meluruk deras ke arahnya dari atas atap.
"Hup! Yeaaah...!" Pandan Wangi cepat menghentakkan kedua tangannya ke depan menyambut terjangan lawan. Tapi bayangan putih itu cepat bisa menghindar. Tubuhnya diputar beberapa kali dan mendarat ringan di belakang Pandan Wangi. Tanpa diduga sama sekali, satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi cepat dilepaskan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Pandan Wangi masih bisa menghindari pukulan dari belakang dengan mengegoskan tubuhnya ke kanan. Cepat tubuhnya diputar dan langsung diberikannya satu tendangan secara berputar ke belakang. Orang berbaju serba putih itu melompat berputar ke belakang, menghindari tendangan Pandan Wangi. Dua kali tubuhnya berputar ke belakang, lalu manis kakinya mendarat di tanah berumput.
"Hm...," gumam Pandan Wangi perlahan.
Kini di depan si Kipas Maut itu telah berdiri seorang laki-laki setengah baya. Bajunya ketat berwarna putih dan bersih. Sebilah pedang berbentuk aneh tampak tergantung di pinggangnya. Pandan Wangi memperhatikan dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
Sementara itu, Adipati Bayaga yang berada di dekat jendela segera melompat ke luar. Langsung dihampirinya Pandan Wangi. Dia berdiri di samping kanan si Kipas Maut itu.
"Gagak Ireng! Kenapa kau datang dengan cara seperti ini...?" tegur Adipati Bayaga tidak senang.
"Kau yang menginginkannya demikian, Adipati Bayaga," sahut laki-laki separuh baya yang ternyata memang Gagak Ireng. Nada suaranya terdengar begitu sinis.
"Apa maksudmu...?"
"Seharusnya kau bisa menjawab sendiri, Adipati Bayaga," tetap sinis nada suara Gagak Ireng.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Adipati Bayaga tegas.
"Aku rasa, kau sudah tahu tentang diriku, Adipati Bayaga," sahut Gagak Ireng semakin sinis. Sedikit matanya melirik Pandan Wangi yang berada di samping Adipati Bayaga. Bibirnya kemudian menyunggingkan senyuman sinis.
Sedangkan Pandan Wangi hanya menatap saja dengan sinar mata tajam, menusuk langsung ke bola mata si Penyamun Bukit Tengkorak itu.
"Kau pasti si Kipas Maut," desis Gagak Ireng pada Pandan Wangi.
"Tidak salah," sahut Pandan Wangi disertai senyum tipis tersungging di bibirnya.
Gagak Ireng mendengus kecil. Sikapnya begitu meremehkan si Kipas Maut itu. Sama sekali dia tidak memandang gadis cantik berbaju biru yang bergelar si Kipas Maut ini. Gagak Ireng sudah banyak mendengar tentang Pandan Wangi. Sudah bisa diukur, sampai di mana tingkat kepandaian gadis itu, walaupun baru kali ini bertemu muka. Dan dari pertarungan sekejap tadi, Gagak Ireng sudah bisa membaca tingkat kepandaian Pandan Wangi.
"Gagak Ireng! Apa tujuanmu sebenarnya di Kadipaten Wadas Lintang ini?!" tanya Adipati Bayaga, memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.
"Aku hanya ingin menuntut sedikit hakku di sini," sahut Gagak Ireng dingin dan datar suaranya. "Jasaku di kadipaten ini telah banyak, Adipati Bayaga."
"Hak apa...?" tanya Adipati Bayaga lagi.
"Sebagian wilayah kadipaten ini seharusnya menjadi daerah kekuasaanku. Terutama wilayah Gantang!"

"Tidak ada hakmu di sini, atau di mana saja, Gagak Ireng."
Tiba-tiba saja terdengar suara berat menggema. Semua yang ada di tempat itu langsung berpaling ke arah suara yang datang tiba-tiba itu. Pada saat itu, berkelebat sebuah bayangan kuning agak kehitaman dari atas atap. Tahu-tahu di antara mereka sudah berdiri seorang laki-laki berusia lebih dari enam puluh tahun. Dia mengenakan baju dari kulit binatang. Mereka tentu saja sudah mengenalnya. Tapi Gagak Ireng sempat terkejut juga. Sehingga, mulutnya mendesis tatkala menyebut nama orang yang tiba-tiba muncul itu.
"Ki Gandapara...," desis Gagak Ireng terkejut.
"Seharusnya kau tidak perlu lagi datang ke sini, Gagak Ireng. Tidak ada lagi tempat untukmu di Kadipaten Wadas Lintang ini!" terasa begitu dingin nada suara laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang mengenakan baju dari kulit binatang itu. Dia memang Ki Gandapara, tokoh tertua dari Bukit Gantang. Orang inilah yang dianggap menjadi pelindung para pendekar muda di Bukit Gantang.
"Mampukah kau mengusirku, Gandapara...?! Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini. Aku berhak untuk tinggal di sini, karena Kadipaten Wadas Lintang ini tempat kelahiranku. Kau tahu itu, Gandapara...?!" lantang sekali suara Gagak Ireng.
"Semua orang memang berhak tinggal di sini. Tapi, tentu saja orang yang baik-baik. Tidak seperti kau, Gagak Ireng...! Di mana kau berada, selalu saja menimbulkan kekacauan. Kau pikir, aku tak tahu apa rencanamu?! Semua perbuatanmu kau tuduhkan pada pendekar-pendekar Bukit Gantang. Sementara, kau enak-enakan dengan kedudukan tinggi di samping Adipati!" lantang sekali suara Ki Gandapara.
"Tutup mulutmu, Gandapara! Tidak semudah itu kau memutarbalikkan kenyataan...!" bentak Gagak Ireng. Seketika, wajahnya jadi memerah mendengar kata-kata Ki Gandapara.
"Tidak ada yang memutarbalikkan kenyataan, Gagak Ireng. Semua ini kau rencanakan hanya untuk memenuhi nafsu angkara murkamu saja!"
"Keparat...! Kubunuh kau, Gandapara!" Gagak Ireng jadi geram setengah mati. Gagak Ireng sudah memegang gagang pedang yang masih tergantung di pinggangnya.
Sedangkan Ki Gandapara sudah bisa membaca gelagat tidak baik ini. Wajahnya lalu berpaling pada Pandan Wangi dan Adipati Bayaga. "Menjauhlah kalian," pinta Ki Gandapara.
Pandan Wangi segera melangkah mundur diikuti Adipati Bayaga. Sementara Ki Gandapara menggeser kakinya beberapa tindak. Sinar matanya begitu tajam, menyorot langsung ke bola mata Gagak Ireng.
"Kau memang selalu menjadi penghalangku, Gandapara. Tidak ubahnya seperti gurumu. Maka sudah saatnya kau masuk ke liang kubur!" desis Gagak Ireng, dingin menggeletar.
"Hm...," Ki Gandapara hanya menggumam pelan.
"Bersiaplah, Gandapara! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Gagak Ireng melompat menerjang sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hait...!" Ki Gandapara cepat-cepat mengegoskan tubuh, menghindari pukulan yang mengarah lurus ke dadanya. Dan begitu pukulan Gagak Ireng lewat di samping tubuhnya, cepat sekali Ki Gandapara mengebutkan tangan kiri, menyodok ke arah lambung.
Tapi Gagak Ireng lebih cepat lagi berkelit. Tubuhnya segera ditarik ke belakang, lalu melenting berputar ke belakang sambil menghentakkan satu tendangan keras dengan kedua kakinya.
"Uts!" Hampir saja telapak kaki Gagak Ireng mampir di muka Ki Gandapara. Untung saja laki-laki itu segera menarik kepalanya ke belakang. Dan sebelum sempat berbuat sesuatu, Gagak Ireng sudah melepaskan satu pukulan keras ke arah dada.
"Yeaaah...!" Begitu cepat pukulannya sehingga Ki Gandapara tidak sempat lagi menghindar. Pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi itu mendarat telak di dada Ki Gandapara yang terbuka lebar.
Desss! "Akh...!" Ki Gandapara terpekik agak tertahan.
Tubuh laki-laki tua itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang seketika itu juga jadi terasa amat sesak. Setelah bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, cepat-cepat dilakukannya beberapa gerakan. Dengan gerakan ini, rasa sesak yang timbul di dadanya akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam tinggi tadi dapat terusir.
"He he he.... Itu baru permulaan, Gandapara," ujar Gagak Ireng seraya terkekeh mengejek.
Sementara itu Pandan Wangi yang melihat Ki Gandapara terkena pukulan dalam beberapa jurus saja, sudah akan melompat membantu. Tapi sebelum bertindak, Adipati Bayaga sudah lebih dahulu mencegah. Sementara, Ki Gandapara tampaknya sudah bisa menguasai diri kembali, dan sudah siap melakukan pertarungan. Kedua tangannya berada agak melintang di depan dada. Perlahan kakinya bergerak menggeser, menyusur tanah ke arah kanan. Sedangkan tatapan matanya begitu tajam tak berkedip sedikit pun.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Secara bersamaan, kedua laki-laki itu melompat sambil mengebutkan kedua tangannya ke depan. Dan pada satu titik tengah di udara, dua pasang telapak tangan yang mengandung tenaga dalam tinggi itu beradu keras di udara. Begitu kerasnya, sehingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar. Tampak mereka sama-sama terpental ke belakang tapi juga mereka menguasai keseimbangan tubuhnya, kemudian kembali saling menerjang.
Masing-masing menggunakan jurus yang cepat dan dahsyat luar biasa. Pertarungan langsung terjadi begitu cepat, membuat tubuh-tubuh mereka seperti lenyap. Suara ledakan keras dan pekik pertarungan berbaur menjadi satu. Suara pertarungan itu membuat prajurit-prajurit kadipaten jadi memadati sekitar pertarungan. Dan kehadiran para prajurit itu rupanya tidak mempengaruhi jalannya pertarungan yang semakin kelihatan dahsyat.
Entah sudah berapa jurus berlangsung. Tapi tampaknya pertarungan itu masih akan terus berlangsung. Mereka memang tokoh tua yang berkepandaian tinggi. Sehingga, gerakan-gerakannya sulit diikuti pandangan mata biasa. Sementara itu, para prajurit kadipaten semakin banyak yang datang memenuhi tempat itu. Mereka semua sudah menghunus senjata masing-masing, meskipun belum ada perintah dari Adipati Bayaga yang masih terpana menyaksikan indahnya pertarungan dua tokoh tua digdaya itu.
"Awas kepala...!" seru Gagak Ireng tiba-tiba. Teriakan Gagak Ireng yang begitu keras menggelegar membuat Ki Gandapara jadi terkejut setengah mati. Terlebih lagi, teriakan itu disusul satu kebutan tangan ke arah kepala yang begitu cepat.
"Uts!" Untung saja Ki Gandapara cepat-cepat menarik kepala sehingga kebutan tangan Gagak Ireng tidak sampai mendarat. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, tiba-tiba saja Gagak Ireng menghentakkan kakinya dengan tubuh sedikit berputar ke kiri.
"Heh...?!" Ki Gandapara terkejut setengah mati. Tapi belum sempat dia berbuat sesuatu, tendangan Gagak Ireng sudah mampir di dadanya.
"Hegkh!" Ki Gandapara terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Tendangan Gagak Ireng begitu telak, sehingga membuat Ki Gandapara jadi sulit bernapas. Seakan-akan ada sebongkah batu yang begitu besar menghimpit dadanya.
"Mampus kau sekarang, Gandapara! Hiyaaat...!"
Sret! Bet!
Ki Gandapara cepat-cepat melenting berputar ke belakang, begitu Gagak Ireng mencabut pedang yang langsung dikebutkan ke arah perut. Gagal dengan serangan pertama, Gagak Ireng tidak berhenti sampai di situ saja. Kebutan pedangnya terus mencecar cepat dan beruntun. Akibatnya Ki Gandapara terpaksa harus berjumpalitan menghindari tebasan-tebasan pedang hitam berbentuk aneh yang mengeluarkan asap kehitaman mengandung racun.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Gagak Ireng melompat ke udara hingga melewati kepala Ki Gandapara. Dan tahu-tahu, dia sudah berada di belakang pendekar dari Bukit Gantang itu. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan sambil memutar tubuhnya ke arah punggung Ki Gandapara.
"Yeaaah...!"
Wuk! Cras!
"Akh....!" Satu pekikan keras agak tertahan terdengar begitu ujung pedang Gagak Ireng merobek kulit punggung Ki Gandapara. Seketika itu juga darah segar muncrat dari punggung yang sobek terbabat pedang. Ki Gandapara terhuyung-huyung ke depan. Dia berusaha cepat berbalik. Tapi pada saat tubuhnya berputar, mendadak saja Gagak Ireng sudah cepat sekali membabatkan pedangnya kembali .
"Yeaaah...!" Bret!
"Aaa...!" Ki Gandapara semakin terhuyung-huyung begitu ujung pedang Gagak Ireng membabat dadanya. Kembali darah muncrat dari dadanya yang terbelah cukup lebar. Sementara itu, Gagak Ireng mengedarkan pandangan berkeliling. Dia tahu, sekitarnya sudah terkepung rapat. Rasanya tak mungkin bisa menghadapi begitu banyak orang, meskipun mereka hanya para prajurit yang kepandaiannya tidak seberapa.
"Setan!" dengus Gagak Ireng. "Hup! Yeaaah...!" Bagaikan kilat, Gagak Ireng melesat cepat ke atas atap sebelum ada seorang pun yang menyadari. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejapan mata saja sudah berada di atas atap bangunan istana kadipaten itu. Dan dia langsung melompat pergi melalui bagian belakang.
"Keparat...! Hiyaaat...!" Pandan Wangi yang cepat menyadari lebih dahulu, segera saja melompat ke atas atap hendak mengejar. Tapi begitu menjejakkan kakinya di atap, bayangan tubuh Gagak Ireng sudah tidak terlihat lagi.
"Sial...!" rutuk Pandan Wangi. Kembali si Kipas Maut meluruk turun dan menghampiri Adipati Bayaga yang sudah berada di samping tubuh Ki Gandapara. Pendekar utama Bukit Gantang itu tergeletak di tanah dengan darah mengucur dari luka di punggung dan dadanya. Walaupun terluka cukup parah, dia masih bisa memberi senyum pada Adipati Bayaga dan Pandan Wangi.
"Maaf. Aku akan menghentikan darahmu," ujar Pandan Wangi. Cepat gadis itu memberi beberapa totokan di sekitar luka di punggung dan dada Ki Gandapara. Sebentar saja darah berhenti mengucur dari luka yang menganga cukup lebar itu. Adipati Bayaga segera memerintahkan beberapa prajurit untuk memindahkan Ki Gandapara ke dalam.
"Aku akan menyusul si Penyamun Bukit Tengkorak itu, Gusti Adipati," kata Pandan Wangi.
"Tidak menunggu Gusti Prabu dulu, Nini Pandan?"
"Tidak ada waktu lagi, Gusti."
Adipati Bayaga tidak bisa lagi mencegah. Pandan Wangi sudah melesat cepat meninggalkan halaman samping istana kadipaten itu. Gerakannya cepat luar biasa. Begitu ringannya dia melompati benteng batu yang mengelilingi bangunan ini, lalu langsung lenyap di balik dinding benteng dari batu itu. Sementara Adipati Bayaga bergegas melangkah masuk ke dalam istananya, begitu Pandan Wangi sudah tidak terlihat lagi.

***

62. Pendekar Rajawali Sakti : Tuntutan Gagak IrengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang