"Kau tahu kalau aku hanya bercanda," ujar gadis berambut hitam itu pada pria di hadapannya. "Lagipula kau curang! Dengan memasang CCTV di rumahmu."
Raga tersenyum simpul, kemudian meletakkan dokumennya ke atas meja. Ia hanya diam dan menatap lekat Aletta. Menikmati setiap ekspresi gadisnya serta ocehan yang tiada henti.
"Aku tetap tidak mau tinggal di rumahmu!" Aletta memalingkan wajahnya untuk menghindari tatapan intens Raga.
Sedangkan Raga masih diam seribu bahasa. Ia menghela napas panjang, kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di samping Aletta. "Kau tahu aturannya, sayang. Tidak boleh menghindar dengan alasan apapun!" ucap Raga sembari mengusap pelan pucuk kepala gadis itu.
"Tapi itu tidak adil!" sanggah Aletta tanpa sadar meninggikan suaranya, lantas keadaan menjadi hening seketika. Ia sedikit meringis kala melihat tatapan tajam Raga yang seolah menusuknya secara tidak langsung.
Raga mendekatkan wajahnya dengan pelan, kemudian menyatukan dahi mereka. "Tidak ada bantahan, iblis kecil."
"Aku iblis? Lalu Kau apa?"
Raga tersenyum miring, kemudian berbisik. "Seorang dewa kematian."
Aletta menghela napas panjang. "Terserahlah! Intinya aku tidak mau tinggal di rumahmu!" ujar Aletta, kemudian berlalu menuju pintu.
"Satu langkah lagi maka Kau akan menyesal!" seru Raga disertai tatapan membunuhnya.
Aletta terkekeh pelan, lalu berbalik badan. "Kau pikir aku peduli?"
BLAM!!!
Pintu yang semula dibuka oleh Aletta tiba-tiba ditutup dengan kerasnya. Bahkan saat ini kedua tangan kekar Raga sudah mengunci tubuh Aletta.
"Kau benar-benar menguji kesabaranku." bisik Raga tepat di telinga Aletta. "Jangan memancingku terlalu jauh, Letta."
Aletta membulatkan matanya saat Raga mengangkat dan menggendongnya layaknya karung beras. Bahkan pria itu tidak menghiraukan pukulan-pukulan Aletta pada bahu lebarnya.
"Lepaskan aku! Raga, lepaskan aku!" teriakan itu sukses menyita perhatian para karyawan yang sedang sibuk bekerja.
PLAK!
Pukulan itu mendarat pada pantat Aletta membuat si empunya semakin ganas mencakar dan menggigit bahu Raga.
"Hukuman sudah menanti, sayang."
Mungkin karena kelelahan berteriak dan berontak, akhirnya Aletta memilih diam. Lagi pula orang-orang bodoh itu sejak tadi hanya diam mematung, seperti tidak ingin ikut campur.
Jelaslah mereka tidak ingin campur tangan karena itu sama saja dengan mencari mati.
"Diam dan jadi anak baik,"titah Raga, kemudian menutup pintu mobil dan berjalan ke kursi kemudi. Ia dengan segera menjalankan mobilnya keluar parkiran kantor.
Aletta memejamkan matanya sembari memegang erat seat belt. Raga benar-benar gila! Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan menyalip kendaraan tanpa menghiraukan umpatan orang-orang.
Jujur saja Aletta takut. Ia masih ingin hidup, tapi pria gila di sampingnya ini seperti menantang malaikat maut.
"Raga..." lirih Aletta seraya menoleh. Bahkan terlihat buku-buku tangan pria itu memutih, yang menandakan bahwa ia sedang menahan emosinya. "Berhenti..." lanjut Aletta.
Aletta yakin jika Raga mendengarnya, tapi pria itu memilih untuk mengabaikannya. Tidak ada cara lain, kali ini Aletta terpaksa menggunakan cara yang hina ini.
"Hiks... Hiks..."
Tiba-tiba saja mobil berhenti secara mendadak. Kepala Aletta hampir membentur dasbor jika saja Raga tidak menahan tubuhnya dengan tangan.
"Jangan menangis," ujar Raga, kemudian memeluk tubuh mungil gadisnya. Tak lupa ia berikan elusan lembut pada surai panjang gadis itu.
See? Trik itu tetap saja berhasil ketika Aletta menggunakannya.
"Aku membencimu!" ujar Aletta seraya memukuli dada Raga. "Kau benar-benar gila!" lanjutnya.
Raga terkekeh pelan. "Aku juga mencintaimu."
TOK! TOK! TOK!
Mereka berdua menoleh pada seorang pria yang mengetuk kaca jendela mobil.
Raga mengurai pelukannya, kemudian menurunkan kaca mobil.
"HEI TUAN! KAU TIDAK LIHAT KENDARAAN DI BELAKANGMU?!" ujar pria berusia dua puluhan itu dengan mata melotot dan menggebu-gebu.
Raga menoleh sebentar, lalu menaikkan satu alisnya. "Lalu?"
"MOBILMU MENGHALANGI JALAN! APA KAU TAK PUNYA KESADARAN UNTUK MINGGIR HUH?!"
Raga tersenyum miring, kemudian menatap tajam pria itu. "Jalan masih lebar."
"KAU PIKIR INI JALAN NENEK MOYANGMU HAH?!"
Raga terkekeh pelan. Pria ini mengganggu waktunya bersama gadisnya hanya untuk pembicaraan tak penting seperti ini?
Raga mengeluarkan beberapa lembar uang besar dari dompetnya. "Untuk ke rumah sakit dan bengkel."
Pria itu sempat diam sejenak dengan kerutan di dahinya, kemudian menerima uang tersebut dan pergi tanpa berucap sepatah kata pun.
Raga menjalankan mobilnya dengan santai, tampak lebih tenang.
BRAK!!!!
Ketika pria tadi menyalip mobilnya, sontak saja Raga menginjak pedal gas hingga menabrak dan menyeret motor beserta pria itu sampai beberapa meter.
Raga melihat dari kaca spion. Tampak orang-orang sedang membantu pria tadi, yang tengah sekarat.
Raga lantas tertawa keras. Jiwa bengisnya mulai terpancing. Ia tak puas hanya dengan melakukan ini. Ia semakin haus akan darah dan kesakitan.
"Siapkan orang," perintah Raga pada seseorang di seberang sana, kemudian mematikan telepon secara sepihak.
"Kau akan melakukannya, lagi?" tanya Aletta yang sedari tadi membisu.
Raga mengangguk pelan. Ia meraih tangan kanan Aletta dengan salah satu tangannya yang bebas, lalu menggenggamnya dengan erat. "Aku sungguh tak sabar menanti
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector
Romance"Kau sungguh ingin tahu apa yang kuinginkan?" Mata setajam elangnya menghunus tepat pada manik mata gadis di hadapannya, kemudian ia berjalan mendekat dan berbisik, "Jiwamu, ragamu, dan seluruh hidupmu."