9

9.8K 632 46
                                    


"Malam ini, Nginap di sini kan?"
Tanya Kiana lembut. Senyum di bibir merahnya merekah indah.
Bohong jika Ardan tidak tergoda dengan penampilan seksi Kiana malam ini.

Lingeria seksi berwarna merah maroon membuat kulit putihnya nampak begitu bersinar. Jelas membuat Ardan menelan ludah.

"Malam ini di sini saja yah, Mas. Kiana mohon." pinta Kiana dengan nada sedikit menggoda. Tangannya dengan lihai mengusap dada Ardan dengan halus.

"Harus adil, Ki" Ucap Ardan lalu menghindar dari Kiana.

Belum selangkah, Kiana segera memeluk Ardan dari belakang.
"Mas, buat apa kerumah Kak Melati? Toh dia juga enggak bakal ngelayanin kamu, Mas."

Hati Ardan mengiyakan ucapan Kiana. Walaupun kesana, tak ada yang akan ia dapatkan. Melati selalu pura-pura tidur atau berdalih ingin mengerjakan pekerjaan yang katanya menumpuk. Belum meminta, Melati sudah jelas tahu jika dirinya menginginkannya.

Ardan kini berbalik, menatap Kiana dari bawah hingga ke atas.
"Maaf, Malam ini untuk Melati. Aku kesini cuman mau ambil laptop. Jika Melati tidak ingin melayaniku, aku akan melakukan cara lain."

Ardan berucap kemudian berlalu. Membuat Kiana meremas ujung lingerianya menahan kesal dan tentunya malu.
Kiana tahu, ini bukan malam miliknya. Tapi, ia ingin, Ardan terus berada di sisinya.

Sesampainya di rumah Melati, Ardan sedikit terkesima melihat istrinya itu tertidur di sofa.
"Apakah Melati menungguku?"
Batin Ardan. Ada bunga yang hampir saja mekar di dalam hatinya. Setelah menutup pintu, Melati tiba-tiba terbangun dan langsung duduk.

"Mas udah makan?"
Tanya Melati yang kini masih asyik mengucek matanya.

"Belum. Kamu masak buat aku?"
Tanya Ardan. Ada nada penuh harap yang terselip di sana.

"Iya, tapi udah dingin kayaknya."
Jawab Melati lalu bangkit dari duduk dan berjalan menuju dapur di Ikuti Ardan.

"Enggak usah di panasin. Gini juga enak"

"Kurang enak, Mas. Biar Melati panasin dulu."

"Ya udah. Aku tunggu"
Jawab Ardan lalu menarik kursi kemudian duduk.

Wajah Melati masih datar. Tak ada senyum. Namun Ardan tetap sangat bersyukur, wanita itu memiliki sedikit kemajuan. Belum pernah Melati menungguinya selama enam bulan pernikahannya.

Setelah semuanya terhidang dalam keadaan hangat, mereka berdua pun memulai makan malam.
Sesekali Ardan memperhatikan gerak-gerik Melati. Bahkan menyendok nasi kepiring Melati pun ia lakukan. Menuang air kedalam gelas juga ia lakukan.

"Ini, tugas aku, Mas. Enggak perlu repot-repot." tegur Melati pelan.

"Asal kamu bahagiah"
Ucap Ardan kemudian tersenyum manis. Melati menghentikan kunyahan lalu menatap suaminya itu dengan tatapan yang Ardan pun tak tahu, apa artinya.

Setelah melepas pandangan, Melati menarik tisyu. Mengusap air yang mulai tergenang di pelupuk matanya.

"Kenapa Mas ngelakuin itu?"
Pertanyaan itu, Ardan tau kemana arahnya.

"Waktu itu, aku cuman pengen hidup bebas. Sebelum nikah sama kamu, hidupku penuh kekangan dan Papa janji, setelah menikah, Papa akan berikan aku kebebasan"

Air mata Melati lagi-lagi tumpah.
"Cuman alat untuk di manfaatkan"
Ucap Melati lalu tertawa kecil dengan air mata yang terurai.

"Mel, aku nyesel udah nyakitin kamu. Kamu memang berhak marah. Tapi tolong, Mel. Beri aku kesempatan."
Mohon Ardan dengan sangat.

"Mas enggak ada niatan buat ceraiin aku lagi? Udah ada Kiana Mas. Biarin aku bebas."

"Sampai mati pun, aku enggak akan pernah ceraiin kamu, Mel. Jangan pernah mengharapkan itu." Ucap Ardan sedikit tegas. Setelah itu, berdiri dan menarik tangan Melati keluar dari dapur.

Melati hanya manut. Ia tahu apa yang di inginkan Ardan. Selagi menjadi istrinya, jelas Melati tidak bisa menolak. Tak ada alasan untuknya menolak. Kali ini, ia terjebak dengan suasana yang ia ciptakan sendiri.

Malam itu, Ardan meluapkan semuanya. Rasa rindu, rasa kesal, dan semua yang terpendam.

A mate from the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang