11

11.7K 632 35
                                    


"Ini semua gara-gara dia, Yah. Anak kita pergi enggak tahu kemana. Dia putra sulung kita, Yah. Bunda khawatir, ada sesuatu yang wanita ini sembunyikan."

Kalimat itu, masih terekam jelas.
Terucap dengan nada benci dan telunjuk yang mengarah tepat pada wajahku.

Entah, letak kesalahanku dimana.
Aku tidak menangis. Jemariku hanya mengepal keras menahan sesak yang hampir memenuhi rongga dada.
Kejadian itu sudah sebulan berlalu.
Tak ada yang tahu kemana tepatnya Mas Ardan pergi.

Dan ternyata...
Aku positive hamil.
Ayah dan Bunda, bukannya memperlihatkan wajah bahagiah. Mereka, menatapku dengan tatapan kosong. Dan kemudian menitikkan air mata, lalu terisak.

Aku lupa, suamiku mungkin tidak akan kembali. Bagaimana Ayah dan juga Bunda akan senang?
Melihat aku hanya akan menjadi orang tua tunggal.
Ibu mertuaku jelas tak akan pernah suka padaku. Hanya Ayah mertua yang kadang mencuri-curi waktu menemani bahkan menghibur.
Dia juga yang selalu mengajakku untuk memeriksa kehamilanku secara rutin.

Kuliahku tetap berlanjut.
Walaupun nilaiku nyaris ambruk, tapi seseorang terus ada untuk menyemangatiku. Walaupun terkadang bantuannya kuabaikan, tapi tetap saja ada dan selalu hadir di saat aku benar-benar tak memiliki siapa-siapa.

Terkadang, aku duduk merenung dan terus bertanya-tanya. Mengapa di saat aku benar-benar butuh dengan sosok seorang suami, pria bernama Asyan itu terus saja hadir?

Tiap hari, tiap bulan, aku terus mengirim pesan untuk Mas Ardan. Berharap ada secuil kabar ataupun E-Mailku yang ia balas. Namun, nihil.
Tak ada sama sekali.

Perut yang mulai membuncit, dengan langkah yang mulai tergopoh, kuputuskan untuk memilih jalan lain.
Bertahan dan tidak akan lagi membuang waktu untuk memikirkan pecundang itu.

Sampai tiba saatnya masa persalinan.
Hari dimana kupertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah hatinya.
Selain orang tua dan juga Ayah mertua, dua sahabatku juga turut hadir menungguiku.
Lalu, kemana pria biadab itu.
Pria yang menjabat tangan Ayah dan berjanji untuk selalu ada dalam suka maupun duka?

Bayiku lahir..
Dia perempuan.
Asyan yang mengusulkan sebuah nama. Asyilah. Indah, bukan?
Kedekatan keluarga kami semakin menjadi-jadi.

Asyilah menjadi anak yang sehat.
Badannya gembul dengan tawa yang selalu menghiburku.
Pria bernama Asyan itu, selalu ada dan hadir bagai seorang Ayah untuk Asyilah..

Namun, saat kedekatan keluarga semakin memuncak, ada kiriman sebuah surat.
Dan ternyata, isinya sebuah surat cerai. Surat gugatan cerai dari Ardan.
Jika saja aku mencintai Asyan kala itu, mungkin aku akan bahagiah.
Tapi, aku seolah terlempar ke luka masa lalu. Entah, rasanya terlalu sakit.

Mungkin aku pikiranku yakin akan melupakannya, tapi, hatiku justru menolak untuk itu. Aku benci diriku sendiri. Aku menjauhi Asyan. Tidak lagi membiarkannya selalu bertemu Asyilahku.

Aku, trauma..
Aku menggigil saat Asyan mengutarakan niat untuk menikahiku. Aku, terlalu sakit.
Aku ketakutan.... 

Tenggelam dalam kesedihan, aku lupa jika Asyilah butuh aku. Bayi berumur enam bulan itu, akhirnya jatuh sakit.
Aku menyesal kenapa begitu memperdulikan rasa sakitku.
Hingga lupa pada Asyilah yang selalu menunggu kehangatanku.

Asyan, tetap hadir walau aku tak mengizinkan. Tatapan teduh dan menyejukkan tak lagi kuhiraukan. Aku selalu ingin dia jauh. Aku tak ingin jatuh lagi dan lagi.
Namun, nyatanya, aku kembali jatuh.

Asyilah pergi...

A mate from the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang