Aletta sedikit memiringkan kepalanya. Jujur saja, walaupun dia termasuk gadis yang bar-bar namun ia tak pernah datang ke club malam.
Siapa lagi dalangnya jika bukan seorang Raga si Psychopath. Pria itu tidak mengizinkannya mengunjugi tempat hiburan tersebut.
Dan untuk kali ini, Aletta menginginkan kebebasan serta... Permainan.
"Mari kita mulai," gumamnya.
***
Satu Jam Sebelumnya...
Aletta mengintip keluar rumah dengan was-was, ada sekitar sepuluh orang yang berjaga. Mereka berada pada setiap sisi rumah. Jelas bukan hal yang mudah untuk keluar.Aletta mematikan lampu kamarnya dan mengenakan jaket hitam milik Raga. Ia akan berkamuflase dengan gelapnya malam.
Sebenarnya kamar Aletta dekat dengan kebun belakang sehingga sedikit membantu.
Ia merapat pada dinding layaknya seekor cicak dan menyusuri balkon demi balkon.
Jangan lihat ke bawah! Jangan lihat ke bawah! Batinnya menyugesti.
Sesungguhnya Aletta ngeri pada ketinggian, bukan fobia namun hanya sedikit takut.
Ia menggapai cabang pohon terdekat. Bergelantungan dengan sekuat tenaga bak monyet, lalu menuruni pohon dengan hati-hati. Berusaha meminimalisir suara gemerisik.
Aletta tidak terlalu memerdulikan telapak tangannya yang tergores serpihan-serpihan kayu kasar, masalah tambahan baginya.
Ia menyamarkan derap kakinya sepelan mungkin, menyatu dengan suara jangkrik. Matanya membelalak ketika melihat seekor anjing yang diikat tengah melihat ke arahnya.
Sebelum anjing itu menggagalkan rencananya, ia mengelus kepala anjing tersebut seraya meletakkan jari telunjukn di bibirnya.
Beruntung anjing tersebut menurut bahkan ekornya bergerak ke kanan dan ke kiri.
Aletta melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda hingga ia mengutuk nasibnya saat mendengar gonggongan dari belakang.
"Hei, siapa itu?!"
Aletta berlari sekuat tenaga, kemudian berbelok ketika melihat beberapa penjaga di depannya.
Ia memutuskan untuk memanjat pohon dan menanti hingga kondisi sedikit tenang. Ia mengatur napasnya yang ngos-ngosan ketika ada penjaga yang mondar-mandir di bawah pohon.
Untungnya penjaga tersebut tidak mendongak.
Sekitar tiga puluh menitan Aletta duduk di cabang pohon yang kokoh dan ditemani nyamuk-nyamuk durhaka.
Aletta mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada seseorang di seberang sana. Sedikit bantuan ia rasa tidak masalah.
***
Raga menggertakkan giginya. Rahangnya mulai mengeras dan sekuat tenaga menahan emosi ketika melihat pemandangan pada monitor CCTV di hadapannya. "Gadis nakal," desisnya.
Setelah menerima laporan dari Arsen perihal gadisnya yang kabur, Raga membatalkan wacana kerjanya dan segera memeriksa rumah.
Dan hal yang ia dapati sungguh membuatnya geram, apalagi orang yang membantu gadisnya kabur.
"Atur ulang meeting besok karena aku akan sedikit terlambat," perintah Raga yang langsung disanggupi Arsen.
Mobil hitam itu membelah jalanan yang lenggang dengan kecepatan di atas rata-rata. Raga tidak ingin gadisnya menunggu terlalu lama.
Sedangkan di sisi lain, Ferran mencoba menarik Aletta dari lantai utama dansa. "Ingat perjanjian kita, jangan mengingkarinya!"
Aletta memutar bola mata malas, lalu mengibaskan tangannya. "Sudahlah, kita nikmati saja. Kau tidak perlu takut padanya karena aku yang akan bertanggung jawab."
Ferran berdecak kesal, kemudian menoyor kepala gadis di hadapannya. "Justru akulah yang dalam masalah!"
Aletta mengedikkan bahu. Ia memerhatikan sekitar dan netranya menangkap suatu pemandangan yang menjijikkan.
Bagaimana tidak? Di sofa ada sepasang manusia yang berciuman dengan panas dan liarnya seolah tuli dengan bisingnya musik.
"Sebaiknya kita pulang sekarang. Aku merasa akan ada bahaya," ujar Ferran disertai rasa khawatir.
"Aku belum ingin pergi bahkan aku belum mencicipi minuman yang ada." Aletta menempatkan bokongnya pada salah satu kursi di bar.
"Mau pesan apa Nona?" ucap si bartender disertai kerlingan mata.
Aletta menyeringai. "Aku ingin memesan mu. Berapa hargamu?"
Bartender tersebut tertawa renyah. "Maaf Nona, tapi saya bukan barang."
Aletta menghela napas. "Well, aku sebenarnya tidak tertarik padamu. Beri aku satu wiski."
Dengan sigap bartender tersebut meracik minuman yang dipesan dengan lihainya. "Ini pesanan Anda, Nona."
Warnanya terlihat menggoda. Aletta tidak sabar mencicipi bagaimana rasanya. Bagaimana ketika cairan itu membasahi kerongkongannya.
Tangan Aletta terangkat ingin meraih gelas tersebut sebelum sebuah suara tertangkap indra pendengarannya. "Don't you dare!"
***
Ferran POV
Sebenarnya aku tidak yakin untuk membantu Aletta menjalankan rencana konyol ini, tapi dia memaksa dan mengancamku.
Bukannya aku terlalu pengecut karena takut pada gertakan seorang wanita namun ancamannya benar-benar membuatku tidak bisa menolak.
Dia memertaruhkan keselamatan gadis yang kusukai.
Well, aku tidak bisa menolak walaupun itu sama saja dengan memertaruhkan nyawaku pada sang "Dewa Kematian".
It's okay, sebab risiko yang kuterima mungkin akan lebih ringan.
Jantungku berdetak kencang ketika menerima sebuah pesan... I'll kill you.
Saat itu juga rasanya aku ingin menghilang dari muka bumi, apalagi ketika melihat sesosok pria dengan aura gelap dan intimidasi yang kuat tengah berjalan ke arahku atau lebih tepatnya ke arah "miliknya".
KAMU SEDANG MEMBACA
My Protector
Romance"Kau sungguh ingin tahu apa yang kuinginkan?" Mata setajam elangnya menghunus tepat pada manik mata gadis di hadapannya, kemudian ia berjalan mendekat dan berbisik, "Jiwamu, ragamu, dan seluruh hidupmu."