12

11.3K 543 42
                                    


Melati menatap wajah pria yang kini tidur dengan begitu pulas di sisinya. Masih sama seperti dulu. Hampir tidak ada yang berubah.
Saat ingin turun dari ranjang, Ardan menahan sebelah lengan Melati. Masih dengan mata yang terpejam.

Melati berusaha melepaskan genggaman itu, tapi Ardan seolah tak berkenan.
"Tunggu sebentar lagi. Tetap disini!"
Pinta Ardan dan berhasil membuat Melati menghela nafas panjang.

"Sudah selesai Azan subuh, Mas."
Ujar Melati lalu melepaskan genggaman tangan Ardan perlahan kemudian berlalu.

Ardan membuka mata saat decitan pintu kamar mandi terdengar. Ia mengukir senyum tipis. Walaupun masih terlihat dingin, tapi tetap saja Ardan merasa sedikit berhasil.

Ia bangkit lalu meraih ponsel yang ia taruh di atas nakas. Tepat di sisi ranjangnya.
Ada puluhan panggilan dari Kiana membuat Ardan berdecak kesal.

Jika bukan karena perjanjiannya dengan ibu dia jelas tak pernah ingin menikahi Kiana. Selain karena tingkah Kiana yang kekanak-kanakan, Ardan juga tidak pernah bermimpi memiliki dua istri.

                                 🍀🍀🍀🍀

Kiana menatap foto pernikahannya dengan tatapan sendu. Sudah subuh dan dia belum mampu memejamkan matanya. Setelah sholat, Kiana membuka jendela kamarnya. Tatapannya tertuju pada langit yang belum menampakkan cahaya terang. Angin berhembus pelan menyapu permukaan wajah putih mulus miliknya.

Dia tersenyum tipis.
"Apa seperti ini, yang di rasakan Mama?. Menjadi yang kedua dan akhirnya aku ada di dunia ini?. Dan kenapa aku juga harus menjadi yang kedua?"

"Pergi saja kamu. Pergi saja dari kehidupan mereka!" Suara hati itu kembali terdengar. Namun, lagi-lagi Kiana menggeleng.

"Enggak. Aku yang harusnya menjadi istri pertama Mas Ardan. Bukannya Mbak Melati"

"Aughh" Kiana meringis saat kerikil tepat mengenai jidatnya.

"Eh, jelek. Sudah aku bilang, jangan suka ngomong sendiri pagi-pagi. Pamali."

"Pamali apaan? Pamali gigi loe."
Umpat Kiana masih mengusap-usap jidatnya.

Pria muda itu tertawa kecil.
Melihat wanita itu kesakitan seperti itu benar-benar membuatnya merasa begitu puas.

"Emang enak? Makanya, jadi perempuan itu kudu paham hati perempuan lainnya. Sejenis, kok saling menyakiti."
Sotoy tingkat dewa, Alga kambuh lagi.

"Eh, sotoy !? Tahu apa loe, hah? Sana pergi!!" Usir Kiana dengan mata melotot.

"Santai aja kali. Enggak usah pakai melotot kayak gitu. Nanti biji matanya jatuh. Kan, repot."

"Sana pergi!!. Ngeselin banget sih."
Kesal Kiana lalu segera menutup pintu jendela kamarnya.

Alga berlalu setelah itu. Kembali melanjutkan lari paginya yang sempat tertunda karena mengusili Kiana.

Kiana kembali duduk di atas sajadahnya. Menarik nafas lalu membuangnya cepat.
Kiana benar-benar merasa terkucilkan saat ini.
"Dasar, laki-laki sotoy. Awas aja kalau gue ketemu dia di kampus. Gue tonjok tuh muka songong baru tahu rasa si Alga itu."
Kiana kembali bergumam seorang diri.

Kiana berdiri lalu menarik guling dan meninju-ninjunya berkali-kali.
"Mampus loe, Alga. Mampus. Habis loe."
Kembali Kiana meninju-ninju benda tak bersalah itu guna meluapkan kekesalannya pada Alga.

 

A mate from the pastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang